Mohon tunggu...
Azzahra Amelia Putri
Azzahra Amelia Putri Mohon Tunggu... Administrasi - Branch Admin Staff / Mahasiswi

Halo! Saya Zahra. Seorang Leo dan INFJ-T yang senang menulis sejak TK. Pernah bercita-cita menjadi seorang penulis, namun saat ini masih menjadi seorang Staf dan Mahasiswi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saatnya Perempuan Minang Memutuskan Pilihan Jodohnya Sendiri

6 Januari 2025   18:58 Diperbarui: 6 Januari 2025   19:05 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan Nikita Willy dan Indra Priawan (Dok. The Bride Story)

Sebagai seorang perempuan Minang yang tumbuh di tengah era modern dengan bekal budaya yang kuat dari kedua orang tua, saya merasakan hal yang cukup membuat saya bingung---bahkan, kemungkinan besar dirasakan juga oleh perempuan Minang lainnya. Di mana, kami diminta untuk melestarikan budaya Minang dengan cara menikah dengan lelaki keturunan Minang pula. Karena lelaki Minang harus mempertahankan darah Minangnya dengan cara menikahi perempuan Minang. Bagi tetua kami, menikahi lelaki Minang adalah salah satu bentuk pelestarian budaya dan harus dipertahankan hingga anak cucu kami kelak. Tapi, apakah hal ini masih relevan untuk dilakukan di zaman sekarang? Haruskah kami mengorbankan perasaan kami demi menjaga tradisi ini?

Hidup dan tinggal di tengah perkembangan zaman, terutama di kota-kota besar seperti Bandung, interaksi lintas budaya adalah hal yang sangat lumrah. Bandung bukan lagi kota yang dihuni oleh orang yang hanya bersuku Sunda, sehingga menjadikan kami yang bersuku Minang tinggal di sini untuk menjalani hidup berbaur dengan siapapun tanpa memandang etnis di belakangnya. Bandung adalah kota yang slow living, kehidupan yang ada di sini membuat mata dan pikiran saya terbuka lebar. Saya mempelajari bagaimana cinta dan pernikahan tidak lagi terkekang oleh etnis yang mengatasnamakan "pelestarian budaya". Dengan lingkungan seperti ini, cinta bisa muncul tanpa adanya batasan etnis. Namun, dibalik semua itu, ada satu dilema besar: apakah keluarga besar kami siap menerima perbedaan ini?

Bagi perempuan Minang, tekanan untuk menikah dengan sesama Minang itu terasa sangat nyata. Menurut saya, budaya itu seharusnya adaptif, mengikuti perkembangan zaman namun tanpa menghilangkan esensi dari budaya itu sendiri. Menghargai budaya bukan berarti membatasi hak individu. Coba kita renungkan kembali, tradisi seharusnya bermakna, bukan menambah beban. Perempuan Minang yang hidup di era dan lingkungan modern tentu punya pilihan dan keinginan untuk merasakan kebebasan dalam memilih pasangan, tanpa harus merasa terbebani oleh budaya atau keluarga besar. Lagi pula, budaya tetap bisa dipertahankan seiring dengan berjalannya waktu. Bukankah menyenangkan bila kita hidup berdampingan dan saling bertukar cerita tentang latar belakang suku masing-masing? Saya rasa begitu.

Pernikahan antar suku di Indonesia telah menjadi bukti nyata bahwa pelestarian budaya dapat terjadi tanpa harus mengekang kebahagiaan. Sebagai contoh, pada seorang seleb Nikita Willy yang merupakan perempuan berdarah Minang yang menikah dengan seorang pengusaha berdarah Lampung, Indra Priawan. Mereka dikaruniai dua orang anak, Issa Xander Djokosoetono dan Nael Idrissa Djokosoetono. Kedua anak mereka tumbuh di tengah keluarga dengan latar belakang budaya beragam, Minangkabau dari Nikita dan budaya Lampung dari Indra. Keharmonisan dalam keluarga ini akan memberikan contoh nyata bagi anak-anak mereka tentang pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan.

Sebagai perempuan Minang, saya menginginkan adanya ruang yang lebih luas bagi kita untuk memilih pasangan tanpa rasa takut akan mengecewakan keluarga atau merasa kehilangan akar budaya kita. Sudah saatnya perempuan Minang memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan yang sesuai dengan hati mereka.

Saya yakin bahwa kebahagiaan individu tidak harus bertentangan dengan pelestarian budaya. Kita bisa terus menghormati tradisi sekaligus memberi dukungan kepada perempuan Minang agar memiliki keleluasaan dalam menentukan jodoh mereka sendiri. Peran kita sebagai generasi muda Minang sangatlah penting untuk membawa perubahan positif, membuktikan bahwa cinta sejati dapat terjalin dalam berbagai bentuk dan melintasi budaya, tanpa harus melepaskan jati diri budaya yang kita bawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun