Mohon tunggu...
Azrina Perwitasari
Azrina Perwitasari Mohon Tunggu... -

unexpectedly indescribable. Read at your own risk ;)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Fear; Disappear!

10 Januari 2011   13:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:45 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang berbeda ketika Raia melangkah masuk ke dalam gedung bernuansa marun tersebut. Keadaan yang terhampar di depan Raia tidak lagi familiar. Beberapa orang lewat, memandang Raia penuh rasa ingin tahu. Baju bebas yang Raia kenakan mungkin menjadi penyebab utama. Baju yang sangat mencolok di antara baju putih abu-abu yang dikenakan orang-orang tersebut.

Raia menelan ludah, lalu memejamkan mata. Ada sensasi tidak nyaman di perutnya; di hatinya. Rasanya berat sekali masuk kesini lagi, keluhnya dalam hati.

Raia ingat betapa ia selalu ingin menangis setiap kali mobilnya berhenti di depan gerbang gedung ini, menurunkannya dan meninggalkannya sendiri di tengah gelombang orang-orang asing yang tidak ingin ia kenal.

Raia ingat jam-jam yang ia lewati di dalam UKS, menatap langit-langit UKS dengan tatapan kosong atau memaksakan diri untuk tidur agar guru piket percaya ia betul-betul sakit dan bukannya hanya membolos pelajaran.

Raia memutus semua reka ulang kenangan-kenangan pahit dalam otaknya, lalu mulai melangkah gamang, membelok ke kanan. Jantung Raia berdegup kencang tanpa ia kehendaki. Memori itu terputar tanpa dapat ia cegah. Ratusan hari ia datang terlambat, ratusan hari dimana ia membelok ke kanan dan menemukan wali kelasnya menatapnya marah.

Namun tidak ada lagi wali kelasnya disitu, hanya seorang murid kelas 12 yang sedang berdiskusi dengan guru Olahraganya.

“Bapak..?”, sapa Raia ragu-ragu, berusaha menghiraukan suaranya yang mendadak parau.

Guru Olahraganya tersenyum hangat, menyambut uluran tangannya lalu berkicau riang menanyakan berbagai macam hal.

Bagaimana kabarmu? Kuliahmu? Alhamdulillah ya, kamu kelihatan senang.

Raia mau tidak mau tersenyum juga, merasa agak sedikit lega. Separuh beban terangkat dari hatinya.

Ternyata mudah.

Ia yang membuatnya sulit.

Guru Olahraga kesayangan Raia pamit karena masih ada kelas yang harus diajar. Raia mengangguk, mempersilakan, lalu berjalan perlahan menyusuri lorong lantai 1.

Ia melewati ruang Mandarin. Potongan-potongan ingatan kembali menyeruak. Lao Shi-nya yang cantik namun galak. Perjuangannya menulis huruf Mandarin dengan benar, remedial ulangan harian yang nyaris selalu ia jalankan setiap bulan karena skill menulisnya yang mendekati nol besar.

Ruang Matematika 2, berhadapan dengan Aula tempat Raia melewatkan 5 sore dalam seminggu, mendengarkan dengan tekun berbagai motivasi, evaluasi, dan penyuluhan dengan sedikit bumbu-bumbu ancaman dari guru-guru kelas 12.

Raia tersenyum lagi, merasa heran mengapa hatinya terasa sedikit nyeri.

Ruang Ekonomi. Raia berjinjit, mengintip melalui jendela, menemukan guru Ekonominya yang lama masih mengajar. Ia cekikikan ketika sudut matanya menangkap seorang murid yang terkantuk-kantuk di sudut belakang; lagi-lagi ingat nasib apesnya yang selalu tertangkap basah saat mengantuk dan berujung pada hukuman mengerjakan soal di depan kelas.

Raia meninggalkan kelas Ekonomi, lalu mulai menaiki tangga menuju lantai 2. Tawanya meledak melihat dinding di dekat tangga tersapu warna oranye pucat, warna yang sungguh kontras dengan tema keseluruhan gedung ini.

Pintu perpustakaan di hadapannya terbuka. Seraut wajah ramah muncul dibaliknya, kaget.

“Halo Raia...”

Sepasang mata Raia berbinar gembira. Rasanya ingin sekali ia peluk guru muda di depannya ini.

Raia merasa akumulasi dosanya pada guru muda ini paling banyak tertumpuk. Sembilan jam intensif Matematika menjelang UAN dihabiskan Raia dengan menulis cerita pendek sementara guru muda ini dengan suara lantang dan kesabaran tak terbatas mengajarkan persamaan kuadrat pada 30 anak yang masa depannya ia genggam.

Mereka bertukar cerita. Canda. Sesekali tertawa. Guru muda itu masih tampak sama di depan Raia; geeky dengan rambut belah tengah dan tiga gurat khas di dekat matanya yang tampak ketika ia tersenyum lebar. Raia menyukai senyum itu, kesederhanaan itu.

Raia segera menghapus titik airmatanya ketika guru muda itu berbalik memunggunginya, agak berlari menuju lantai 3 untuk mengajar.

Raia menghela nafas. Ketakutan itu mulai tak teraba lagi sekarang.

Bahkan, ia mulai lupa alasan ketakutannya.

Kembali kesini lagi memang mengulang kenangan pahit 3 tahun masa SMA-nya yang tidak terlalu cerah.

Kembali kesini lagi memang menimbulkan semacam perasaan rindu pada kenangan-kenangan itu, membuat hatinya terasa sakit seperti dicubit.

Namun, kembali kesini lagi membuatnya berani.

Salah satu ketakutannya lenyap sudah, tak berbekas.

Raia melangkah lagi dengan mantap, mengunjungi Kepala Sekolah serta mengobrol dengan wali kelas dan guru Bpnya dulu.

Raia tersenyum lega meninggalkan bangunan marun itu.

Melenyapkan ketakutan: mission accomplished!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun