Musibah tsunami merubah segalanya. Saya berada pada titik nol besar. Terperangah melihat begitu cepat peristiwa mematikan itu terjadi. Lam siklap siklep kata orang Aceh. Hanya beberapa menit saja semua berubah 360 derajat. Menulis bagian ini adalah sebuah babak terberat. Bukan karena kesedihan yang saya rasakan. Tapi seolah momentum yang sudah berlalu 9 tahun itu seperti baru kemarin saja. Bila mengingat hal ini saya sulit menutup mata. Bila tidur peristiwa-peristiwa tersebut seakan melekat kuat di pelopak mata. Bukan juga kesan trauma seperti yang saya alami seperti bulan-bulan pertama Tsunami. Melainkan batas-batas nalar dan logika saya terkalahkan. Betapa tidak, saya berkali-kali selamat dari musibah terdahsyat abad ini. Mulai dari rumah kakak Ibu, saya yang biasa bermalam minggu disana menonton bola. Jaraknya hanya satu kampung. Sekitar 15 menit. Lalu tidak jadi menginap dan tidur di rumah sendiri. Sebenarnya di rumahpun saya sudah tertidur, tapi Ibu dan adik perempuan saya membangunkan untuk makan malam minggu terakhir perjumpaan kami. Saya memilih keluar ke Darussalam kawasan kampus untuk mencari nasi goreng. Ada firasat Ibu akan kehilangan saya, tapi saya tidak mengerti saat itu. Kemudian bersama seorang teman usai shubuh pagi-pagi sekali kami juga tidak mengaji (drah), tapi memilih mengunjungi pantai. Padahal di masjid kami tidur itu airnya mencapai 5-6 meter saat tsunami menerpa. Untuk kesekian kalinya saya selamat. Pagi bersejarah itu, saat gempa saya mandi di laut Ulee Lhee. Salah satu kawasan pantai terparah yang dihantam tsunami. Kapal PLTD apung yang kini menjadi ikon wisata tsunami di Banda Aceh berada persis di belakang saya saat air bah itu ‘memarkirkannya’ di tengah kota padat perumahan dan penduduk. Saya melihat pasangan muda-mudi yang berpacaran dan mandi di pagi itu. Ada banyak anak muda bermainkan ombak dan menikmati liburan. Banyak juga keluarga dari penjuru Banda Aceh menyambut pagi di pantai indah ini. Ada juga berada agak jauh ke tengah laut mandi menggunakan ‘ban’. Bencengkrama satu sama lain. Laksana hari-hari melepas lelah bagi mereka yang penat dengan aktivitas. Mereka yang berada jauh itu pernah tahu adanya gempa. Masih tergambar dalam di mata saya, ketakutan yang dashyat saat bumi bergoncang dan orang-orang berlarian ke tepi pantai. Memeluk anak dan sanak famili. Tanpa suara, tanpa sikap angkuh. Semua memuji Tuhan, takut mati dan memohon ampun. Seperti orang tiarap dan memeluk bumi. Sebab goncangan hebat itu membuat mereka yang berdiri akan jatuh. Tak ada yang bisa dilakukan, selain pasrah berharap. Anak-anak yang menangis. Motor-motor di area parkiran yang roboh berbaris. Menara dan tower pelabuhan yang bergoyang sebelum ambruk. Tiang listrik, pondok-pondok tepi pantai, piring, gelas, nasi, dan makanan di kedai muncrat ke tanah. Tapi masih ada juga yang asik mandi agak jauh di laut. Karena memang saat gempa, saya juga sedang mandi. Di dalam air kita tidak meresakan gempa. Baru setelah berjalan ke tepi kita merasakan goncangan 9 SR itu. Saya sendiri bersama kawan saat itu baru pertama kali minggu pagi ke pantai. Sebelumnya kami mendengar fenomena wisata pagi yang ramai di pantai UleeLhee Aceh. Kalau saya ke pantai paling di kampung saya. Pantainya jauh lebih alami, indah dan menawan. Bila pagi hari, usai shalat shubuh saya biasa menyisir pantai sendiri. Terutama usai tsunami. Rasanya pantai itu sangat dekat dengan jalan besar yang membelah dua kampung kami. Dekat bukan karena sebagian wilayah pemukiman yang dimangsa tsunami menjadi lautan. Namun juga karena tiada satupun bangunan dan pepohonan yang tersisa. Dari perkampungan ada sungai dan kuala yang mengarah ke laut. Kuala ini menjadi pintu dan jalur masuk nelayan yang hendak pergi dan pulang dari laut. Di tengah keduanya ada sebuah pantai, menjadi tempat rekreasi warga kampung dan kecamatan. Terutama saat khanduri laot. Di awal-awal tsunami, hamparan pantai terlihat jelas dari jarak 5 km. Kalau dulu meski naik boat untuk menyeberang, tapi sekarang cukup berjalan kaki dan segera sampai ke wilayah pantai yang menyusut menjadi lautan. Kebetulan saya termasuk yang paling cepat pulang dan menetap di kapung. Sambil mencari ‘mayat’ pagi-pagi bersama nelayan saya menjala ikan. Atau pukat seperti pukat darat yang sederhana. Kita menaruhnya di pinggir laut, sekitar 200 meter, lalu 1 jam kemudian kita mengambil ikan dan kepiting yang sudah menyangkut di nyaring. Banyak sekali. Berbagai jenis ikan segar. Tiap hari ikannya tidak pernah berkurang. Setelah itu kami membakarnya di tepi pantai, menyantapnya dengan kenyang, lalu pulang. Kadang juga membawa pulang lalu memasak di tenda-tenda pengungsian. Namun bila pergi ke pantai untuk berekrasi dengan khalayak ramai, itu jarang. Kecuali ada even tertentu seperti acara organisasi atau mahasiswa. Saya tidak tahu persis, tapi konotasi kami orang kampung di Aceh pergi ke pantai itu banyak negatif. Apalagi pasangan muda-mudi yang weekend menghabiskan banyak waktu di pasir putih pantai Aceh yang masih asri. Orang-orang tua di lingkungan saya beranggapan ke pantai itu lebih banyak ‘maksiat’-nya. Memang ada banyak pasangan muda-mudi menjelang musibah tsunami berpacaran di pantai. Umumnya mahasiswa pendatang di Banda Aceh. Bila kita melihat di sepanjang pantai, ada semacam pondok untuk bertedung bagi pengunjung. Cuma tempat itu banyak digunakan tempat pacaran. Pernah beberapa kali ‘pondokan’ ini saat konflik di bakar orang tak dikenal dan warga karena menjadi tempat ‘maksiat’. Tentu, tidak semua pantai begitu, dan tidak semua orang yang ke pantai melakukan hal naif demikian. Minggu, (24/12) 2004 itu saya masih ingat minum segelas bubur kacang hijau. Awalnya kami tidak ada niat untuk mandi. Kawan saya alergi dengan orang pacaran. Sebab dia seorang remaja masjid. Tapi karena dia sesak pipis dan tiada toilet umum disana, akhirnya dia duluan yang memutuskan terjun bebas ke dalam air. Saat itu saya masih asik melihat ada ratusan orang yang mandi dan baru datang untuk menikmati sunrise di pantai penuh sejarah itu. Usai gempapun saya sempat menyaksikan pelabuhan penyeberangan Ulee Lhee ke Sabang ambruk. Disana ada marinir yang melarang kami masuk karena mereka sedang latihan, katanya. Berbilang menit kamipun memutuskan pulang. Di sepanjang jalan pulang saya melihat banyak rumah yang roboh. Ibu-ibu yang memeluk anaknya di serambi depan. Nenek-kakek dan anggota keluarga duduk berjejer di hadapan rumah karena takut akan gempa susulan. Ada rasa takut, iba, sedih dan tatapan kosong di wajah mereka. Ada pula yang baru bangun dengan pakaian tidur memutar-mutar sembari memeriksa hunian yang rusak karena gempa. Kedai-dedai penyot dan rak-rak penjual yang terbalik. Mesjid Baiturrahim yang kokoh di tepi jembatan. Begitupun halnya manusia lalu lalang di jalan dengan ambisinya masing-masing. Tak sedikit yang baru saja datang menjemput maut ke pantai yang berjarak sekitar 8 KM di pusat kota. Mata saya juga masih menyimpan memori yang sudah lama ingin saya simpan ini. Tapi wajah-wajah mereka terus membayangi. Sampai saat lidah laut menjulur ke Banda itu hilang tanpa jejak. Mungkin sama hal dengan saya, Ibu, Bapak, maupun warga lain yang duduk di depan rumahnya tersebut tidak paham atau punya firasat akan datangnya gelombang. Mereka justru duduk sangat akrab, seperti menceritakan beberapa kisah masa lalu di usia muda mereka. Seperti gempa dahsyat zaman PKI, sekitar tahun 1980-an. Atau satu sama lain menanyakan kabar sanak family yang jauh. Baik menelpon dan sebagainya. Anak-anak inipun menyimak seksama cerita tetua mereka, tanpa debat, tanpa kesan menantang. Satu dua ada yang menangis sambil mengaji. Memakai selendang khas Aceh maupun penutup kepala. Sepanjang perjalanan pulang usai gempa itu saya menyaksikan semua. Tingkah polah mereka tidak jauh berbeda. Saya bertemu dengan kawan yang sedang menangis karena rumah dan dagangan Ibunya ikut hancur. Tapi kami cuma sekedar menyapa, lalu berlalu. Saya juga melihat sebuah rumah sakit Meraxa yang pasiennya dikeluarkan. Ada yang dengan kursi roda, kasur pasien sampai inpus yang masih terpasang di tangan. Semuanya diluar, seperti antri di pinggir jalan. Saya tidak mengerti apa yang ada di kepala mereka saat itu. Ada ribuan wajah yang terus saya lihat 10 menit usai gempa. Sepanjang 8-10 KM perjalanan. Tapi kami tidak berhenti, melaju dengan kecepatan 60/km dengan motor hadiah Ibu saya. Kini motor (orang Aceh menyebutnya Honda) menjadi sejarah. Masih terngiang juga di telinga saya teriakan manusia yang selamat di hotel Kuala Tripa di kawasan taman sari. Mereka yang terjebak dalam bangunan berlantai tersebut. Sementara pintu hotel tertutup karena bagian lobi yang ambruk, seperti orang bersujud. Sementara jalanan tetap ramai. Seperti semut yang melewati dan bertemu dengan temannya. Sebentar ‘menyapa’ lalu berlalu. Kejadian ini berlangsung sangat cepat. Sinsalabin kalau kata pesulap. Kami sendiri saat memilih pantai Ulee lhee Minggu pagi itu karena sedang membuat rencana masa depan. Rencana dan mimpi 1, 5, sampai 10 tahun mendatang. Ingin main bola dan berenang setiap minggu, Ingin menerbitkan buku sebelum wisuda, menikah usia muda, dan banyak lagi obsesi pribadi lain. Mimpi dan rencana itu juga berlalu adanya. Sesampai di Mesjid Raya Baiturrahman sisi Selatan masjid saya melihat sebelah kiri orang mulai berlarian. Ada yang melompat dari ruko berlantai dua, sampai memanjat pagar bewarna hijau itu. Kepanikan warga ini seperti huru hara kiamat. Polisi lalu lintas bingung bukan kepalang. Peluit di mulutnya sudah tidak lagi berbunyi. Cuaca mendadak seperti mendung, langit mulai berwarna hitam. Saya membisikkan kepada kawan saya agar membalik arah motor karena dalam pikiran saya yang terjadi adalah kebakaran dahsyat. Disebelah kami ada yang memegang handy cam mencoba mengabadikan suasana mulai mencekam itu. Tapi saya tidak tahu bagaimana nasib cameramen tersebut. Sepertinya dia tidak ikut kami lari. Sebab video-video tsunami yang saya saksikan di internet, tidak ada dari sisi kami berada saat itu. Saya juga melihat beberapa menit kemudian air hitam pekat muncrat dari Krueng Pendopo Gubernur. Orang-orang berhamburan, berteriak, berlari dan Dan orang-orang berlari menyelamatkan diri. Saya ingat benar dalam huru hara itu apa yang membekas kuat dalam otak dan pikiran saya. Rasa tanpa rasa yang sulit diungkapkan. Refleksi kebiasaan hari-hari tergambar jelas saat detik-detik mencengangkan itu. Saya melihat jejak jalan yang saya tapaki mulai pantai tadi penuh dengan reruntuhan, mobil, kayu dan bangunan yang dibawa ombak. Semua tertutup rapat dengan tumpukan dan limbah tsunami. Bagaimana saya bisa melupakan mayat-mayat yang bergelimpangan itu, manusia yang duduk menangisi nasib usai air surut, atau korban-korban yang menjerit memohon pertolongan, atau mereka dalam jiwa pasrah bertengadah tangan ke atas setengah mati. Jumlahnya sangat banyak. Dan masing-masing sibuk dengan petaka yang menimpanya. Saya ingat betul saat orang berlomba lari untuk menyelamatkan dari maut. Tapi di belakangnya terseret air dan hilang tergulung gelombang. Ibu yang anaknya terlepas di tangan. Bapak yang anaknya terlupa karena melawan maut. Suami yang lupa istrinya. Mereka yang masih cinta harta sibuk menyelematkan harta, dan sebagainya. Ada seorang wanita berjilbab besar saya lihat membaca alQuran tanpa peduli apa yang terjadi di sekitarnya. Malam hari dengan listrik yang padam orang-orang mulai mengungsi ke dataran tinggi. Sementara banyak yang selamat, tapi bertahan di atap-atap rumah, gedung dan tersangkut di pohon-pohon besar. Ada yang berjuang hidup, karena kakinya patah atau tangannya tertimba reruntuhan. Ada yang terjebak tanpa busana menangis di tumpukan kayu. Ada yang menjerit tanpa ada pertolongan, yang terkurung di mobil-mobil, ibu-ibu yang menggendong mayat anaknya sambil berlari. Dan kisah memilukan lain yang saban hari terus menjadi video clip hidup saya. Sampai salju yang dingin tidak mampu membekukan sedikitpun ingatan ini. Saya menjadi saksi bagaimana orang-orang mengungsi di malam-malam panjang penuh bencana. Mulai yang panik gempa susulan, meloncat dari jendela, anak-anak dan orang-orang berdampingan tanpa saling kenal, dan tangisan-tangisan pilu dan deraian air mata. Pagi hari mayat-mayat yang ‘membesar’ dengan jumlah puluhan ribu berbaris menunggu jemputan ke kuburan massal. Orang-orang yang terluka dan patah pate. Pakaian bekas, sarimie, dapur umum, sampai tidur merebut tempat bersama mayat-mayat yang belum terkafani. Saya melihat bagaimana banyak pengungsi yang menyerbu masjid untuk shalat meski ada yang berwudhuk saja mencontek temannya. Saya melihat tatapan kosong mereka-mereka yang selamat. Duduk di sudut-sudut tenda menangis sendiri. Kadang saban hari mendapat khabar si fulan selamat, si fulan telah tiada. Lalu mereka menangis, sambil berpelukan. Itu berbulan-bulan saya saksikan. Orang-orang yang membawa foto mencari sanak familinya. Papan-papan informasi di setiap posko. Dan sikap sosial dan solidaritas yang besar sesama. Di musim hujan saya juga melihat bebera tenda yang bocor karena masuk air. Di bulan puasa sahur yang kadang ada kadang tidak tapi tetap berpuasa. Saya melewati masa itu bersama-sama dengan korban dan pengungsi lainnya. Sampai satu sama lain kami saling bertemu. Ada yang tersasar ke gunung, ada yang nyangkut di pohon, ada yang selamat dalam air, dan lain-lain. Dari sini saya banyak mendapatkan cerita unik dan keajaiban-keajaiban dalam musibah tsunami. Mulai dari masjid-masjid yang kokoh, ada yang selamat karena digendong malaikat, berbicara dengan ular, selamat dengan ekor anjing, dan kisa-kisah heroik dan menakjubkan lainnya. Saya juga bertemu dengan lelaki misterius yang kemudian menjadi ‘guru’ saya. Musibah tsunami ini bukan saja menjadikan kami pada titik nol. Tapi juga merubah visi hidup saya. Dari seseorang yang memiliki obsesi dan ambisi pribadi menjadi jiwa yang cepat bersedih. Hampir tiap hari saya menangis melihat apa yang dialami saudara saya ini. Kebetulan saya tidak ada cacat atau terluka sedikitpun. Maka salah satu pesan guru saya bahwa kami yang selamat sesungguhnya karena kami diberi kesempatan dan dianggap masih bisa bermanfaat kepada orang lain. Mindset mambantu dan mendahulukan kepentingan orang ramai inilah yang kemudian menghantarkan saya bersama teman-teman masuk dalam pertualangan bangkit bersama dalam musibah tsunami. Dampak buruknya, kesibukan demi kesibukan bersama pengungsi, mulai urusan jadup, mengurus bantuan rumah, livelihood, obat-obatan, sanitasi, sekolah, dan sebagainya membuat lupa akan nasib kuliah saya. Padahal ini merupakan tahun terakhir kuliah. Saat itu saya memaknai kuliah sebagai kepentingan pribadi, dan mengabdi di pengungsian adalah kepentingan masyarakat. Maka melakukan yang terbaik untuk semua orang yang memerlukan bantuan. Walaupun sampai sekarang ada orang yang tidak pernah tahu kita pernah membantunya. Semata-mata itu semua menjadi amalan penambah berlian-berlian kebahagian orang Tua dan keluarga kami yang lebih dulu pulang dengan Tsunami di syurga sana. Adik saya satu-satunya yang selamat dalam musibah ini saat itu berusia 9 tahun. Awal-awal tsunami langsung saya pindahkan sekolahnya ke daerah dekat bandara di keluarga nenek dari Ibu supaya hidupnya normal dan bersekolah seperti anak-anak seusianya. Kami bertemu di hari kedua tsunami. Tiap hari saya juga melihat perkembangannya dan bolak balik di wilayah pengungsian. Saat di pengungsian dulu saya seperti Ibu yang tiap hari memandikan, memakaikan baju dan mengantarkannya sekolah. Pulangnya mengerjakan PR dan menemaninya menggambar. Allahu Akbar. Turki, 11-12-13 Seri Tulisan Buku (3)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H