Mohon tunggu...
Azzam Zakariya
Azzam Zakariya Mohon Tunggu... -

pengagum berat 'maklumat sastra profetik' Kuntowijoyo, penikmat alunan 'viva la vida' Coldplay, satu shaff di belakang pemikiran Buya Syafii Maarif

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kenduri Cinta di Tanah Bencana

15 Januari 2015   13:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aceh adalah tanah yang mencintai kita, dan kita mencintainya

Masjid Meulingge; 26 Desember 2014

Malam baru saja tiba, rembulan tampak malu-malu untuk sekedar menampakkan rona merahnya, menggantikan senja yang telah purna menuntaskan amanah abadi nya, menghantar sang mentari kembali ke peraduannya. Saat kami tiba di mesjid kampung itu, shalat telah baru saja dimulai, maghrib itu, jamaah tampak lebih banyak dari biasanya, segera saja kuambil posisi di shaff belakang mengikuti jamaah shalat maghrib itu.

Adalah Teungku Ibrahim yang bertindak menjadi imam pada magrib itu, membawakan surah al insyirah dalam bacaanya yang tartil nan mesra-syahdu, membuat suasana khusyuk nan menentramkan lewat suaranya yang mengalun merdu. Setelah salam berakhir, ia lalu memimpin jamaah untuk berdzikir, maghrib itu ia mengajak segenap warga kampung untuk larut dalam kidung-kidung dzikir yang menyihir, menafakuri takdir Ilahi yang terjadi di tanah serambi. Maghrib itu, mereka berkumpul, mendoakan mereka yang telah mendahului sembari mengenangi bencana tsunami.

Seusai dzikir yang ditutup dengan shalat isya berjamaah, acara dilanjutkan dengan kendurian, semacam bentuk rasa syukur mereka atas segala rupa kebaikan-Nya, sejeda berikutnya, tumpah ruahlah aneka rupa hidangan malam itu, dilengkapi bercangkir cangkir kopi, menambah suasana hangat kebersamaan warga kampung yang mencoba menepis duka.

Siang sebelumnya, dari atas mimbar, Teungku Mustafa menyampaikan khotbahnya dengan menggebu, ia mengigatkan bahwa di balik setiap musibah selalu tersimpan hikmah yang beribu, tugas manusia adalah mencoba mengumpulkan potongan potongan hikmah itu menjadi satu, agar diketahui rahasia apa yang hendak diberitahukan oleh-Nya, Sang Maha Tahu.

Pesisir Patai Meulingge, 30 Desember 2014

Semilir angin terasa dingin malam itu, bulan yang tak lagi purnama, menambah suasana keremangan di sepotong wilayah kampung meulingge, listrik yang sedari sore tadi padam-hidup, seolah memberi sambutan yang tak terlalu ramah pada kami, maklumlah meulingge adalah desa terbarat di wilayah Pulau Beras, dengan kondisi geografis yang berkontur laut-bukit menyebabkan kondisi listrik seringkali labil, sedikit angin saja bisa sebabkan mati listrik beberapa lama.

Namun, kondisi itu rupanya tak sedikitpun mengendurkan semangat warga untuk hadir, mereka berduyun-duyun berjalan ke lokasi napak tilas tsunami, tak mereka hiraukan gelap jalan dan dingin angin. Malam itu kami melakukan refleksi, mengenang kembali detik-detik kala musibah menyapa tanah serambi, memetik hikmah dan pelajaran dari momentum tsunami.

Malam kian beranjak, kami dan warga duduk lesehan di pesisir pantai, sambil menikmati kopi, serta jajanan ala kadarnya, kami nikmati kisah-kisah saat kejadian tsunami yang dituturkan oleh tiga warga kampung. Disampaikan dalam bahasanya yang paling sederhana, sedikit tak lancar berbahasa, namun tetap mengagumkan. Diselingi debur ombak, desau angin, dan keremangan malam.

‘mari kita mati bersama-sama’ kata Teungku Mus berlari ke gunung sembari bergandeng tangan dengan keluarganya. Ada banyak cara Tuhan mengambil nyawa hamba-Nya, tapi mungkin, diantara yang paling menyeramkan adalah ketika kita tahu akan seperti apa bentuk kematian yang menjemput kita. Orang-orang yang selamat dari tsunami adalah orang-orang yang pernah mengalami suatu kejadian dimana batas antara hidup dan mati menjadi begitu tipisnya, dan manusia tak punya kuasa apapun untuk menghindar darinya, apabila sang waktu telah tiba.

Beda pula kisah yang dituturkan Teungku Muslim, sebagai imam meunasah yang ada di kampung meulingge. Kala air beranjak naik, sementara orang-orang mulai ramai lari ke gunung ia justru menuju meunasah. Sesampainya di meunasah, ia kumandangkan adzan dengan penuh rasa khusyuk, dengan suaranya yang merdu memenuhi ufuk. Barangkali apa yang dilakukannya adalah semacam bentuk kepasrahan total pada Sang Maha Pencipta, juga bukti cintanya pada rumah-Nya yang selama ini ia jaga. singkat cerita, ia salah satu diantara sedikit warga yang selamat pada hari itu.

Dari orang-orang yang selamat dari musibah tsunami, kami belajar bahwa betapa tidak berdayanya manusia dihadapan Sang Maha Kuasa. Dari mereka yang beruntung mendapatkan pengalaman spiritual menakjubkan, saat kematian terasa begitu dekatnya, kami belajar tentang hakikat dari kehidupan yang kita jalani, bahwa semua berasal dan akan kembali pada-Nya. Malam kian larut, cangkir kopi telah kosong, jajanan sekedarnya yang dihidangkan pun telah habis, malam itu kami beranjak pulang dengan khazanah spiritual yang kian bertambah, meski sedikit.

Teluk Meulingge, 31 Desember 2014

Sepagi itu udara masih terasa dingin, mentari baru saja akan beranjak dari ufuk, ketika aku dan beberapa teman bergerak menuju meunasah di pesisir pantai, pagi itu warga desa akan memasak hidangan kendurian dan akan disajikan pada siang harinya, baru beberepa gelintir warga yang kami jumpai, mereka telah siap dengan tugasnya masing-masing. Bagaimanapun, kenduri menjadi salah satu hari besar bagi warga, terlebih hari ini mereka bertindak sebagai yang punya hajat, maka segala persiapanya harus dilakukan semaksimal mungkin. Sesampai di lokasi, kami langsung bergabung dengan warga yang mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing, menyiapkan hidangan kendurian.

Sementara di bagian lain kampung, beberapa kawan mengadakan kegiatan bakti sosial untuk anak-anak Sekolah Dasar yang terletak di Pulau Beras. Terhitung lima puluh paket baksos siap dibagikan kepada anak anak yatim piatu dan juga mereka yang kurang mampu. Pagi itu, mereka berkumpul, bernyanyi, mendengarkan cerita, menonton film, dan bermain bersama. Kami berusaha mengenalkan tsunami kepada anak-anak itu lewat kegiatan yang menyenangkan.

Matahari kian meninggi, teriknya makin terasa ketika warga kampung berduyun-duyun berjalan ke arah teluk, lokasi kenduri siang itu. Hidangan telah siap, semua warga telah bekumpul, akhirnya puncak napak tilas tsunami ditutup dengan acara kenduri bersama warga kampung di teluk Meulingge siang itu.

Usai beberapa sambutan, disertai sedikit tausyiah yang dilanjutkan do’a bersama, kami tengadahkan tangan, bermunajat pada Sang Maha Kuasa agar berkenan memberikan tempat terbaik bagi para almarhum korban tsunami sepuluh tahun silam. Tak lupa pinta kami agar senantiasa disapa hidayah-Nya, agar bencana dahsyat sepuluh tahun silam itu tetap terkenang dalam memori kolektif kami tentang betapa Maha Besar Kuasa-Nya.

Akhirnya, kenduri ditutup dengan menyantap bersama-sama hidangan yang telah disajikan, sebagai wujud rasa syukur kami atas berbagai rupa karunia yang diberikan-Nya, juga pada cinta-Nya yang terus terjelma di bumi serambi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun