Generasi Z atau Gen Z akhir-akhir ini selalu menjadi urutan teratas sebagai kandidat topik perbincangan yang hangat di perbincangkan. diisi dengan orang-orang yang lahir di rentan tahun 1997 hingga 2012, generasi ini memiliki banyak sekali tingkah-tingkah unik yang tanpa sadar membawa cara pandang dan perspektif baru bagi generasi lain dalam menjalani dan menikmati hidup. mereka berpegang teguh pada prinsip bahwa di kehidupan yang hanya sekali ini, manusia juga lah manusia yang harus berbahagia atas hidupnya.
   tumbuh dan beranjak dewasa bersama dengan perkembangan teknologi, menjadikan Gen Z sebagai orang-orang yang melek akan ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia. hal ini menjadikan mereka tumbuh menjadi pribadi yang unik dan ekspresif serta memiliki kreativitas tinggi. Media sosial menyediakan berbagai platform bagi Generasi Z untuk mengekspresikan diri, berbagi kreativitas, dan membangun identitas digital. Mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk kreativitas, termasuk seni, musik, dan penulisan, serta dapat berpartisipasi dalam advokasi sosial. Tidak hanya itu, generasi Z cenderung berbicara dan mengutarakn apa yang mereka suka dan tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan kesejahteraan diri dibanding sibuk memuaskan standar pandangan hidup orang lain terhadap diri mereka. mereka juga merupakan orang-orang yang memiliki sifat chill atas apa yang terjadi di hidupnya. walaupun terkadang, sering kelewat oversharing kehidupan pribadi di sosial media, anak-anak yang lahir di generasi ini sebenrnya hanyalah orang-orang yang ingin menjadi dirinya dan dicintai atas siapa diri mereka. maka dari itu, mereka tidak takut untuk menjadi berbeda dari yang lain.
   Tetapi siapa sangka, menjadi Gen Z yang hidupnya selalu terlihat YOLO itu juga menyimpan luka dibalik tawa dan sarkasme mereka. menguntip dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada reamaja 10-17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari dua puluh remaja di Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalan kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia. "Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki" terang Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAHMS.
   Lalu, sebenarnya apakah yang menjadikan Generasi chill ini menjadi penyumbang aktif pengidap gangguan mental?
   Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia pada tahun 2021 telah mempublikasikan sebuah hasil penelitian. Dimana fenomena ini disebabkan oleh transisi dari remaja menuju ke usia dewasa yang membutuhkan adaptasi terkait lingkungan baru, tanggung jawab pendidikan dan sosial, serta tuntutan budaya. Semua hal ini kemudian telah memberikan tekanan pada generasi muda, tanpa mereka tahu bagaimana cara mengatasi stress dan kecemasan tersebut. Seringkali kita temukan berbagai kasus tragis yang berawal dari kesulitan menghadapi hidup dengan mental health yang terganggu. Pada Oktober 2023, Kementrian Kesehatan mengungkapkan bahwa kasus bunuh diri terus meningkat hingga mencapai angka 826 kasus pada tahun itu. Data Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2018 juga sempat menyebutkan, setidaknya 1 dari 16 orang berusia 15 tahun ke atas terdiagnosa mengalami depresi. Dimana sebagian besar penyakit mental yang sering melatar-belakangi berbagai kasus adalah penyakit depresi akut hingga skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental berat yang dapat memengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. Penderita skizofrenia bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir dan perubahan perilaku.
   Baru-baru ini juga Indonesia dihebohkan dengan pembunuhan seorang ayah dan nenek di Jakarta Selatan oleh anggota keluarga mereka sendiri. Yaitu seorang anak laki-laki berusia 14 tahun yang diduga mengalami depresi. Sementara itu sang ibu yang juga menjadi korban sedang mengalami masa kritis di rumah sakit. Begitu juga maraknya kasus bunuh diri yang dilakukan mahasiswa dari beberapa universitas di Indonesia. salah satunya yang menimpa mahasiswa Universitas Petra Surabaya pada awal Oktober tahun ini. Dan masih banyak lagi sisi kela gangguan jiwa yang ingin kita semua sudahi dari dunia ini.
   Inilah beberapa dari sekian banyaknya alasan mengapa edukasi tentang mental health harus diberi fokus besar dalam proses pendidkan dan pengajaran di Indonesia. Anak-anak harus tahu bagaimana cara mengatasi berbagai ketakutan serta beribu tanda tanya yang tak mereka temukan jawabannya. Para orang dewasa dan orang tua harus memberi mereka banyak makna tentang indahnya kehidupan yang seimbang. Agar saat mereka tumbuh besar dan mulai mengahdapi dunia, badan mereka dapat berdiri tegap dengan kepala yang mendongak ke depan. Agar mereka, para penerus bangsa Indonesia dapat percaya diri, maju mewujudkan mimpi-mimpi menuju Indonesia Emas yang hangat dan tentram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H