Mohon tunggu...
zaza azza
zaza azza Mohon Tunggu... Tutor - S1 Farmasi, ingin berbagi manfaat

hanya seorang amatiran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gairah Jurnalistik Farmasi di Era 4.0

19 September 2019   20:53 Diperbarui: 19 September 2019   20:53 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kompasiana - Di era 4.0 atau era revolusi digital seperti saat ini, peran media tidak boleh diabaikan. Terutama berkaitan dengan tersebarnya informasi dan edukasi kepada masyarakat. 

Farmasis, yang dalam pekerjaannya menurut PP no. 51 tahun 2009 dan Permenkes no. 73 tahun 2016, bukan hanya pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, serta pengembangan obat, tetapi juga memiliki peran dalam melayani dan mengedukasi pasien terhadap penggunaan obat yang tepat agar kualitas kesehatan masyarakat dapat meningkat.

Dalam menjalankan tugas edukasi tersebut, seharusnya lembaga atau pihak kefarmasian dapat memanfaatkan media yang lebih profesional. Namun, belum banyak media yang secara khusus membahas tentang informasi farmasi. 

Sejauh yang penulis ketahui, di Indonesia baru ada satu portal berita/media khusus bertajuk dunia farmasi di bawah naungan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yaitu farmasetika.com . 

Sayangnya, media ini belum terdaftar di dewan pers. Tanpa menyinggung pihak mana pun,  menurut penulis, untuk menambah kepercayaan masyarakat sebagai pembaca, portal berita atau media farmasi harus terdaftar di dewan pers apalagi jika portal berita tersebut bekerja sama dengan IAI.

Tidak bisa dipungkiri, seabrek kesibukan mahasiswa farmasi membuat kegiatan lain seperti belajar dan praktik jurnalistik menjadi tak  terlalu dilirik. Padahal, jika dimanfaatkan dengan baik, jurnalis khusus bidang farmasi dapat mempercepat proses edukasi kepada masyarakat tanpa mengabaikan proses edukasi secara langsung. Hal ini akan membuat kerja farmasis menyambut revolusi digital sedikit berkurang.

Salah satu masalah yang menurut penulis butuh diluruskan ,misalnya mengenai paradigma obat tradisional dan kimia yang terpisah saat berbicara tentang farmasi. Farmasi seakan hanya tentang obat kimia padahal dalam salah satu sub-bidangnya, ada farmakognosi yang secara khusus meneliti tentang obat berbahan alam. Tepat menggunakan obat pun salah satunya adalah tak langsung mengandalkan obat kimia untuk penyakit-penyakit ringan seperti flu ringan. Selain itu, hoaks tentang obat-obat yang beredar, terutama dengan maraknya produk herbal, perlu untuk dijelaskan.

Di tahun 2019 ini, penulis sudah mulai melihat geliat jurnalistik oleh fakultas-fakultas farmasi. Hal ini, menurut penulis, adalah langkah yang sangat baik dan perlu untuk terus didukung. 

Seminar bertajuk jurnalistik telah diadakan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin. Tidak menutup kemungkinan, universitas lain di seluruh Indonesia pun sudah melirik bidang ini untuk diasah. Para sarjana yang memiliki passion di bidang kepenulisan bisa saja menjadi jurnalis khusus farmasi. Adanya tabloid khusus farmasi juga penulis harapkan bisa untuk terus ditingkatkan demi tersebarnya literasi yang baik kepada masyarakat.

Demikian tulisan ini penulis buat sebagai sebuah masukan. Mudah-mudahan saran ini dapat diterima oleh keluarga farmasi seluruh Indonesia, terkhusus IAI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun