Literasi merupakan kemampuan dimana seseorang dapat membaca, menulis, memahami, dan menganalisis sebuah tulisan. Literasi juga melibatkan kemampuan seseorang untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi informasi secara efektif melalui tulisan tersebut. Dalam hal ini, Finochiaro dan Bonomo berpendapat bahwa membaca tidak hanya sekedar melafalkan kata dan kalimat, tetapi memetik serta memahami makna yang terkandung di dalam tulisan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk memiliki kemampuan literasi yang baik. Hal ini dikarenakan literasi dapat memudahkan seseorang untuk mengakses informasi dan mengambil keputusan yang informasional. Selain itu, literasi juga penting untuk mendapatkan penalaran yang logis, memecahkan suatu masalah, dan berpikir secara kritis.
Sudah sering disampaikan bahwa membaca adalah jembatan ilmu. Hal ini berarti bahwa membaca sangat penting bagi setiap orang karena dapat memperkaya wawasan, mengoptimalkan kinerja berpikir, mendapatkan informasi terbaru, serta melatih kemampuan dalam menulis dan merangkai kata. Dengan ini, diharapkan semakin banyak orang yang berminat untuk membaca. Namun, seiring berjalannya waktu, minat baca orang-orang justru semakin merendah.
Di era globalisasi saat ini, Indonesia memiliki peringkat yang masih terbilang rendah dibandingkan dengan negara lain dalam sistem pendidikannya.  Salah satu  permasalahan yang banyak terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini adalah kurangnya literasi atau minat baca pada siswa maupun mahasiswa. Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik (BSP), bahwa pada tahun 2023 jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 278,69 juta jiwa. Hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah data dari UNESCO, yaitu hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat dalam membaca. Selain itu, menurut survei Program Of International Student Assesment (PISA) tahun 2019, bahwa Indonesia masuk dalam bagian 10 negara dengan tingkat literasi terendah diantara negara lainnya.
Fakta berikutnya, dalam survei terbaru yang dilakukan oleh google yaitu Think Tech, Rise Of Foldables bahwa jumlah smartphone yang aktif di Indonesia terdapat sebanyak 354 juta perangkat yang artinya sudah melebihi jumlah populasi di Indonesia. Ironisnya selain memiliki minat baca yang rendah, berdasarkan laporan State Of Mobile 2023, rata- rata orang Indonesia menghabiskan waktu untuk memainkan ponsel selama 5,7 jam. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi faktor penyebab banyaknya info provokasi, hoax, dan fitnah yang tersebar, sehingga kurangnya literasi dan minat baca di Indonesia.
Ada beberapa alasan lain mengapa minat literasi dalam dunia pendidikan di Indonesia masih sangat rendah, diantaranya yaitu belajar untuk membaca namun tidak membaca untuk belajar, artinya hanya mampu membaca dan mengeja tapi tingkat disiplin membaca atau riset menambah pengetahuan yang dibaca itu rendah. Kedua, aktif membaca tapi tidak membaca aktif. Artinya yaitu banyaknya buku, tulisan dan lama membaca tidak otomatis meningkatkan kemampuan literasi. Membaca aktif berarti munculnya niat untuk lebih tahu dalam memvisualisasikan isi, mempertanyakan point-point, dan bahkan bisa menganalisa. Selain itu juga kurangnya dukungan dan bimbingan dari orang sekitar sehingga tidak termotivasi untuk membaca, sarana dan prasarana yang kurang memadai, pengaruh teknologi dan media sosial yang semakin banyak menyediakan hiburan daripada bacaan, kualitas pendidikan dan model pembelajaran yang tidak efektif, Â pembagian waktu kegiatan yang tidak seimbang, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya literasi.
Rendahnya literasi atau minat baca di Indonesia erat hubungannya dengan tingkat pendidikan di negara tersebut. Menurut peraturan Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa, perlu menumbuhkan budaya literasi atau gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan atau karya digital.
Berdasarkan pembahasan tersebut, teori pendidikan yang berhubungan dengan permasalahan ini adalah teori pendidikan pribadi atau personal. Dalam teori pendidikan pribadi, terdapat pendekatan yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu untuk mengatasi masalah kurangnya literasi di dalam dunia pendidikan. Caranya adalah dengan memahami keunikan setiap individu, mengidentifikasi faktor yang menyebabkan kesulitan dalam literasi, dan menyesuaikan strategi pembelajaran yang lebih efektif.
Misalnya pada gaya belajar visual, dapat menggunakan metode pembelajaran melalui gambar, diagram, atau video. Sedangkan gaya belajar verbal dapat menggunakan bahan bacaan yang sesuai dengan minat dan tingkat pemahaman sehingga lebih termotivasi untuk membaca dan meningkatkan literasi. Dengan menerapkan pendekatan pendidikan pribadi ini, diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan minat dalam literasi. Karena hal ini dapat berdampak baik  dalam jangka waktu yang panjang jika semakin banyak orang yang termotivasi untuk memperbanyak literasi, terutama dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Kurangnya ketertarikan literasi atau membaca dalam pendidikan di Indonesia ini juga menjadi faktor utama lahirnya program pemerintah melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015, yaitu sebuah gerakan yang disebut Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan minat siswa maupun mahasiswa dalam membaca dan mengolah informasi yang dibaca, sehingga mampu menguasai pengetahuan yang didapatkan dengan lebih baik.
Dibalik alasan rendahnya literasi dalam pendidikan di Indonesia, banyak sekali dampak yang terlihat secara nyata dari permasalahan mengenai kurangnya literasi ini. Dampak-dampak tersebut diantaranya, yang pertama yaitu kurang bijak dalam menyikapi informasi. Dibuktikan dengan banyaknya informasi hoax dan ujaran kebencian karena tidak membaca dan mencari tahu terlebih dahulu apakah informasi tersebut benar atau salah.