Mohon tunggu...
Azzura Nurfitriaina
Azzura Nurfitriaina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Mahasiswa semester 5 Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan ITS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penanganan Marine Debris pada Wilayah Probolinggo dan Banyuwangi

13 Desember 2023   14:36 Diperbarui: 13 Desember 2023   14:44 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ABSTRAK
Nusantara, sebutan bagi negara Indonesia merupakan cermin bagi potensi pertumbuh-kembangan negara, potensi maritim terkhusus pada potensi di area pesisir. Potensi area pesisir selayaknya diintegrasikan dengan manajemen dan kebijakan ataupun peraturan yang baik agar tercipta keberlanjutan antar aspek dan komponen yang terdapat di pesisir tersebut, baik dari lingkungan hingga masyarakat atau industri terkait. Manajemen pesisir yang tidak didasarkan pada peraturan seperti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah terkait pemanfaatan linkungan, manajemennya dan pengelolaan limbah dapat memunculkan permasalahan dan risiko bagi keberlanjutannya. Oleh karena itu, melalui karya ilmiah ini akan dibahas mengenai integrasi peraturan pemerintah kepada berbagai pihak yang seharusnya dilakukan untuk menciptakan lingkungan pesisir yang berkelanjutan khususnya kawasan pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Probolinggo yang menjadi studi kasus pada karya ilmiah ini.

Kata Kunci: Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Probolinggo, Manajemen Pesisir, Nusantara, Undang-Undang

PENDAHULUAN

Indonesia, sebagai negara dengan kepulauan, memiliki garis pantai yang panjang dan beragam sumber daya. Pentingnya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan agar dapat memberikan manfaat yang langgeng. Peran sumberdaya pesisir diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, regional, dan lokal. Oleh karena itu, agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan ruang dan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan, diperlukan pemahaman mendalam mengenai pengertian dan karakteristik kawasan ini serta penduduk yang tinggal di dalamnya. Pengelolaan wilayah pesisir melibatkan penilaian menyeluruh, penetapan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta perencanaan dan pengelolaan segala kegiatan pemanfaatannya terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir.
Kota merupakan suatu area geografis di mana sejumlah penduduk tinggal dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Kegiatan utama di kota fokus pada sektor non-agraris, dan kota ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang lebih baik daripada kawasan sekitarnya (Azwar, 2003). Teori lokasi adalah bidang ilmu yang mengkaji tata ruang kegiatan ekonomi atau alokasi geografis sumber daya potensial, serta hubungannya dengan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial lainnya (Tarigan, 2005).
Kawasan pesisir adalah area daratan yang erat kaitannya dengan lautan, dan pengembangannya terkait erat dengan pengembangan wilayah secara keseluruhan. Penataan ruang tetap menjadi fokus dalam pengembangan kawasan pesisir, baik sebagai kawasan budidaya, kawasan lindung, atau kawasan tertentu, dengan tujuan memberikan kesejahteraan masyarakat sambil menjaga kelestarian lingkungan (Rahardjo Adisasmita, 2006).

Wilayah laut dan pesisir, bersama dengan sumber daya alamnya, memiliki signifikansi strategis dalam pembangunan ekonomi Indonesia, menjadi salah satu pilar utama ekonomi nasional. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), wilayah pesisir dihuni oleh lebih dari 110 juta jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk Indonesia, yang tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Wilayah ini dianggap sebagai awal dari perkembangan urbanisasi Indonesia di masa depan. Secara administratif, sekitar 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten terletak di pesisir, dan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki wewenang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Kawasan Pantai adalah batas antara daratan dan lautan, dengan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi dan lautan dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Indonesia, terutama di wilayah pesisir, memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Pengelolaan sumber daya ini harus sesuai dengan aturan dan tidak boleh diabaikan. Kawasan pantai perlu dimanfaatkan secara teratur dan sesuai peraturan, menghindari eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang ada. Meskipun dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi, seperti sari laut (udang, ikan, rumput laut, dll.), pengambilan harus mematuhi aturan dan tidak boleh dilakukan sembrono.
Setiap wilayah pantai memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda, sehingga penanganannya juga harus disesuaikan. Kewenangan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan tercakup dalam berbagai peraturan (sektoral), termasuk pariwisata, lingkungan, tata ruang, pertanahan, pertambangan, kehutanan, dan lainnya (Ahmad Djunaedi, 2002:10). Selain memanfaatkan sumber daya laut, pengelolaan kawasan pantai juga harus memperhatikan kebersihan sekitar. Dengan menjaga kebersihan, daya tarik pantai dapat meningkat, menarik lebih banyak pengunjung. Kawasan pantai tidak hanya dimanfaatkan untuk sumber daya laut, tetapi juga sebagai tempat untuk kegiatan sosial, termasuk acara keagamaan dan kegiatan lain yang tidak merusak kawasan pantai, seperti yang terjadi di Pulau Bali.
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir adalah kelompok manusia yang bermukim di sekitar garis pantai sebagai tempat mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Pemerintah terus melakukan berbagai upaya pengembangan untuk meningkatkan sektor pariwisata dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Salah satu strategi yang diterapkan adalah pembangunan pelabuhan dan infrastruktur. Meskipun demikian, pembangunan yang dilakukan belum mencakup seluruh aspek yang signifikan di kawasan pesisir. Adanya penumpukan sampah di wilayah pesisir menjadi bukti nyata bahwa masih banyak aspek yang belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.
Ketidakpedulian terhadap pengelolaan sampah dapat mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan yang merugikan kenyamanan hidup dan mengurangi kualitas kesehatan masyarakat. Sampah menjadi beban bumi dengan risiko-risiko yang mungkin timbul (Hadi, 2005). Sampah, menurut Kodoatie (2003), adalah limbah padat atau setengah padat yang dihasilkan dari kegiatan perkotaan atau dari siklus kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Undang-Undang No.18 tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau hasil alam yang berbentuk padat. Sampah adalah materi sisa yang tidak diperlukan setelah suatu proses selesai. Dalam konteks ini, sampah adalah produk buatan manusia; dalam proses alam, tidak ada sampah, hanya produk yang tak bergerak (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008).
Permasalahan limbah atau sampah di daerah pantai memerlukan perhatian dan solusi yang tepat. Sampah merupakan hasil sisa yang tidak terpakai yang berasal dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Akumulasi limbah di pesisir pantai sering kali dipengaruhi oleh aktivitas pariwisata. Meskipun kunjungan wisatawan memberikan dampak positif pada sektor ekonomi, namun juga seringkali membawa dampak negatif, seperti peningkatan jumlah sampah. Praktek pembuangan sampah sembarangan oleh wisatawan, baik di sepanjang pantai maupun di laut, menjadi salah satu penyebab utama. Penjual di kawasan pantai juga berkontribusi pada penumpukan sampah, dan perilaku pembuangan sampah oleh masyarakat pesisir turut menyumbang pada masalah ini. Selain itu, pembuangan limbah di sepanjang aliran sungai oleh masyarakat dan industri juga menjadi penyumbang signifikan terhadap penumpukan limbah di kawasan pesisir, terutama di daerah muara sungai.

Marine Debris

Sampah laut adalah jenis limbah yang terdapat di perairan laut, mencakup berbagai material seperti plastik, logam, kaca, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merugikan lingkungan laut. Sampah ini dapat berasal dari aktivitas manusia di daratan yang mencemari sungai, atau langsung dari kegiatan kelautan seperti nelayan dan kapal-kapal, serta melibatkan berbagai jenis limbah seperti mikroplastik hingga barang-barang besar.
Sumber utama sampah laut adalah aktivitas manusia, termasuk pembuangan sampah secara tidak bertanggung jawab. Sampah dari daratan bisa mencapai laut melalui sungai dan aliran air. Selain itu, industri perikanan dan pelayaran juga menyumbang signifikan terhadap masalah sampah laut, dengan peran pentingnya plastik sebagai komponen dominan dalam limbah laut. Sampah laut memiliki karakteristik yang bervariasi, mulai dari partikel-partikel mikroplastik hingga barang-barang besar seperti jaring ikan dan kapal yang terbuang. Plastik, dengan ketahanan terhadap dekomposisi alami yang tinggi, menjadi salah satu komponen sampah laut yang paling merugikan. Karakteristik lainnya termasuk kemampuan untuk merusak ekosistem laut dan membahayakan flora dan fauna laut.
Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam menanggulangi permasalahan sampah laut. Kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah, rendahnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk sampah plastik, dan tingginya tingkat konsumsi plastik menjadi hambatan utama. Selain itu, kurangnya koordinasi antarinstansi dan regulasi yang belum optimal turut memperumit upaya penanganan sampah laut di Indonesia. Dalam menanggulangi sampah laut, pemerintah Indonesia perlu memperkuat regulasi terkait pengelolaan sampah dan mendorong implementasi kebijakan yang mendukung pencegahan dan pengurangan sampah laut. Investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan juga menjadi kunci. Penguatan penegakan hukum terhadap pembuangan sampah ilegal dan kerjasama lintas sektor akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih.
Instansi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah perlu berkolaborasi untuk menyusun kebijakan yang terintegrasi dan efektif. Inisiatif kampanye edukasi masyarakat mengenai bahaya sampah laut serta promosi gaya hidup berkelanjutan juga penting agar masyarakat dapat berperan aktif dalam menjaga kebersihan laut. Mobilisasi partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah laut perlu ditingkatkan. Pendidikan lingkungan sejak dini dan program-program kesadaran lingkungan di sekolah dapat membentuk generasi yang peduli terhadap masalah ini. Program insentif bagi masyarakat yang aktif dalam kegiatan pembersihan pantai dan pemilahan sampah juga dapat mendorong partisipasi aktif.
Penggunaan teknologi dan inovasi dalam pengelolaan sampah laut dapat memberikan solusi yang berkelanjutan. Pengembangan teknologi daur ulang untuk material seperti plastik, penelitian lebih lanjut tentang cara mengatasi mikroplastik, dan penerapan teknologi pengumpulan sampah laut secara efektif dapat menjadi bagian dari solusi. Pemerintah dapat mendukung riset dan pengembangan teknologi ini melalui insentif dan kolaborasi dengan sektor swasta.
Sampah laut adalah masalah global yang memerlukan kerjasama lintas negara. Pemerintah Indonesia dapat memperkuat kerjasama dengan negara-negara tetangga dan lembaga internasional untuk pertukaran informasi, teknologi, dan sumber daya. Ini akan membantu menciptakan strategi bersama dan mendukung upaya global untuk mengatasi sampah laut. Pemerintah perlu memperkuat sistem monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan dan program pengelolaan sampah laut. Dengan pemantauan yang efektif, pemerintah dapat mengidentifikasi keberhasilan dan hambatan dalam upaya penanganan sampah laut serta melakukan penyesuaian yang diperlukan. Dengan mengadopsi pendekatan yang terintegrasi, berbasis ilmiah, dan melibatkan berbagai pihak, pemerintah Indonesia dapat menghadapi tantangan sampah laut dengan lebih efektif. Langkah-langkah ini tidak hanya akan memberikan manfaat jangka pendek dalam membersihkan perairan Indonesia, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati laut dan kesejahteraan masyarakat di masa depan. (Sheavly dkk, 2007; Iniguez dkk, 2016)

PEMBAHASAN

UU 27 tahun 2007 juncto UU no 1 tahun 2014 (UU PWP – PPK)
Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan landasan hukum untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. UU ini kemudian mengalami perubahan melalui UU No. 1 Tahun 2014. Perubahan ini mencakup berbagai aspek, termasuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, izin lokasi dan izin pengelolaan, kewenangan pemerintah, serta pelatihan dan pengembangan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu aspek yang diatur dalam UU tersebut adalah pengelolaan sampah laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU ini memberikan landasan hukum untuk pengaturan mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan kepada setiap orang dan masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dengan demikian, UU No. 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014 memberikan dasar hukum yang kuat untuk pengelolaan marine debris melalui pengaturan-pengaturan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan kawasan pantai yang efektif, sesuai dengan peraturan, akan menghasilkan peningkatan daya tarik kawasan pantai, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan bagi warga lokal dan daerah setempat. Pentingnya menjaga kebersihan pantai, terutama dalam pengelolaan sampah, tidak dapat diabaikan.
Pengelolaan wilayah pantai perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan keberlanjutan di masa depan. Tidak hanya untuk kepuasan saat ini, namun pengelolaan kawasan pantai juga harus mempertimbangkan aspek jangka panjang agar kawasan tetap berkelanjutan dan dapat dinikmati secara berlanjut.
Kawasan pantai sangat diminati oleh wisatawan yang mencari pemandangan indah dan menenangkan. Selain digunakan untuk pariwisata, kawasan pantai juga menjadi sumber kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat dan mendukung kepentingan daerah setempat. Namun, perlu diingat bahwa aktivitas di sekitar pantai, terutama dalam konteks pariwisata dan pemanfaatan lainnya, seringkali menghasilkan sampah yang perlu dikelola dengan baik.

UU 23 tahun  2014 (UU ttg Pemerintahan)
Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan hukum yang mengatur mengenai otonomi daerah, pembagian urusan pemerintahan, kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. UU ini juga mengatur mengenai pembentukan daerah otonom baru, perubahan status daerah, serta tata cara pemekaran, penggabungan, dan pemekaran kembali daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan hukum yang memperkuat sistem pemerintahan di tingkat daerah. Undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan daerah yang meliputi otonomi, desentralisasi, dan tata kelola yang baik. Otonomi daerah diatur agar pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik setempat. Desentralisasi, dalam konteks ini, memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dan masalah-masalah lokal dengan lebih efektif.
Kaitannya dengan pengelolaan sampah laut, UU No. 23 Tahun 2014 memiliki dampak yang signifikan. Pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya yang diperkuat oleh undang-undang ini, dapat mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi masalah sampah laut di wilayahnya. Hal ini dapat mencakup pengembangan kebijakan, program, dan proyek pengelolaan sampah laut yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan lokal. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah dapat lebih responsif terhadap tantangan konkret yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar wilayah pesisir dan laut.
Selain itu, UU Pemerintahan Daerah juga mengatur tentang tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk transparansi dan partisipasi masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci dalam upaya pengelolaan sampah laut yang efektif. Pemerintah daerah dapat melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pengelolaan sampah laut, memastikan adanya dukungan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Dalam konteks keberlanjutan, UU No. 23 Tahun 2014 juga mencakup ketentuan-ketentuan terkait pelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam setiap kebijakan dan program yang mereka susun, termasuk dalam pengelolaan sampah laut. Dengan demikian, undang-undang ini menjadi instrumen penting dalam mendukung upaya pemerintah daerah untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir.
Secara keseluruhan, UU Pemerintahan Daerah memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memperkuat peran pemerintah daerah dalam mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk pengelolaan sampah laut. Dengan memanfaatkan kewenangan dan otonomi yang diberikan oleh undang-undang ini, pemerintah daerah diharapkan dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang efektif untuk mengatasi permasalahan lingkungan laut secara lokal.
UU 11 tahun 2020 (UU CIPTA KERJA – OMNIBUS LAW)
Omnibus Law atau dikenal dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merupakan inisiatif penting yang diambil pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan struktural perekonomian nasional. Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan dan menyinkronkan berbagai peraturan lintas sektor yang ada untuk memudahkan investasi, peluang usaha, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Undang-undang ini mencakup berbagai bidang, termasuk peraturan ketenagakerjaan, investasi, dan lingkungan hidup.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penumpukan Sampah di Kawasan Pesisir
Penumpukan sampah di kawasan pesisir atau pantai di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor kompleks yang melibatkan interaksi antara perilaku manusia, kondisi lingkungan, dan kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Berikut adalah faktor-faktor  yang menyebabkan penumpukan sampah di kawasan pesisir Indonesia:
1. Kurangnya Kesadaran Lingkungan: Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan dampak negatif sampah pada ekosistem laut seringkali rendah di masyarakat. Minimnya edukasi dapat menyebabkan perilaku pembuangan sampah sembarangan.
2. Penggunaan Plastik Berlebihan: Masyarakat Indonesia sering menggunakan plastik dalam jumlah besar, terutama kemasan sekali pakai. Plastik sulit terurai dan seringkali mencemari pantai, membahayakan kehidupan laut, dan memperburuk penumpukan sampah.
3. Kurangnya Infrastruktur Pengelolaan Sampah: Sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia menghadapi keterbatasan dalam infrastruktur pengelolaan sampah, termasuk sistem pengumpulan yang kurang efisien, fasilitas daur ulang yang terbatas, dan pembuangan sampah yang tidak teratur.
4. Pola Konsumsi Masyarakat: Gaya hidup konsumtif masyarakat modern, termasuk penggunaan produk plastik dan barang-barang sekali pakai, turut berkontribusi pada meningkatnya volume sampah di kawasan pesisir.
5. Ketergantungan pada Laut sebagai Sumber Pangan: Masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut dapat menghasilkan sampah nelayan dan limbah perikanan, yang kemudian dapat mencemari pesisir jika tidak dikelola dengan baik.
6. Aktivitas Industri: Limbah industri yang tidak dielola dengan benar dapat mencemari kawasan pesisir. Bahan kimia berbahaya dari sektor industri dapat merusak ekosistem laut dan meningkatkan penumpukan sampah.
7. Pariwisata yang Tidak Berkelanjutan: Destinasi pariwisata di pesisir seringkali mengalami peningkatan sampah akibat kunjungan wisatawan. Kurangnya pengelolaan limbah pariwisata dapat meningkatkan tekanan pada ekosistem pesisir.
8. Kondisi Geografis dan Hidrologis: Pola arus laut dan kondisi hidrologis tertentu di Indonesia dapat menyebabkan kawasan pesisir menjadi tempat akumulasi sampah dari berbagai sumber.
9. Kurangnya Penegakan Hukum: Kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait pembuangan sampah dapat memicu perilaku sembarangan dan bertanggung jawab atas penumpukan sampah di pesisir.
10. Perubahan Iklim: Faktor perubahan iklim, seperti kenaikan suhu laut dan intensitas cuaca ekstrem, dapat memperparah masalah penumpukan sampah dengan mempengaruhi pola arus laut dan redistribusi sampah.
11. Kurangnya Inisiatif Daur Ulang: Ketidaktersediaan fasilitas daur ulang yang memadai dapat meningkatkan volume sampah di kawasan pesisir, karena barang-barang yang seharusnya bisa didaur ulang akhirnya dibuang begitu saja.
12. Pembuangan Sampah dari Sungai: Sampah yang dibuang secara sembarangan di sungai dapat mengalir ke laut dan mencemari kawasan pesisir. Pengelolaan sungai yang tidak baik dapat menjadi penyebab utama penumpukan sampah di pantai.
Penanganan masalah penumpukan sampah di kawasan pesisir Indonesia memerlukan upaya terkoordinasi melalui pendekatan holistik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, industri, dan organisasi lingkungan untuk menciptakan perubahan positif dan menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun