Mohon tunggu...
Azzam Zakariya
Azzam Zakariya Mohon Tunggu... -

pengagum berat 'maklumat sastra profetik' Kuntowijoyo, penikmat alunan 'viva la vida' Coldplay, satu shaff di belakang pemikiran Buya Syafii Maarif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Sebuah Jeda

14 Februari 2015   06:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:13 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Duhai, jika boleh diibaratkan, barangkali hidup ialah seumpama sebuah garis nan dipenuhi dengan misteri. Pagi itu, ada yang sedikit berbeda pada sepotong waktu istirahat ku. Memang, apabila dilihat secara kasat mata akan terlihat sama saja. Apa bedanya, ia hanyalah sejeda waktu di sela-sela kegiatan belajar sekolah dengan kisaran waktu sekira tiga puluhan menit, namun obrolan ringan pada sepotong waktu istirahatlah yang menjadi faktor pembeda. Pagi itu, disertai cangkir kopi, kacang, serta semilir angin yang mengiringi laju mentari nan kian meninggi, aku beruntung dapat mengaisi ibrah dari obrolan ringan ‘guru-guru spiritualku’, Pak Miswar dan Bu Siti.

Pagi itu, berawal dari kegalauan seorang guru, tumpah ruahlah sekarung hikmah dari obrolan ringan yang kami lakukan. Adalah Bu Siti, seorang guru di sekolah kami. Ia, sebuah potret kegalauan pendidik muda di Pulo Beras. Ia, sedikit diantara perempuan lokal yang beruntung dapat mencicipi nikmat pendidikan hingga tingkat paling tinggi. Namun, hidup selalu adalah tentang perjuangan tanpa kenal henti. Maka kini, meski telah ia tamatkan pendidikan sarjananya, masih saja ia jumpai ‘tikungan-tikungan rawan’ dalam perjalanan hidupnya.

Ia, seorang guru lokal putri daerah dengan status honorer, dengan usia yang masih relatif muda, baru saja membina biduk rumah tangganya dengan seorang pemuda dari pulo seberang. Entah bagaimana mulanya, pagi itu ia merasa perlu mendapat semacam ‘oase spiritual’ guna mengusir kegalauan yang menggelayut di benaknya. Dan kabar baiknya, Pak Mis tak hanya mampu memainkan perannya sebagai kepala sekolah. Lebih dari itu, ia seumpama seorang bapak yang mampu menawarkan embun penyejuk di tengah sahara kehidupan yang kian mengering.

Dalam penilaian kacamata subyektif ku, Pak Mis adalah sesosok pribadi yang mampu merawat keseimbangan. Sebab meski ia tergolong tipologi manusia yang amat ‘akhirat-oriented’, tapi ia juga memiliki kepekaan duniawi. Maka, meski secara ekonomi dapat kita golongkan ke dalam kelas menengah, nampaknya dunia tak terlalu menggirukan baginya. Dan entah bagaimana semua percakapan pagi itu bermula, obrolan kami akhirnya bermuara pada tiga hal; kerendahatian, ketulusan serta kebahagiaan.

Pak mis mengawali kisahnya dengan cerita tentang dua orang sahabat. Syahdan, ada dua orang sahabat yang tinggal di sebuah daerah pesisir. Kedua sahabat itu bersekolah bersama hingga SMP. Selepas itu, garis takdir memisahkan kisah persahabatan mereka untuk sejenak. Seorang dari mereka, dengan kesempatan serta kekayaan yang dimiliki orang tuanya, beruntung memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Dan ia terus bersekolah, hingga ia dapatkan gelar profesor dalam usia yang relatif muda. Dengan harta serta ilmunya, ia rengkuh segala kenikmatan yang mungkin dirasakan manusia dalam hidupnya. ringkas kata, ia hidup berkecukupan.

Seorang lainnya, tersebab ketidakmampuan ayah ibunya untuk membiayai sekolah. Iamemutuskan untuk mengakhiri sekolah. Membantu kedua orang tuanya mencari penghidupan sebagai nelayan, merawat adik-adiknya yang masih kecil. Hidup tak memberikannya banyak pilihan. Ia tumbuh menjadi pemuda, menikah dengan seorang gadis desa, menjadi nelayan untuk membiayai hidupnya. Suatu ketika, seorang dari mereka yang menjadi profesor pulang ke kampung halaman menjenguk kedua orangtuanya. Dalam kesempatan itu, ia juga bertemu dengan sahabat lamanya. Untuk sekedar mengembalikan memori kolektif masa lalu mereka, mereka memutuskan untuk pergi memancing di laut.

Senja itu, matahari baru saja akan kembali ke peraduannya, kedua sahabat itu pergi memancing dengan menaiki sebuah perahu. Air yang tak terlalu beriak, angin yang menghembus sepoi, sertabulan yang memasuki purnama kedua belas, menciptakan kombinasi suasana yang teramat sempurna. Sembari menunggu kail mereka tersangkut ikan, juga untuk sekedar membunuh kesepian yang menyelimuti mereka, sang profesor bertanya kepada sahabatnya yang nelayan

‘apakah kau bisa bahasa inggris?’ tanyanya

‘tidak tahu’ jawab sang nelayan sembari malu-malu

‘sungguh kau telah rugi lima puluh persen, kau sia-siakan kesempatanmu untuk menikmati remah-remah duniawi yang tersedia’ komentar sang profesor merasa ia lebih baik

‘kalau matematika, apakah kau mengetahuinya?’ lanjut sang profesor

Dengan muka yang kembali tersipu, sang nelayan bergumam ‘tak tahu’

‘kalau begitu, kau juga rugi lima puluh persen, padahal matematika adalah salah satu syarat untuk menguasai dunia’ kembali profesor itu berujar dengan nada setengah mengejek

Setibanya di selat, tetiba ombak dan gelombang datang menari-nari, menciptakan suasana nan penuh kepanikan. Ada gurat kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah sang profesor. Dengan penuh ketenangan, sahabatnya yang nelayan bertanya

‘apakah kau bisa berenang profesor?’ tanyanya penasaran

‘aku tidak bisa berenang kawan’ keluh sang profesor dengan gurat kepanikan tersisa di wajah

‘maka sungguh kau rugi seratus persen, sebab ombak dan gelombang ini akan membalikan perahu yang kita naiki’ seru sang nelayan

Aduhai, jika maut sudah menampakkan wajahnya, apalagi yang hendak kita banggakan? Sebab kita hanyalah makhluk kecil yang banyak sekali kekurangannya, lantas pantaskah kita merendahkan orang lain? Maka sebaik-baik manusia ialah ia yang selalu mampu merunduk dalam segala sikap, kata dan perbuatan. Demikian pungkas Pak Mis mengakhiri kisahnya, Bu Siti mengangguk anggun, aku terdiam takzim.

Pada sepuluh menit berikutnya, Pak Mis berbagi tentang hakikat ketulusan. Kopi baru kuseruput sepertiga, kacang masih terbungkus rapi, Bu Siti merapikan posisi duduknya, aku masih terdiam takzim. Pak Mis mengambil contoh ketulusan itu dari relasi antara orang tua dan anak. Ia mengibaratkan ketulusan orang tua bak pohon apel. Alkisah, seorang pemuda hidup di bawah naungan sebatang pohon apel yang besar, rimbun dedauan yang menghiasi mampu melindungi pemuda itu dari terik panas dan gigil dingin saat hujan turun. Lebat bebuahan yang tumbuh dapat dijadikan sebagai makanan untuk terus bertahan hidup, pohon apel itu begitu tulus memberikan manfaatnya pada sang pemuda, tak sedikitpun ia mengharap balasan darinya. Suatu hari sang pemuda merasa hidupnya begitu membosankan, ia merasa perlu segera berlayar untuk melihat dunia, menjadikan hidupnya lebih baik dari sebelumnya.

Tapi hasratnya itu terbentur sebuah hal, ia tak memiliki kapal, disampaikannya perihal tersebut pada sang pohon, dengan bijak sang pohon menawarkan jalan keluar ‘potonglah dahan-dahanku, buatlah perahu, arungilah samudera untuk melihat dunia yang belum kau tahu’, maka dibuatlah perahu, lantas ia memulai pengembaraanya melihat dunia, namun perahu itu rupanya tak cukup kuat menahan hebatnya ombak. Ia butuh kapal yang lebih besar untuk bisa arungi ganasnya samudera.

Maka sekali lagi disampaikanya kesusahan tersebut pada sang pohon, pohon yang tak seindah dulu tentunya, sebab dahanya telah tertebas habis tempo hari. Ajaibnya sang pohon kembali mengijabah pinta pemuda itu, dalam ketulusannya yang lebih tak masuk akal, ia merelakan batangnya untuk dijadikan kapal ‘potong saja tubuhku nak, agar segala citamu dapat tergapai kelak’ begitu petuah sang pohon dengan bijaknya. Maka habislah pohon apel itu digunakan demi kepentingan sang pemuda. Demikianlah, Pak Mis menggambarkan bahwa betapa ketulusan orang tua itu luas tak terperi, apapun akan diberikannya demi kebahagiaan anak. Pagi itu aku membayangkan wajah ayah ibu ku, mengenang kembali masa kecil ku silam, menginsyafi ‘dosa-dosa’ yang kuperbuat pada mereka, sementara kini aku begitu jauh merantau, ah… tiba-tiba aku merindukan rasanya mencium tangan ibu ku sebelum berangkat sekolah dulu.

Matahari kian tinggi, jam tepat menunjukan pukul sepuluh lima puluh menit, selang sepuluh menit jelang bel masuk berbunyi. Pak Mis kembali mencipratkan embun-embun penyejuk jiwa yang sedang gelisah. Sejenak kita tinggalkan bab-bab tentang kerendahatian serta ketulusan, kini kita akan bergumul tentang narasi kebahagiaan. Satu hal yang amat diingini oleh setiap mereka yang hidup, sesuatu yang begitu diburu, segala daya upaya dikerahkan untuk merengkuhnya. Tapi apa kebahagiaan itu? pada usahanya untuk mendefinisakan kebahagiaan, Pak Mis mengkomparasikannya dalam trilogi kekayaan, kesenangan dan kebahagiaan. Mana yang paling penting? Tentu saja kebahagiaan lah jawabnya.

Lantas, identikkah ia dengan kekayaan dan kesenangan? Nyatanya seorang yang bahkan memiliki kekayaan yang melimpah tak lantas merasa bahagia. Sebab bahagia ialah soal rasa, ia lebih terdapat pada wilayah hati, sesuatu yang seringkali tak tampak secara lahiriah. Maka, seorang yang secara lahiriah tampak sangat kaya raya, tak otomatis menjadi bahagia, tergantung bagaimana ia memaknai kekayaannya tersebut, juga sikap syukur yang ia ejawantahkan. Pun begitu kesenangan, aduhai, seseorang boleh saja memiliki jabatan tinggi yang membuatnya senang dan bangga, seseorang boleh saja memiliki harta yang melimpah ruah, seseorang boleh saja memiliki istri paling cantik se penjuru kota. Siapa yang tak senang coba? Namun bahagia bukan soal ukuran relatif kaya tidak, berpangkat tidak, maupun tampan atau cantik tidak, ia justru tertampak pada orang-orang yang mau bersyukur pada segala yang telah memberi kehidupan di dunia ini, lewat jalan itulah kebahagiaan seringkali terpancar.

Kepada kami yang masih muda-muda Pak Mis berpesan bahwa kunci kesuksesan dalam hidup, selalu tentang kesabaran, yang didalamnya terkandung kesempurnaan ikhtiar, teriring kebersahajaan munajat, dan dibungkus dalam kepasrahan tawakkal. Maka engkau akan menjadi manusia paling bahagia jika dapat memegang erat kesabaran dan kesyukuran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun