Mohon tunggu...
Azrina Perwitasari
Azrina Perwitasari Mohon Tunggu... -

unexpectedly indescribable. Read at your own risk ;)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pengakuan

11 Januari 2011   16:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu yang lalu saya masih tak paham dengan tujuan sebenarnya dari tugas Teknik Penulisan Ilmiah ini: mem-posting total 32 artikel selama 1 semester (2 kali posting setiap minggu) dengan aturan posting setiap Selasa dan Kamis – atau hari-hari lainnya, yang penting 2 kali setiap minggu. Awalnya saya antusias dengan tugas ini. Menulis! Menulis sudah seperti udara buat saya.

Menulis adalah separuh jiwa saya.

Minggu-minggu pertama, berlanjut ke hitungan bulan, saya masih sanggup menjaga ritme posting saya. Tema sentral dari mayoritas artikel saya adalah pengalaman pribadi – dan hasil renungan serta wangsit yang saya dapat di perjalanan: bus, mobil pribadi, angkot...

Inspirasi dan kata-kata itu terus mengalir di saat-saat yang tepat. Apalagi karena saya menyiapkan hati saya untuk mengerjakannya, maka barang tentu saya merasa tidak terpaksa. Kehidupan di kampus begitu menyenangkan, membuat saya nyaris tidak mempunyai hal untuk dikeluhkan.

Namun lama-kelamaan aliran tugas paper dari dosen lain mulai tak terbendung. Kami – saya – mulai stress menghadapi timbunan tugas yang seakan tak pernah habis. Selesai satu, tiga menunggu. Rasanya saat mengumpulkan paper, alam semesta berkonspirasi untuk menjadikan saya seorang pemenang hidup, eh begitu kelas selesai, konspirasi alam semesta juga bubar jalan. Tugas paper baru dilantunkan beberapa menit sebelum kelas bubar; sementara tugas paper dari dosen lain pun masih dalam tahap pengerjaan (atau malah lebih parah: satu kalimat pun belum ditulis!).

Saya mulai frustasi menghadapi tugas ini. Masalahnya, tugas paper pun bukan perkara mudah; tidak bisa sehari jadi kecuali wangsit sedang berbaik hati mampir di otak membawa inspirasi.

Belum lagi jadwal kegiatan kampus yang seringkali membuat saya sampai larut malam di rumah. Mengetuk-ngetuk pintu rumah jam 10 malam bukan lagi hal yang asing – dan Ayah saya hanya tersenyum maklum ketika melihat wajah lelah saya. Tidak lagi membombardir saya dengan pertanyaan: Kamu darimana? Kenapa baru pulang jam segini? Nggak baik anak gadis pulang malam!

Komitmen saya pada tugas ini mulai mengendur. Minggu-minggu sering berlalu tanpa ada satu artikel pun yang saya post karena saya sendiri tenggelam dalam tumpukan tugas yang tak habis-habis serta kehidupan pribadi saya di kampus.

Tugas ini, perlahan-lahan, mulai terlupakan: seperti materi UAN di SMA yang susah payah dipelajari selama setahun. Menguap begitu saja.

Ternyata bukan saya saja yang mengalaminya: rata-rata teman sekelas pun stress menghadapi tugas ini. Di kelas, muka mereka tak lagi cerah karena tahu bu dosen pasti akan mengingatkan kami untuk melengkapi tugas Kompasiana ini, rutin posting 2 kali seminggu.

Maka akhirnya saya memutuskan untuk berdialog dengan dosen saya, meminta keringanan.

Syukur-syukur tugas ini dibatalkan, begitu doa teman-teman sekelas. Saat itu, mereka rela mendapat tugas pengganti apapun yang tak melibatkan Kompasiana dan kewajiban posting artikel 2 kali seminggu macam wajib lapor.

Saya hanya tersenyum tipis. Dosen kami, walaupun baik dan adil, tapi tegas dan lugas. Saya tak yakin dialog akan mengarah ke penghapusan tugas ini. Meski begitu, dalam hati saya mengamini doa teman-teman sekelas.

Dialog itu berlangsung santai, di depan pintu kelas. Saya dengan jujur mengemukakan keberatan saya dan terutama teman-teman sekelas atas jumlah artikel yang harus kami post. Dengan banyaknya tugas-tugas kami dari dosen-dosen lain, rasanya tidak mungkin menyelesaikan tugas ini dengan deadline yang ditetapkan bu dosen.

Bu dosen mendengarkan penjelasan saya dengan sabar. Ketika saya selesai, dia hanya tersenyum.

“Sebenarnya kunci dari tugas ini kan disiplin dan tanggung jawab.”

Satu kalimat itu cukup membuat saya merasa tersindir habis-habisan.

Disiplin dan tanggung jawab, itulah yang kurang dari penjiwaan saya mengerjakan tugas ini.

Hasil dari dialog itu, deadline ditiadakan, namun jumlah artikel yang di-posting tetap 32. Bulat, tidak ada lagi tawar-menawar.

Sejak itu, saya sadar: tujuan utama dari tugas ini adalah mengetes ketangguhan niat mahasiswa.

Mampukah mereka tetap konsisten dengan tugas ini – dengan aturan mainnya yang mengikat itu – tanpa mengabaikan kewajiban mereka yang lain?

Dan sekarang, mendekati deadline, saya semakin sadar: tujuan tugas ini lebih dari sekedar mengetes konsistensi niat mahasiswa.

Tugas ini adalah aktualisasi diri. Saya menemukan potongan-potongan renungan saya seakan menjelma menjadi sintesis melalui artikel-artikel yang saya posting.

Tugas ini membanting ego saya ke tanah; membuat saya harus mengakui bahwa saya tidak disiplin dan konsisten dalam mengerjakan tugas. Tanggung jawab yang tadinya begitu menggebu perlahan menyusut; itu kesalahan terbesar saya.

Deadline tugas 6 hari lagi, masih tersisa lebih dari 10 artikel yang harus saya posting.

Berat, menjengkelkan, tapi ditemani kalimat sakti man jadda wa jada, tidak ada yang mustahil.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun