Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Ketersediaan pangan yang cukup dengan harga terjangkau akan menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan stabilitas  sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi membutuhkan pasokan pangan yang memadai baik dari segi jumlah maupun harga. Harga pangan yang tinggi tidak saja memberikan tekanan yang berat bagi penduduk miskin tetapi juga pada aktivitas perekonomian karena harga pangan merupakan salah satu penyumbang inflasi.
Aktivitas produksi, perdagangan, dan konsumsi pangan menuntut peran semua pihak terutama bagi pemerintah untuk  melindungi produsen dan konsumen domestik. Melalui kebijakan harga komoditas pangan, pemerintah diharapkan dapat menjaga stabilitas harga pangan sehingga dapat mengurangi ketidakpastian petani dalam memasarkan komoditas pangan dan menjamin konsumen memperoleh pangan  dengan harga yang wajar.
Menurut Satya (2016) harga bahan pangan di Indonesia tidak kompetitif bila dibandingkan dengan harga bahan pangan negara-negara berkembang di Asia lainnya, seperti Filipina, Tiongkok, Kamboja, India, Thailand, dan Vietnam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain produktivitas yang rendah sementara biaya inputnya tinggi.Â
Sempitnya lahan produksi yang dikelola oleh petani gurem (mengelola lahan < 0,5 ha) menjadi tantangan tersendiri  sehingga untuk mewujudkan konsolidasi lahan agar menjadi model corporate farming yang lebih efisien tidaklah mudah.  Â
Hasil survey pertanian nasional (Susenas) tahun 2023 dari jumlah petani pengguna lahan di Indonesia sebanyak 27.799.280 jiwa terdapat 17.248.181 jiwa (62,05%) adalah petani gurem yang tingkat konsumsi berasnya tinggi namun tidak mencukupi. Oleh karena itu kelompok ini rentan terhadap kenaikan harga beras.
Menurut LPEM UI setiap kenaikan harga beras 10% akan menaikan jumlah penduduk miskin sebesar 1,15 poin di pedesaan dan 0,90 poin di perkotaan. Â Hal ini menunjukan betapa pentingnya kedudukan harga beras tidak saja bagi eksistensi petani gurem dan kelangsungan penduduk miskin akan tetapi bagi penduduk Indonesia yang ketergantungan konsumsi berasnya masih tinggi.
Harga yang terjadi di pasaran sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli, semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga. Dari sisi penjual, semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Untuk komoditas pangan, pembentukan harga tersebut lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan trendnya.
Terdapat dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga komoditas pangan, yakni faktor produksi/ panen (harvest disturbance) dan perilaku penyimpanan (storage/inventory behavior). Pada saat produksi melimpah harga pangan turun dan untuk menyangganya diperlukan prilaku atau mananjemen penyimpanan yang baik. Pada saat harga pangan naik maka stok pangan yang ada di gudang penyimpanan perlu dikeluarkan untuk meningkatkan pasokan pangan di pasaran sehingga dapat menurunkan harga.
Mekanisme ini membutuhkan pasokan produksi yang memadai dari basis produksi lokal yang tangguh. Perubahan penawaran pangan yang  elastis dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga.
Sementara itu impor pangan yang dilakukan dengan tidak hati-hati dapat mengganggu kesinambungan produsen pangan lokal. Apalagi jika harga produk pangan impor pada umumnya cenderung lebih murah.
Fenomena produksi, perdagangan dan konsumsi pangan di atas menuntut peran pemerintah agar produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi. Peran tersebut diharapkan mampu menstabilkan harga pangan yang dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan yang berpihak kepada petani dengan mengurangi ketidakpastian petani dan menjamin harga pangan menjadi lebih stabil bagi konsumen.
Namun dalam pelaksanaannya kebijakan harga pangan menghadapi masalah eksternal berupa lingkungan strategis perdagangan internasional yang cenderung semakin meningkat derajat liberalisasinya serta masalah internal dengan semakin terbatasnya anggaran pemerintah dalam mendukung pembangunan pertanian.
Kedua masalah itu menyebabkan masih adanya inkonsistensi kebijakan yang tetap mendukug peningkatan produksi pangan domestik serta dengan yang ingin menyerahkan masalah pangan pada mekanisme pasar (Sawit, 2003).
Pengalaman negara berkembang yang membuka pasar dan mengurangi bantuan terhadap petani sejak 1995 menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik, pembangunan pedesaan merosot, impor pangan meningkat pesat, dan mengancam ketahanan pangan, serta arus urbanisasi tidak bisa terkontrol sehingga menimbulkan persoalan baru di perkotaan (Sawit, 2003).
Di sisi lain, negara-negara maju yang tergabung dalam OECD masih cukup besar memberi dukungan pada industri pertaniannya. Meskipun isi kesepakatan  WTO dibidang pertanian menekankan agar semua anggota meningkatkan akses pasar, mengurangi bantuan domestik, dan mengurangi subsidi ekspor.
Kebijakan harga pangan domestik yang didasarkan pada kesepakatan WTO jelas tidak menguntungkan petani, karena dihilangkannya bantuan domestic dan subsidi ekspor mengakibatkan harga pangan domestic akan tinggi. Sementara itu dibukanya akses pasar dengan impor komoditas pertanian  akan menekan harga komoditas pangan lokal yang dapat merugikan petani sebagai produsen, pengolah pangan, pedagang hingga konsumen dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial dan akan mempengaruhi pengendalian inflasi.
Kenaikan harga pangan digolongkan sebagai komponen inflasi yang bergejolak (volatilefood), karena sifatnya yang mudah dipengaruhi oleh masa panen, gangguan alam, harga komoditas bahan pangan domestik dan internasional. Oleh karena itu hampir semua negara melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok dan strategis.
Dalam konteks regulasi intervensi kebijakan pemerintah terkait harga pangan telah terbit dua Undang -- Undang (UU) yaitu UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Pemerintah pusat dan daerah bertugas mengendalikan dan bertanggungjawab atas ketersediaan bahan pangan pokok dan strategis di seluruh wilayah Indonesia.
Bahan pangan pokok dan strategis tersebut harus tersedia dalam jumlah memadai, mutu yang baik, serta harga yang wajar untuk menjaga keterjangkauan daya beli di tingkat konsumen sekaligus melindungi pendapatan produsen.
Berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan bahan pangan pokok dan strategis tersebut harus pro rakyat. Perumusan kebijakannya berangkat dari hati nurani yang terdalam sehingga terbebas dari orientasi rente seeking yang mengakibatkan para pengambil kebijakan dibidang pangan tersandung kasus korupsi.
Importasi bahan pangan pokok dalam jumlah yang tidak sedikit kerap menggiurkan bagi pihak pemburu rente. Tidak jarang prosedur dan waktu untuk melakukan importasi terjadi disaat petani sedang panen raya sehingga tidak saja semakin menjatuhkan harga komoditas pangan domestic tetapi membuat frustasi petani yang berfungsi sebagai produsen bahan pokok.
Munculnya fenomena -hasil panen tomat, bawang, mentimun dan produk bahan pangan segar lainnya dilempar oleh petani dijalanan pada masa lalu- tidak saja perlu dibaca sebagai bentuk protes dan frustasinya petani sebagai produsen yang harus menanggung beban biaya produksi yang tidak sedikit, akan tetapi importasi pangan semacam itu menunjukan bahwa kebijakan pangan pemerintah tidak pro rakyat.
Kita berharap kebijakan pangan semacam itu tidak terjadi pada pemerintahan Presiden Prabowo yang berkomitmen untuk segera berswasembada pangan. Kuncinya adalah tutup keran impor pangan yang tidak perlu agar tekad berswasembada pangan yang telah dipidatokan pada saat pelantikan presiden tidak berhenti pada tataran retorika belaka, tetapi benar-benar mewujud menjadi kebijakan pangan yang pro rakyat baik sebagai produsen maupun konsumen pangan. Â Semoga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H