Mohon tunggu...
zaza azza
zaza azza Mohon Tunggu... Tutor - S1 Farmasi, ingin berbagi manfaat

hanya seorang amatiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jangan Bilang Saya....

1 Mei 2015   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya pernah belajar sosiologi waktu kelas 1 SMA. Pelajaran sosiologi pertama sekaligus terakhir soalnya waktu SMP ngga ada dan pas naik kelas 2 saya masuk kelas IPA. Alhasil, saya sudah tak menyentuh dunia sosiologi lagi. Sebuah kerugian sebenarnya bagi saya yang boleh dikata tidak paham dengan hubungan sosial. Namun demikian, saya masih mengingat dengan jelas satu poin dari sekian poin pelajaran itu. Tentang kejahatan labelisasi. Yah, tapi jangan sangka kejahatan kriminal. Sepertinya, bukan sepenuhnya itu, dan ada yang menarik dengan kontradiksi itu.

Ada sebuah stigma di masyarakat kita yang mengatakan bahwa "lingkungan sangat mempengaruhi karakter". Bukan hanya dari sikap dan interaksi, tetapi juga pola pikir. Lingkungan yang dimaksud juga termasuk verbal alias kata-kata yang merujuk pada anak itu. Hingga beranjak dewasa, kata-kata tetap seakan menjadi pengaruh yang besar. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan, "Dibunuh dengan pisau lebih baik daripada dibunuh dengan kata-kata". Rasa sakit yang ditimbulkan pisau hanya sejenak, tetapi kata-kata memberikan sakit yang lebih dalam dan lama. Tetapi, ada yang menarik dari stigma tadi, yang saya maksud tentang pengaruh kata-kata.

Ternyata apa yang disebut labelisasi sangat sulit untuk diubah. Maksudnya? Maksud saya, ketika kita kecil dan mengalami pengalaman buruk hingga orang-orang me'label' kita dengan sesuatu, ketika dewasa bahkan ketika kita berubah pun kita akan menolak 'label' baru yang diberi masyarakat. Walaupun kita berusaha untuk menjadi dewasa.

Yah, "label pertama". Label pertama yang membentuk karakter. Bukan berarti tak bisa diubah. Mengubah label awal yang telah melekat secara tak sadar dalam diri kita seperti transplantasi organ. Sistem imun tubuh akan melakukan perlawanan karena dianggap benda asing. Banyak bahkan yang meninggal karena transplantasi organ yang ditolak oleh tubuh si resipien. Walaupun si resipien sangat ingin untuk menerima organ baru itu, secara tak sadar, tubuh melakukan aksinya.


Itulah, sebenarnya yang membentuk "kejahatan labelisasi" bukan semata-mata label orang-orang yang boleh jadi terbentuk dinamis. Saat berada di suatu lingkungan disebut A, pindah ke lingkungan lain disebut B. Otak pada akhirnya akan membentuk paradigma sendiri terhadap diri yang akhirnya akan memenangkan 'label' terbanyak. Ketika label terbanyak "pertama" terbentuk, pikiran dan perasaan akan meresponnya. Jika ingin berubah, bisa saja. Tetapi, pergolakan hebat akan terjadi. Menerima diri sendiri atau menolaknya. Ini yang sebenarnya harus dipahami. Kita takkan mampu merubah orang jika kita menolak pula siapa dirinya. Jika memang ada sesuatu yang salah, menolak bukanlah solusi. Lebih tepat jika kita mengarahkan. Mengarahkan kesalahan pribadi orang tersebut menuju kebaikan dan kebenaran. Menggiringnya dengan kata-kata yang lebih kuat! Menggiringnya dengan kekuatan yang lebih besar pada rasa percaya.

Mungkin itu yang menyebabkan terkadang hati seseorang akan menolak sebuah label baru. "Jangan bilang saya pintar, karena saya sebelumnya sangatlah bodoh", "Jangan bilang saya baik, karena saya selalu menyakiti perasaan orang", "Jangan bilang saya ramah, karena saya sering membuat orang tua saya menangis", " dan "Jangan bilang saya..." yang lainnya. Hal ini sering terjadi jika tanpa sebuah pengarahan yang benar,terutama terkait perasaan seseorang.

Saya selalu takut melambung kendaraan lain kecuali jika jalanan sebelahnya benar-benar kosong. Kenapa? Karena saya selalu merasakan kengerian dalamnya pikiran seseorang. Jika saya melambung apakah dia tidak akan merubah pikirannya untuk terus lurus? Bagaimana jika dia berubah dan menyetir ke arah saya? Yah, perasaan seperti itu. Sebab perasaan adalah sesuatu yang misterius. Kita tak pernah bisa menebaknya walaupun kita selalu bersamanya siang-malam, bercengkerama dengannya dan sebagainya. Maka dari itu.

Rubrik lain kunjungi juga ya blog saya BlueSkyPharmacy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun