Mohon tunggu...
Azza Rizkia
Azza Rizkia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan dan Upaya Jepang terhadap Isu Kudeta Militer di Myanmar

7 Juli 2021   11:54 Diperbarui: 7 Juli 2021   12:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara historis pada tahun 1954 Jepang dan Myanmar memiliki hubungan yang sangat erat dibidang ekonomi dan bantuan-bantuan lainnya karena adanya perjanjian perdamaian dan reparasi perang (Peace Treaty and War Reparations Aggreement) yang telah ditandatangani oleh kedua negara tersebut. Dengan adanya beberapa perubahan kebijakan, hubungan Jepang dan Myanmar masih terjalin dengan baik dan pada awal tahun 1973 adanya kunjungan ke Jepang oleh Jendral Ne Win untuk meminta bantuan untuk bergabung dengan lembaga keungan internasional seperti bank dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) karena Jepang sebagai pemegang saham terbesar sehingga tahun berikutnya Myanmar dapat bergabung dengan ADB. Namun, pada tahun 1988 terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win dan adanya protes untuk menurunkan Perdana Menteri U Nu yang sudah memerintah sejak tahun 1948, penurunan perdana menteri ini dilakukan karena dianggap tidak berkapabilitas dalam memimpin Myanmar. 

Dengan turunnya perdana menteri U Nu ini justru sebagai pembuka rezim militer yang represif dan otoriter, dimana hal ini mengakibatkan adanya gerakan The Uprising of 888  oleh para demontsran untuk menolak dan melawan serta berusaha untuk menggantikan rezim tersebut menjadi kekuasaan sipil. Selain gerakan The Uprising of 888 ini pada tahun 2007 terjadi protes yang sama dengan nama gerakan Saffron Revolution yang dibangun oleh para biksu dan masyarakat sipil. Upaya protes yang dilakukan oleh para demonstran ini mendapatkan respon yang tidak baik dari pemerintah yang mana untuk meredam massa, pemerintah justru menembaki para demonstran hingga menewaskan banyak korban sampai kurang lebih 5.000 korban. 

Kudeta ini terjadi lagi pada tanggal 01 Februari 2021, dimana kudeta ini berawal dari adanya pemilihan umum di Myanmar yang memenangkan 82% kursi oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Namun pada partai Tatmadaw Union Solidarity and Development Party (USDP) yang hanya memenangkan 6% kursi membuat adanya ketidakpercayaan Tatmadaw dalam pemilu tersebut sehingga Tatmadaw melakukan kudeta di Naypyidaw. Dengan menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan para pemimpin partai NLD lainnya dan mengumumkan bahwasannya terdapat kecurangan dalam pemilu sehingga adanya pengambilalihan kekuasaan dengan menunjuk Min Aung Hlang sebagai pemimpin Myanmar.

Selain itu, pada tanggal 2 dan 4 Februari 2021 Tatmadaw menempatkan lebih dari 400 anggota parlemen sebagai tahanan rumah lalu masyarakat Myanmar turun ke jalan melakukan demonstrasi. Namun untuk memperkuat perebutan kekuasaan Junta, Min Aung Hlang membentuk Dewan Administrasi Negara (SAC) dan Tatmadaw mengendalikan perusahaan telekomunikasi dengan memblokir akses social media selama tiga hari.

Pada 9 Februari Polisi menembak seorang wanita sampai meninggal dan pada 19 Februari terdapat 300 lebih anggota parlemen terpilih dalam Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) untuk menenatng Junta serta Tamadaw menyusun UU keamanan siber yang melanggar kebebasan berbicara dan privasi digital dan Tatmadaw memulai sidang rahasia untuk Aung San Suu Kyi dan Win Myint tanpa kehadiran pengacara pembela. Pada 28 Februari keadaan semakin ricuh dan anarkis antara pendemo dan petugas kepolisian serta terdapat 18 pengunjuk rasa yang tewas ditangan Tatmadaw, yang mana hal ini membuat keresahan dan kemarahan dari berbagai lembaga HAM. 

Dalam hal ini melihat adanya kudeta militer yang terjadi di Myanmar hingga memakan banyak korban jiwa dan kasus pelanggaran HAM yang mana negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Korea dan yang lainnya sangat mengecam akan adanya pelanggaran HAM, bahkan sampai memutus hubungan kerjasama dengan Myanmar. Berbeda dengan Jepang, negara ini tetap bersikap netral, melakukan dan menjaga hubungan bilateral antara Jepang dan Myanmar dengan memberikan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar. Walaupun pada tahun 1988 Jepang sempat menghentikan bantuan ekonominya kepada Myanmar. Namun hal ini tidak terjadi karena Jepang ingin tetap menjaga hubungan baik dengan Myanmar. Hal ini dilakukan juga sekarang oleh Jepang karena Jepang tidak ingin Myanmar jatuh ke tangan China yang mana antara China dan Myanmar memiliki hubungan politik dan ekonomi yang erat dengan pemerintahan Junta, sehingga apabila memutus hubungan akan beresiko mendorong Myanmar untuk lebih dekat dengan China. 

Para warga Myanmar yang berada di Jepang juga melakukan aksi demo mendesak pemerintah Jepang untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan mengakui National Unity Government yang merupakan oposisi rezim junta militer. Dalam hal ini karena Jepang masih tetap bersikap netral, memberikan bantuan berupa Bantuan Pembangunan Resmi Jepang (ODA) yang hampir mencapai 200 milyar yen (26 triliun) dan menjaga hubungan dengan Myanmar serta tidak menjatuhkan sanksi, karena Jepang menandatangani perjanjian pinjaman dengan bunga yang rendah untuk pembangunan infrastruktur dan pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan kecil atau menengah. Dengan tanggapan diam yang diberikan Jepang, negara ini berusaha untuk mendesak para jendral militer Myanmar untuk menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil dan para pengunjuk rasa. Dalam hal ini terdapat kebijakan atau upaya Jepang untuk menciptakan perdamaian, keamanan dan kemakmuran dengan menciptakan lingkungan internasional yang damai melalui kerjasama dan adanya stabilitas politik. Dimana dalam kasus ini Jepang merumuskan kebijakan luar negeri dengan menggunakan pendekatan Wholistic yang mana pendekatan ini mengambil kebijakan dengan melihat secara jangka panjang untuk keberlangsungan hubungan antara Jepang dan Myanmar. 

Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya Jepang tetap bersikap netral dan mempertahankan hubungan dengan Myanmar karena Jepang memiliki kepentingan nasional dan kepentingan yang berjangka panjang dengan militernya untuk dimasa depan nanti. Hal ini dilakukan Jepang karena Myanmar sebagai salah satu negara yang membawa pengaruh ekonomi cukup besar bagi Jepang, serta agar dapat memperkuat pengaruh ekonomi dan politik Jepang juga di negara-negara berkembang lainnya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun