Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, menambah sorotan terhadap kebijakan ekonomi Indonesia. Sebelumnya, pada 2022, tarif PPN telah dinaikkan dari 10% menjadi 11%. Kenaikan ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara demi membiayai berbagai program pembangunan. Namun, keputusan ini tetap menimbulkan berbagai pro dan kontra, terutama terkait dampaknya bagi daya beli masyarakat dan kelangsungan dunia usaha.
Kenaikan PPN ini dilakukan untuk memperbaiki kondisi fiskal negara yang tertekan akibat pandemi COVID-19. Setelah dua tahun berturut-turut mengalami defisit anggaran yang cukup besar, pemerintah memandang perlu adanya langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara. Peningkatan tarif PPN ini diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap kas negara, yang nantinya bisa digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur dan bantuan sosial. Menurut Kementerian Keuangan Indonesia, dengan peningkatan tarif PPN, diperkirakan penerimaan negara dapat tumbuh sekitar 0,5% hingga 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang akan sangat membantu mengurangi defisit anggaran negara yang mencapai 3% pada tahun 2023.
Namun, kebijakan ini juga membawa risiko terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelompok dengan pendapatan rendah dan menengah. Salah satu dampak langsung yang akan dirasakan oleh masyarakat adalah kenaikan harga barang dan jasa yang dikenakan pajak. Hampir semua barang dan layanan yang selama ini dikenakan PPN akan mengalami kenaikan harga, baik itu makanan, pakaian, barang-barang elektronik, hingga layanan seperti transportasi, restoran, dan hiburan. Meskipun beberapa barang pokok dan layanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, tetap tidak terpengaruh oleh kenaikan ini, namun harga barang-barang lainnya, terutama yang tidak termasuk dalam kategori barang pokok, diperkirakan akan naik cukup signifikan. Bank Indonesia memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN ini berpotensi meningkatkan inflasi jangka pendek, yang akan memperburuk daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.
Selain itu, dampak kenaikan PPN ini bisa memperburuk daya beli masyarakat. Sebagai contoh, biaya transportasi yang lebih tinggi bisa membuat orang lebih sedikit bepergian, atau harga barang yang naik bisa membuat konsumen mengurangi belanja. Ini tentu saja akan memperlambat konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika daya beli masyarakat menurun, maka konsumsi barang dan jasa yang sebelumnya cukup tinggi pun bisa mengalami penurunan. Hal ini berpotensi mempengaruhi sektor-sektor ekonomi tertentu yang sangat bergantung pada konsumsi, seperti ritel, restoran, dan sektor pariwisata. Survei dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menunjukkan bahwa sektor ritel diperkirakan akan mengalami penurunan omzet sekitar 3% hingga 5% setelah kenaikan tarif PPN, mengingat konsumen akan semakin selektif dalam pengeluaran.
Di sisi lain, dunia usaha, terutama UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), juga akan merasakan dampak dari kenaikan tarif PPN ini. Para pelaku usaha, yang sebagian besar telah berjuang melalui masa-masa sulit akibat pandemi, kini harus menghadapi tantangan baru. Kenaikan PPN akan meningkatkan biaya operasional, baik dalam hal produksi, distribusi, maupun harga barang dan jasa yang mereka jual. Hal ini berpotensi membuat harga produk mereka lebih mahal, yang pada gilirannya dapat menurunkan permintaan. Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha harus mencari cara untuk menyesuaikan harga tanpa kehilangan pelanggan atau keuntungan. UMKM, yang sering kali tidak memiliki sumber daya untuk menangani perubahan perpajakan yang kompleks, berisiko menghadapi kesulitan dalam hal administrasi pajak dan penyesuaian harga. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) memperkirakan bahwa sekitar 20-30% UMKM dapat mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tarif PPN ini, yang pada akhirnya bisa mengurangi daya saing mereka di pasar.
Namun, pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan PPN ini. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan memberikan bantuan sosial kepada kelompok masyarakat yang paling rentan, terutama mereka yang berpendapatan rendah. Bantuan ini diharapkan bisa meringankan beban mereka akibat kenaikan harga barang dan jasa yang disebabkan oleh tarif PPN yang lebih tinggi. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk memperketat pengawasan agar kenaikan tarif PPN ini tidak disalahgunakan oleh pelaku usaha untuk menaikkan harga secara tidak wajar. Pengawasan yang ketat ini diharapkan bisa mencegah praktik eksploitasi terhadap konsumen dan menjaga kestabilan harga di pasar.
Namun, meskipun ada langkah-langkah tersebut, tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan tidak memberatkan masyarakat serta dunia usaha. Kenaikan PPN yang terlalu tinggi tanpa disertai kebijakan perlindungan sosial yang memadai berisiko memperburuk ketimpangan sosial. Masyarakat yang sudah mengalami kesulitan ekonomi akibat inflasi dan lonjakan harga barang, akan semakin tertekan dengan tambahan beban pajak ini. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk terus memantau dampak dari kebijakan ini dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Ke depan, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara meningkatkan penerimaan negara dan melindungi kesejahteraan masyarakat. Reformasi pajak yang lebih progresif memang diperlukan untuk memastikan bahwa negara memiliki cukup anggaran untuk membiayai program pembangunan, namun keberlanjutan kebijakan ini akan bergantung pada seberapa efektif pemerintah dalam mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat dan dunia usaha. Jika kebijakan ini bisa dijalankan dengan baik, maka PPN yang lebih tinggi dapat menjadi salah satu sumber pendanaan yang penting bagi Indonesia di masa depan. Namun, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dampaknya bisa jauh lebih merugikan bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H