Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi sinyal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bakal disahkan pada Juli 2022. Akan tetapi, sampai saat ini draf pembahasan terakhir antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 25 Mei 2022 lalu tak kunjung dibuka, pemerintah memaksa masyarakat untuk memahami RKUHP, namun RKUHP itu sulit untuk didapatkan. Akibat tertutupnya pemerintah dan DPR, satu-satunya draf yang dapat diakses publik adalah draf RKUHP versi tahun 2019 yang menimbulkan gelombang unjuk rasa besar-besaran serta tambahan matriks yang disampaikan pemerintah kepada parlemen.
Ide untuk membuat Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diperbarui disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang, Jawa Tengah, pada 1963 silam. Alasan utama buat merumuskan RKUHP adalah untuk mengganti KUHP yang merupakan buatan dan peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.Â
Sumber KUHP adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Kitab hukum itu disahkan melalui Staatsblad pada 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di seluruh wilayah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918. Karena dibuat di masa pemerintahan kolonial, maka sejumlah pasal yang ada di dalam KUHP juga dinilai dibuat untuk menjaga kepentingan mereka.Â
Selain itu, pasal-pasal yang ada di dalam KUHP dinilai sudah kurang relevan dengan kondisi dan situasi masyarakat selepas Indonesia merdeka. Pemerintah kemudian menanggapi usulan itu dengan membentuk tim perumus KUHP pada 1964. Sejumlah pakar hukum dilibatkan dalam penyusunan RKUHP. Akan tetapi, mereka tidak membuat KUHP dari awal dan melakukan rekodifikasi. Kemudian mereka juga memberi penjelasan pada tiap pasal.Â
Meski begitu, pembahasan RKUHP belum juga usai hingga 58 tahun berlalu sejak awal digagas. Tidak ada yang dapat memastikan apakah pasal-pasal bermasalah dalam draf RKUHP terdahulu, yang jumlahnya ditaksir lebih dari 25 poin oleh sejumlah lembaga non pemerintah yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, masih ada atau dihapus maupun mengalami perubahan.
Kritik terhadap RKUHP dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP sudah ada sejak tahun 2007. Khususnya kritik terhadap delik penghinaan presiden/wakil presiden yang dihidupkan kembali dalam RKUHP, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Karena amat rentan terhadap penafsiran yang luas mengenai apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden.Â
Hal ini secara konstitusional akan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin oleh Pasal 28F UUD NRI 1945. Delik penghinaan presiden berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap. Karena delik-delik penghinaan presiden/wakil presiden digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan.Â
Hal ini dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan (3) UUD NRI 1945. Dalam suatu negara demokrasi, kepentingan pemerintah harus mendapatkan pengawasan agar tidak sewenang-wenang. Puncaknya adalah RKUHP versi tahun 2015 sampai finalnya versi tahun 2019 menimbulkan kontroversi. Karena RKUHP tetap mempertahankan kembalinya delik penghinaan presiden/wakil presiden. Dengan merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, putusan tersebut memerintahkan agar RKUHP tidak mengatur kembali pasal-pasal yang  isinya  sama  atau mirip  dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana.Â
Mengutip pendapat ahli Mardjono Reksodiputro dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang menarik adalah historis delik penghinaan presiden/wakil presiden. Reksodiputro mengutip pendapat CPM Cleiren, martabat raja tidak membenarkan pribadi raja bertindak sebagai pengadu (aanklager). Pasal 134 KUHPidana (selaku konkordan dari Article 111 WvS Nederland) merupakan pasal perlakuan pidana khusus sehubungan dengan penghinaan terhadap raja (atau ratu) Belanda. "Pribadi raja begitu dekat terkait (verweven) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat raja memerlukan perlindungan khusus." Cleiren mengungkapkan kembali pengertian kata koningin tidak sebatas ratu yang memerintah. Met Koningin wordt zowel de regerende, als de niet regerende Koningin bedoeld (W.L.H. Koster Henke).Â
Dikatakan, "iemand die op straat oproept, 'Weg met Koningin Wilhelmina' kan straafbaar zijn volgens artikel 134 WvS Ned. -- Indie." Reksodiputro berpendapat bahwa tidak ditemukan rujukan, apakah alasan serupa dapat diterima di Indonesia, yang mengganti kata 'raja' dengan 'presiden dan wakil presiden.