[caption id="attachment_161924" align="aligncenter" width="640" caption="admin/ilustrasi/shutterstock"][/caption] Pahlawan Tanpa Tanda Jasa... "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", begitulah julukan yang disematkan kepada Guru. Mengapa demikian? Karena duluuuuuuu....dibandingkan dengan profesi lain, guru adalah profesi yang paling tidak menjanjikan kemapanan. Menjadi guru berarti siap mengabdi tanpa pamrih juga siap hidup sederhana. Karena itu..., dimasa lalu sulit menemukan seorang siswa yang jika ditanyakan apa cita-citanya ia menjawab "guru"! Mereka lebih memilih menjadi Insinyur atau Dokter. Ironis bukan? Padahal untuk meraih cita-citanya, mereka belajar dari guru. Terus siapa dong yang nanti akan mengajar, kalau banyak yang tidak mau menjadi guru? Apa iya, guru saja harus impor? Akan tetapi, dengan tingkat kesejahteraan guru di Indonesia yang masih minim, apa iya ada yang mau? Itu duluuuu...sekarang lain lagi ceritanya! Kini banyak yang mempertanyakan, apakah gelar "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" itu masih cocok disematkan kepada guru. Bahkan ada yang memplesetkannya menjadi " Pahlawan Gila Jasa".! Duuhh...jujur saja sebagai seorang guru (walau masih belajar & sama sekali bukan pahlawan..) ada perasaan tertusuk mendengar hal tersebut, walaupun saya juga tidak dapat sepenuhnya menyalahkan orang yang beranggapan demikian. Mereka pasti punya alasan untuk berkata seperti itu. Kini kesejahteraan guru memang tidak lagi seperti dulu, walau tingkat kesejahteraan itu relatif dan berbeda-beda pada setiap guru (Karena ternyata profesi guru masih ada pengkotak-kotakan, ada guru PNS, guru TKK, guru sukwan, guru swasta & guru honorer). Dan sebenarnya masih cukup banyak kok guru yang tingkat kesejahteraannya masih minim. Lalu apa hanya masalah kesejahteraan yang membuat gelar tersebut dianggap tidak pantas lagi disandang oleh guru? Bukan itu, ternyata ulah dari sebagian oknum guru sendirilah yang turut andil menjadi penyebabnya. Guru sekarang dianggap materialistis, karena tidak dapat dipungkiri sering dijumpai oknum guru yang melakukan pungutan-pungutan liar kepada siswanya dengan berbagai alasan. Guru dianggap hanya mengejar materi, sementara kualitas dalam pengajarannya masih dipertanyakan. Guru juga dianggap konsumtif, lihat saja betapa banyak sales yang datang ke sekolah menawarkan berbagai barang dan jasa. Padahal tidak semua guru seperti itu lho...! Alasan Menjadi Guru... Dulu orang menjadi guru karena panggilan hati, karena keinginan untuk mengabdi dan turut andil mencerdaskan anak bangsa. Begitu tulus bukan? Bagaimana tidak, padahal jelas-jelas mereka tahu, menjadi guru berarti siap hidup sederhana, siap hidup apa adanya. Karena itu, jangan heran kalau dulu lembaga pendidikan keguruan sepi peminat. Tapi lihatlah sekarang... lembaga pendidikan keguruan mulai dilirik, peminatnya cukup banyak. Mengapa? Karena kini kesejahteraan guru mulai membaik. Salah satu daya tariknya adalah program sertifikasi guru. Lho, memang salah kalau tingkat kesejahteraan menjadi bahan pertimbangan? Gurukan juga ingin hidup layak?! Memang tidak salah, bahkan memang sudah selayaknya nasib guru diperhatikan. Tapi disinilah terlihat perbedaannya, yang satu lebih berorientasi pada pengabdian, sementara yang lain orientasi materi menjadi salah satu bahan pertimbangan. Tapi sekali lagi ini tidak salah kok...Kalau kita melihatnya dari sisi positif, paling tidak dari segi kuantitas kita tidak perlu lagi merasa khawatir akan kekurangan tenaga guru. Kalau soal kualitas sih, banyak faktor yang menentukan, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan itu sendiri, juga sistem perekrutan gurunya... dan tentu saja yang paling penting adalah motivasi pribadi dari para calon guru tersebut...Mau tidak meng-up grade diri terus-menerus untuk meningkatkan kualitasnya. Karena tidak boleh ada kata berhenti belajar untuk seorang guru. Guru Di Mata Orang Tua... Dulu guru begitu dihormati, begitu dihargai karena kesahajaannya, Bukan hanya di lingkungan sekolah tapi juga di lingkungan rumahnya. Orang tua begitu menaruh respek pada guru. Di sekolah guru dianggap pengganti orang tua. Orangtua begitu percaya pada guru anak-anak mereka. Tidak masalah bila tingkat ekonomi guru lebih rendah dari orangtua, tapi masalah kewibawaan.. gurulah juaranya. Tapi sekarang....boleh saja guru berpenampilan tak kalah wah dengan para orangtua, tapi soal wibawa...sepertinya hilang entah kemana. Orangtua tidak lagi menunjukkan respeknya seperti dulu. terkadang mereka malah bersikap curiga, seolah-olah semua guru itu makhluk materialis mata duitan. Ada kegiatan sedikit saja, langsung hal itu dianggap sebagai ajang obyekan sampingan para guru. Memang sih, tidak semua orang tua seperti itu, biasanya ini terlihat pada orangtua yang tingkat pendidikannya setara atau bahkan lebih tinggi dari guru, begitupula dengan tingkat ekonominya. Sebagian bahkan ada yang bersikap seolah nilai dari guru bisa dibeli...Ini nih yang kadang suka bikin mules. Tapi terkadang memang ada sih oknum guru yang memperjualbelikan nilai, dan parahnya sebagian orangtua menganggap semua guru seperti itu :-( Guru Di Mata Siswa... Sama seperti orangtua mereka, sikap para siswa juga tidak jauh berbeda. Dulu para siswa begitu hormat pada gurunya. Apa kata guru, itulah yang diikuti. Tak salah bila guru dianggap sebagai orang yang digugu dan ditiru." Pokoknya Bu Guru bilang begitu!" Titik!' Begitu yang sering didengar dari seorang anak saat berdebat dengan orangtuanya. Mau benar atau salah, pokoknya ikut apa yang dikatakan guru. Padahal gurukan manusia juga ya? Punya rasa, punya hati...ehh...maksudnya bisa salah juga..he..he..he..Tapi lihatlah sekarang, pada sebagian siswa, guru hanya dianggap pemberi nilai. Siswa menghormati guru sebatas kepentingannya akan nilai. Dibalik itu? Mudah dijumpai seorang siswa memaki gurunya di facebook. Mereka mungkin punya alasan, tapi hal seperti inikan harusnya tidak perlu terjadi. Ya, itulah potret guru kini, profesi mulia itu jadi kehilangan makna. Bukan karena siapa-siapa, tapi karena guru itu sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa semua guru seperti gambaran di atas. Sebenarnya masih banyak kok guru yang masih setia berada di rel idelismenya tanpa terlindas arus materialisme. Dan untuk orang-orang seperti mereka, hal diatas tidaklah berlaku, walau terkadang sedikit atau banyak, mereka juga terkena imbas dari perbuatan rekan-rekan mereka yang "nakal". Seperti kata pepatah, "karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Mungkin ada yang beranggapan, kok sebagai guru saya sepertinya justru memojokkan profesi sendiri? Saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Saya hanya mencoba menganalisa apa yang saya lihat berdasarkan sudut pandang saya, yang tentu saja subjektif. Tulisan ini sebenarnya hanya sebuah introspeksi, khususnya bagi saya pribadi. Akan tetapi saya tetap optimis kok, ke depan pendidikan Indonesia akan semakin maju.. Adanya tokoh seperti Anies Baswedan dengan program "Indonesia Mengajar" atau Munif Chatif dengan konsep "Sekolahnya Manusia" & "Gurunya Manusia" paling tidak sudah menunjukkan adanya proses kearah sana. Buat guru-guru hebat di luar sana, teruslah semangat memajukan pendidikan Indonesia! Buat yang belum (seperti saya, he..he..he..) yuk kita terus belajar dan berusaha untuk meningkatkan kualitas diri kita...Majulah Indonesiaku!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H