Mohon tunggu...
Mahdiya Az Zahra
Mahdiya Az Zahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - lifetime learner

Mompreneur yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kata Tuhan (Batasan Menuju Keraguan)

5 April 2017   00:14 Diperbarui: 5 April 2017   08:00 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad

Pembahasan tentang Tuhan diawali dengan pembahasan tentang wujud atau keberadaan. Mari kita singkirkan terlebih dahulu kata Tuhan. Wujud berarti ADA. Segala sesuatu di alam ini ADA. Manusia, hewan, tumbuhan, planet, galaksi, bintang, samudra, gunung, semuanya ADA. Keberadaan segala sesuatu di alam ini adalah mutlak dan kita terima secara hudhuri (tanpa konsepsi). Maka wujud atau ADA adalah ADA, dan tidak mungkin tidak ada itu ADA. Karena TIDAK ADA tidak memiliki realitas di alam.

ADA hanya satu. Tidak ada ADA setelah ADA. Tidak ada ADA 1, ADA 2, ADA 3. Yang ada hanya ADA. Maka ADA ini mutlak dan satu. Segala sesuatu di alam ini mulanya hanya ada ADA. Tidak ada manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Kemudian ADA ini mengambil sebagian dirinya dan memberinya bentuk. Bentuk inilah yang disebut Mahiyah atau APA. Sehingga terbentuklah manusia, hewan, tumbuhan yang  bermula dari ADA dan oleh ADA itu sendiri diberi bentuk hingga terlihatlah mahiyah atau keapaan dari ADA itu sendiri. ADA sebagai manusia, ADA sebagai hewan, ADA sebagai tumbuhan. Dalam ADAnya manusia, hewan, tumbuhan adalah sama ADAnya yang membedakan hanyalah mahiyah atau APA nya.

Analogi wujud atau ADA seperti tanah liat sebagaimana tulisan saya yang berjudul “Kebergantungan pada Keberadaan.” Bahwa tanah liat dapat diberi bentuk sebagai kuali, piring, gelas, vas bunga, dsb. Sebelum dibentuk tanah liat adalah tanah liat yang tidak dapat dipersepsi berdasarkan fungsinya. Setelah diberi bentuk, tanah liat itu dapat dipersepsi sebagai kuali, piring, gelas, dsb. Bentuk kuali, piring, gelas, adalah mahiyah atau keapaan dari tanah liat. Sedangkan tanah liat bagaikan wujud dalam kuali, piring, dan gelas. Meskipun bentuknya sebagai kuali namun tanah liat adalah bahan utama (mendasar) dari kuali tersebut. Tanpa tanah liat kuali tidak akan ada. Sifat tanah liat juga melekat dalam diri kuali itu sendiri meskipun ia memiliki bentuk yang berbeda dari tanah liat.

Maka begitu juga dengan ADA. Alam ini berawal dari ADA. Kemudian ADA ini terbagi-bagi dan memilki bentuk sebagai realitas yang kita persepsi. Manusia, hewan, tumbuhan adalah ADA, dan tidak akan ada bentuk manusia tanpa didasari oleh ADA. Sifat dari ADA pun akan melekat pada manusia, atau dengan kata lain sifat ADA termanifestasi dalam diri manusia. Kemudian siapakah yang memberi bentuk manusia, hewan, dsb? Pemberi bentuk atau yang menggerakkan ADA untuk memiliki mahiyah adalah ADA itu sendiri.

Dengan demikian kita dengan mudah menerima bahwa alam ini ADA. Dan bahwa dalam segala sesuatu itu terdapat ADA yang menjadi dasar dari sesuatu. Mengakui adanya ADA tidak menjadi perdebatan bagi semua kalangan karena ADA memang niscaya ADA. Sebagaimana kita mengakui diri kita ADA.

ADA inilah yang kemudian sering disebut dengan Tuhan. Masalah muncul ketika terdapat kata Tuhan. Ketika mendengar kata Tuhan, tentu pikiran kita akan mengarah pada pertanyaan-pertanyaan. Apakah Tuhan itu? Siapakah Tuhan? Seperti apakah Tuhan? Ia berjalan, melata, atau terbang? Ia seperti manusia atau seperti hewan? Hidup kah? Sejenis planet atau bintang? Tinggal di galaksi mana? Atau malah ia adalah alien? Ketika mendengar sebuah kata kita akan senantiasa mengonsepkan kata tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan. Maka kata Tuhan ini hanyalah menimbulkan suatu perdebatan dan sulit diterima bahwa Tuhan ini ADA di alam karena Tuhan dianggap sebagai non materi (tidak memiliki mahiyah atau keapaan).

Maka penggunaan kata Tuhan bagai suatu perjalanan yang akan mengantarkan kita pada keraguan. Kata Tuhan hanyalah mahiyah yang membatasi ADA. Padahal ADA tidak terbatas karena ADA meliputi segala sesuatu di alam. Kata Tuhan membuat kita berasumsi dan berdebat, karena kita sulit menerima ADAnya Tuhan. Sedangkan ADA secara hudhuri dapat kita terima bahwa ADA itu ADA di alam. Meskipun demikian, kata Tuhan membantu kita untuk menyebut ADA, namun kata Tuhan juga menambah keraguan kita.

Wallahu ‘alam bi shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun