Generasi Z adalah generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, mereka tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi oleh teknologi dan media sosial. Meskipun kemajuan teknologi membawa banyak manfaat, seperti akses informasi yang lebih cepat dan komunikasi yang lebih mudah, dampak negatifnya terhadap kesehatan mental tidak dapat diabaikan. Generasi Z sering kali menghadapi tekanan yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Stres akibat tuntutan akademis, perbandingan sosial di media sosial, dan masalah identitas dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya. Oleh karena itu, penting untuk memahami peran guru bimbingan konseling dalam membantu siswa mengatasi tantangan ini. Mengatasi kesehatan mental generasi Z memerlukan pendekatan yang holistik, melibatkan kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Guru bimbingan konseling dapat berperan sebagai jembatan antara berbagai pihak ini, memastikan bahwa siswa mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Guru bimbingan konseling memiliki tanggung jawab yang krusial dalam mendukung kesehatan mental siswa. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pendengar, tetapi juga sebagai fasilitator yang membantu siswa mengembangkan keterampilan dan strategi untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Dalam konteks digital, guru bimbingan konseling juga perlu memahami dinamika media sosial dan dampaknya terhadap kesehatan mental siswa.
Generasi Z adalah kelompok muda yang tumbuh dengan teknologi sebagai bagian integral dari kehidupan mereka. Secara umum, ciri-ciri yang menonjol dari generasi ini mencakup cara mereka berinteraksi sosial, yang lebih banyak dilakukan melalui platform digital. Mereka juga dikenal sebagai multitasker, seringkali melakukan berbagai aktivitas sekaligus. Selain itu, generasi ini memiliki keinginan kuat untuk diakui dan memiliki ambisi yang tinggi dalam mencapai tujuan mereka. Permasalahan yang sering muncul pada generasi ini adalah adanya kecemasan berlebih tentang update media sosial terkini atau biasa yang disebut dengan FOMO. Seseorang yang mengalami FOMO akan selalu mengecek media social secara berkala, sebab mereka tidak ingin jika melewatkan suatu hal terbaru dalam media social. Anak-anak di era sekarang rentan mengalami stres dan depresi akibat kebiasaan membandingkan diri mereka dengan "kesempurnaan" yang ditampilkan di media sosial. Penelitian menunjukkan bahwa remaja saat ini dapat menghabiskan lebih dari 7 jam sehari menggunakan gadget, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas yang lebih bermanfaat.
Media sosial sering kali menyajikan gambaran yang sangat terdistorsi tentang kehidupan, penampilan, dan kesuksesan. Banyak pengguna media sosial, terutama remaja, terpapar pada konten yang menampilkan gaya hidup glamor, tubuh ideal, dan pencapaian yang tampaknya sempurna. Standar-standar ini sering kali tidak mencerminkan kenyataan, karena banyak dari gambar dan video yang dibagikan telah melalui proses penyuntingan yang cermat atau hanya menampilkan momen-momen terbaik dari kehidupan seseorang. Ketika individu terus-menerus melihat representasi yang tidak realistis ini, mereka mulai membandingkan diri mereka dengan apa yang mereka lihat. Akibatnya, mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak cukup baik, tidak cukup menarik, atau tidak mencapai kesuksesan yang sama. Perasaan tidak cukup baik ini dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya rasa percaya diri. Individu mungkin merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kesejahteraan emosional dan fisik mereka.
Selain itu penggunaan media social juga dapat menimbulkan adanya cyberbullying. Cyberbullying mencakup berbagai bentuk pelecehan, seperti pengiriman pesan yang menghina, penyebaran rumor, atau pengucilan individu di platform media sosial. Berbeda dengan bullying tradisional, yang biasanya terjadi secara langsung, cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, membuat korban merasa terjebak dan tidak memiliki tempat untuk melindungi diri. Cyberbullying juga dapat meningkatkan tingkat kecemasan pada korban. Mereka mungkin merasa cemas tentang interaksi sosial, takut akan penilaian negatif dari orang lain, atau khawatir tentang kemungkinan serangan lebih lanjut. Kecemasan ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari mereka, mempengaruhi kemampuan untuk berkonsentrasi di sekolah atau tempat kerja, dan mengurangi kualitas hubungan sosial yang mereka miliki.
Dalam dunia pendidikan juga mengalami transformasi yang signifikan, di mana guru kini diharuskan untuk menguasai teknologi yang terus berkembang. Selain itu, layanan bimbingan dan konseling juga telah beradaptasi dengan perubahan ini. Beberapa tahun lalu konseling dilakukan dengan tatap muka namun di era sekarang dapat beralih kedalam bentuk cyber counseling yang mana hal tersebut akan mudah dijangkau oleh generasi Z yang sering menggunakan platform digital. Generasi Z lebih sering bercerita di media sosial daripada mengunjungi guru BK oleh karena itu perlu adanya pembaruan layanan bagi guru BK agar dapat menunjang kebutuhan generasi pada era sekarang. Sebagai guru BK harus dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada. Guru BK dapat menjadi tempat berlindung bagi siswa yang merasa tertekan atau cemas, memberikan dukungan dan pendengaran yang empatik, melalui program edukasi guru BK dapat meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, membantu siswa memahami pentingnya merawat kesehatan mental mereka. Dengan mengenali tanda-tanda awal masalah kesehatan mental, Guru BK dapat melakukan intervensi yang diperlukan dan merujuk siswa ke profesional jika diperlukan.
Guru BK dapat mengorganisir kegiatan berkala seperti workshop atau seminar dapat menjadi langkah penting dalam mendukung kesehatan mental siswa. Kegiatan ini dapat difokuskan pada topik-topik seperti manajemen stres, mindfulness, dan keterampilan hidup lainnya yang relevan. Dalam sesi ini, siswa dapat belajar teknik-teknik untuk mengelola stres, seperti pernapasan dalam, meditasi, dan cara mengatur waktu dengan lebih efektif. Selain itu, workshop tentang mindfulness dapat membantu siswa untuk lebih hadir di saat ini, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan fokus. Dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan praktis, siswa akan lebih siap menghadapi tantangan sehari-hari dan mengembangkan ketahanan mental yang lebih baik. Mendirikan kelompok dukungan antar siswa juga dapat mejadi cara yang efektif untuk menciptakan lingkungan yang saling mendukung. Dalam kelompok ini, siswa yang memiliki pengalaman serupa, seperti menghadapi tekanan akademis atau masalah kesehatan mental, dapat berbagi cerita dan strategi coping. Kelompok dukungan ini tidak hanya memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan perasaan mereka, tetapi juga membantu mereka merasa tidak sendirian dalam perjuangan mereka. Dengan saling mendengarkan dan memberikan dukungan, siswa dapat membangun rasa solidaritas dan meningkatkan kesejahteraan emosional mereka. Melibatkan orang tua dalam program-program yang mendukung kesehatan mental siswa sangat penting untuk menciptakan konsistensi antara sekolah dan rumah. Sekolah dapat mengadakan pertemuan atau seminar untuk orang tua, di mana mereka dapat belajar tentang tanda-tanda masalah kesehatan mental dan cara mendukung anak-anak mereka. Kolaborasi ini juga dapat memperkuat komunikasi antara sekolah dan keluarga, sehingga siswa merasa didukung baik di lingkungan akademis maupun di rumah. Di era digital saat ini, memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk mendukung kesehatan mental siswa sangatlah relevan. Sekolah dapat menggunakan aplikasi atau platform digital yang menawarkan berbagai sumber daya. Dengan menyediakan akses tersebut, siswa dapat belajar untuk merawat kesehatan mental mereka secara mandiri dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Guru Bimbingan Konseling (BK) memiliki peran yang sangat penting dalam membantu mengatasi permasalahan kesehatan mental yang dihadapi oleh Generasi Z di era digital. Perkembangan teknologi yang pesat membawa dampak besar terhadap kehidupan sosial dan psikologis anak-anak muda, termasuk meningkatnya kecemasan, depresi, dan stres yang disebabkan oleh tekanan media sosial, cyberbullying, dan isolasi digital. Sebagai pendidik, guru BK berperan sebagai pembimbing yang dapat memberikan dukungan emosional kepada siswa yang merasa tertekan. Mereka membantu siswa untuk mengenali perasaan mereka dan mencari cara untuk mengelola emosi serta stres. Guru BK juga dapat memberikan wawasan mengenai pentingnya keseimbangan antara dunia nyata dan dunia digital, serta dampak negatif yang dapat timbul akibat penggunaan teknologi yang berlebihan. Melalui konseling individu maupun kelompok, guru BK dapat memberikan ruang aman bagi siswa untuk berbicara tentang permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu, guru BK juga berperan dalam mengedukasi siswa tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, serta memberikan keterampilan dalam mengelola stres dan tekanan hidup. Di era digital, guru BK juga perlu mengembangkan keterampilan untuk menangani masalah yang muncul akibat media sosial, seperti cyberbullying dan kecanduan media sosial. Dalam hal ini, guru BK perlu terus mengikuti perkembangan teknologi dan tren digital agar dapat memberikan layanan yang relevan dan up-to-date.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H