Panic buying  ialah perilaku di mana seorang individu mengalami ketakutan, kemudian muncul rasa panik dalam pembelian sehingga membuat individu tersebut melakukan pembelian barang dalam jumlah yang sangat banyak, bahkan sampai melampaui batas. Hal tersebut muncul akibat rasa takut tidak kebagian barang yang diperlukan, atau rasa takut akan harga barang yang diperlukan akan naik sewaktu-waktu nanti.
Pada saat pertama kali kasus virus corona di Indonesia diumumkan, masyarakat berbondong-bondong membeli keperluan mereka secara berlebihan untuk disimpan sebagai stok persiapan dalam menghadapi virus corona.Â
Akibatnya, pembelian barang yang berlebihan atau penimbunan barang oleh masyarakat tersebut membuat stok yang ada di pasar atau supermarket semakin menipis dan semakin langka. Bahkan, semakin sulit untuk menemukan barang yang memang sangat dibutuhkan dalam situasi pandemi. Perilaku ini disebut dengan panic buying.
Padahal riset spesifik yang menyatakan bahwa produk tersebut terbukti efektif dalam melawan covid-19 belum ditemukan. Kepercayaan publik akan hal tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam kultur masyarakat Indonesia. karena, sampai saat ini masih banyak pihak yang menganggap bahwa pandemi yang terjadi ini merupakan konspirasi belaka. Asumsi pribadi tersebut kemudian dipercaya sebagai realitas yang tidak jarang mempengaruhi tindakan apa yang akan diambil oleh orang tersebut.
Pada awal masa covid-19 Masker dan hand sanitizer adalah barang yang sangat dicari. Beberapa pihak menimbun untuk mendapatkan keuntungan. Pada awal Juli 2021 tersiar kabar bahwa stok vitamin, susu kemasan dan beberapa produk lainnya mulai langka. Tuduhan terkuat adalah, seperti yang disebutkan sebelumnya, seseorang memanfaatkan kecemasan publik untuk melakukan penimbunan. Tidak mengherankan jika berita palsu telah menjadi komoditas yang menggiurkan bagi individu yang tidak bertanggung jawab, karena keuntungan finansial sudah tersedia.
Fenomena yang terjadi di atas adalah manifestasi dari fenomena post-truth yang sudah mengakar. Beberapa literatur mengemukakan bahwa istilah tersebut pertama kali digunakan pada 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisannya yang berjudulThe Government of Lies dalam majalah The Nation. Di dalam tulisannya Tesich menuliskan bahwa "Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth". Post-truth yang dimaksud adalah fenomena bahwa fakta obyektif tidak lebih dipercaya ketimbang asumsi subyektif seseorang.
Mungkin tidak terlalu mengganggu bagi mereka yang sudah terpapar post-truth sebelum pandemic. Tapi di masa pandemi, post-truth bisa sangat berbahaya. Misalnya, orang yang menganggap pandemi sebagai konspirasi mungkin tidak mau mengikuti protokol kesehatan yang diwajibkan oleh pemerintah. Jika seseorang terinfeksi covid-19 sambil mengira dirinya hanya 'covid', keselamatan orang-orang di sekitarnya terancam.
Pada situs resmi penanggulangan covid-19 Indonesia diketahui bahwa per 07/01/2023 saja sudah terdapat 6,7 juta lebih kasus positif covid-19 di Indonesia. Apabila masyarakat tetap percaya dengan narasi yang disebarkan oleh kelompok pecinta "teori konspirasi", bisa saja angka tersebut semakin bertambah dalam beberapa waktu dekat ini.
Seiring perkembangan teknologi internet yang sangat pesat seperti sekarang ini postmenjadi semakin mengkhawatirkan. Dugaan pribadi yang belum tentu valid bisa tersebar begitu cepat dan juga membawakan asumsi kolektif publik. Hal tersebut berdampak temuan-temuan ilmiah akan diabaikan. Pada saat ini, media sosial harus digunakan dengan sangat bijak sebagai saluran komunikasi di masyarakat modern, terutama di masa pandemi.
Fenomena ini terjadi karena siapapun bisa memposting di media sosial tanpa ada filter pendidikan atau keahlian. Seseorang yang berniat mengeksploitasi atau bahkan secara tidak sadar menyebarkan ide-ide yang berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19 perlu menggunakan hati nuraninya. Mengoreksi kembali kepentingan dan kegunaan informasi yang akan disebarluaskan menjadi dapat menyelamatkan banyak nyawa di kemudian hari. Berbagi informasi dan kegelisahan yang tidak dibutuhkan saat ini sama saja dengan berbagi virus.
Di sisi konsumen informasi, masyarakat mungkin tidak bisa mencegah penyebaran narasi post-truth, tapi mereka bisa memverifikasinya untuk menemukan kebenaran hakiki. Di masa pandemi ini, mempercayai jurnalisme berdasarkan temuan ilmiah dari orang yang berkompeten berarti menyelamatkan dunia. Kita harus bahu membahu agar dunia lekas pulih dari virus covid-19 yang mematikan ini dengan cara tetap menjaga protokol kesehatan.