Jumlah pengungsi Rohingya dari Myanmar saat ini semakin meningkat. Pemerintah mulai khawatir dengan hal ini karena perekonomian Indonesia yang belum pulih.
Terlebih, para pengungsi Rohingya ini bertindak bebas seolah-olah berada di negaranya sendiri. Mereka tak sungkan untuk mengungkapkan kalau porsi makanannya terlalu sedikit, bahkan mengenai tempat tinggal yang begitu sempit.
Menurut data Badan Pengungsi PBB (UNHCR), 1.200 warga Rohingya telah tiba di Indonesia sejak November 2023, terutama di Aceh. Jumlah tersebut belum ditambah dengan jumlah pengungsi yang sudah datang sebelumnya, baik dari Myanmar maupun negara lain.
Tidak hanya Indonesia, Malaysia dan Thailand juga mengalami permasalahan dalam menangani masuknya pengungsi. Mereka umumnya berasal dari Afghanistan, Somalia dan Myanmar.
Indonesia terpaksa menerima kedatangan mereka, meski perekonomiannya belum  pulih sepenuhnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2023, terdapat 7,86 juta orang yang tergolong pengangguran. Jumlah penduduk miskin juga serupa, yaitu 25,9 juta pada Maret 2023.
Boro-boro mau memikirkan warga negara lain, perekonomian warga negara sendiri saja sudah bikin pusing. Tentu saja pemerintah harus melakukan berbagai bantuan sosial untuk kesejahteraan warganya.
Jika ekonomi di Indonesia berputar normal seperti sebelum pandemi tentunya pemerintah mempunyai dana APBN yang cukup untuk dialokasikan kepada pengungsi dari negara lain. Pemerintah dapat terus menyediakan akomodasi dan makanan sehari-hari kepada para pencari suaka tersebut. Semua tindakan ini diambil oleh pemerintah hanya karena alasan kemanusiaan. Selain itu, Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
Jika Amerika Serikat dan Australia ikut meratifikasi Konvensi tersebut, Indonesia wajib menyediakan pekerjaan dan perumahan bagi pengungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan  21 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1951. Artinya, Indonesia juga akan masuk dalam daftar negara penerima  pencari suaka.
Meski demikian, Indonesia cukup sadar diri. Indonesia belum menjadi negara maju sehingga belum berani  menerima warga negara dari negara lain untuk mencari penghidupan disini. Tidak rasional jika Indonesia berani meratifikasi Konvensi PBB. Hanya segelintir negara maju yang berani meratifikasinya, dan kita  harus menghargainya.
Berdasarkan prinsip kemanusiaan, Indonesia saat ini memposisikan diri sebagai tempat transit pengungsi dalam perjalanan menuju negara tujuan. Indonesia masih mempunyai hati nurani dan tidak mau menutup mata terhadap perjuangan  mencari penghidupan yang layak dengan menggunakan perahu sendiri.
Di sini kita harus mendorong secara moral  pemerintah agar berani meminta pertanggungjawaban negara-negara maju, termasuk Australia, mengingat Negeri Kanguru saat ini menjadi tempat transit pengungsi Indonesia. Para pencari suaka harus segera yakin akan nasibnya agar Indonesia tidak terus menderita. Kami juga mendorong pemerintah untuk membuktikan adanya aktivitas kriminal perdagangan manusia lintas batas dalam gelombang pengungsi Rohingya saat ini. Jika hal ini benar terjadi, maka Indonesia tidak akan pernah lepas dari permasalahan pengungsi. Oleh karena itu, Pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan ini dengan semangat kerja sama dengan negara lain dan badan-badan PBB.