Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaba, Karya Fiksi Minangkabau (2)

2 September 2013   16:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:28 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karena sifat kabar itu yang diceritakan dari mulut kemulut, diceritakan dari satu tempat ketempat lain, bahkan tidak hanya di daerah kejadian. Maka kabar yang disampaikan itu menjadi sebuah cara khas menyampaikan berita bagi masyarakat Minangkabau. Lalu kapan kaba dinyatakan sebagai fiksi? Mungkin ketika kabar yang diceritakan itu telah dituliskan menjadi buku saat tradisi tulis sudah berkembang di Minangkabau (umurnya lebih muda dari umur tradisi bakaba itu sendiri). Kabar berita yang dituliskan itu menjadi fiksi ketika para akademisi mulai menerjemahkan tradisi lisan masyarakat Minangkabau itu dengan ilmu-ilmu yang mereka dapat dari luar kebudayaan Minangkabau (teori barat). Ketika akademisi barat mengemukakan sebutan novel, roman untuk cerita-cerita rekaan dan menggolongkannya ke dalam fiksi, maka mereka mulai menyebut kabar yang disampaikan dengan cara bakaba dan kemudian dituliskan itu juga tergolong kepada fiksi.

Padahal keduanya sangat bertolak belakang sekali. Fiksi yang disebut akademisi itu adalah cerita rekaan atau khayalan, mungkin mereka menganggab sama dengan kabakarena mereka berprasangka bahwa kaba juga sebagai rekaan orang-orang Minang. Maka dengan alasan itu mereka golongkan kaba ke dalam fiksi. Padahal kaba bukanlah semata cerita rekaan tetapi dia diangkat dari fakta yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Minangkabau kemudian diceritakan dari mulut ke mulut dan suatu ketika dituliskan.

Lalu bagaimana solusi tentang persoalan ini? Karena ilmu-ilmu sastra atau teori sastra datangnya dari luar khasanah kebudayaan Minangkabau, maka tidak selalu harus diterapkan untuk menyelidiki secara akademis kaba masyarakat Minangkabau. Hal ini sama dengan orang-orang yang meneliti tradisi pasambahan dengan cara sama dengan menganalisi puisi. Karena dia menganggab kata-kata pasambahan sama dengan puisi. Padahal sesungguhnya hal itu adalah sebuah kekeliruan yang nyata.

Ke depan kalau memang penelitian-penelitian atau kajian terhadap seni tradisi Minangkabau akan dilanjutkan, saya rasa para akademisi yang akan meneliti dan mengkaji seni tradisi Minangkabau perlu memikirkan teori atau metode yang tepat untuk mengkaji kesenian tradisi Minangkabau. Tidak hebat seandainya peneliti-peneliti itu mencomot teori asing lalu berusaha bahkan terkesan memaksakan terori itu untuk meneliti kesenian tradisional Minangkabau.

Maka hal yang akan lebih baik untuk kita dan ilmu pengetahuan adalah mencarikan atau membuat cara tersendiri untuk menganalis atau meneliti seni tradisi Minangkabau ini. Kalau dikatakan membuat teori tersendiri yang kontekstual, boleh jadi. Atau kalau dikatakan membuat teori yang berakar dari khasanah kebudayaan tersendiri, mungkin tidak terlalu mengada-ada.(selesai)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun