Sudah lama tak ke Bukittinggi, akhirnya melalui media massa dan sosial media mendengar kabar kemajuan kampung halaman ini.Janjang Saribuyang dulu hanya tangga sederhana untuk melihat keindahan Ngarai Sianok direnovasi dandiubahnamanyamenjadiThe Great Wall of Koto Gadang, yangbentuknyamengadopsisalah satu Tujuh Keajaiban Dunia “Tembok Besar Cina”.Agar gampang dikenali msyarakat dunia, namanya pun diganti dengan bahasa internasional itu.
Secara administratif sebenarnya Ngarai Sianok terletak di Kabupaten Agam, sehingga program pembentukan destinasi wisata baru ini dipelopori oleh pemerintah Kabupaten Agam. Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring yang juga putra Agam ini, pemerintah Kabupaten Agam meresmikan pembukaan objek wisata baru melengkapi Janjang Saribu di sekitar Ngarai Sianok itu.
HadirnyaJanjang Saribumodel baru yang menyerupai Tembok Besar Cina tentu saja memberi efek positif bagi pemerintah daerah Kabupaten Agam dan juga Kota Bukittinggi. Sebagai daerah tujuan wisata, kedua daerah ini perlu menghadirkan wajah baru tempat wisata mereka melengkapi berbagai tempat wisata yang sudah ada seperti Lubang Japang, Panorama, Jam Gadang, Istana Negara Triarga, Kebun Binatang Kinantan, Benteng Fort de Kock dan Jembatan Limpapeh.
Baiklah.., kali ini saya tidak akan mengulas keelokan tempat wisata ini lebih jauh, akan tetapi justru mempertanyakan konsep kreatif pembangunan tempat wisata ini. Pertanyaannya adalah mengapa harus mengadopsi Tembok Besar Cina? Kenapa tidak dibuat dengan arsitektur Minangkabau saja?Apakah kalau memang seperti kabar angin yang menyampaikan bahwa berubahnya Janjang Saribu menjadiThe Great Wall of Koto Gadangyang mengadopsi Tembok Besar Cina, bahkan sampai pada arsitekturnya itu karena pesanan penyandang modal, lalu harus menghilangkan nilai-nilai budaya lokal?
Kenapa pembangunan objek wisata baru itu justru harus mengadopsi Tembok Besar Cina? Mengapa tidak dipertahankan saja nama Janjang Saribu seperti yang sudah ada sebelumnya? Ini pertanyaan mendasar berkaitan dengan arah pembangunan wisata daerah, khususnya di Bukittinggi dan Kabupaten Agam.
Kritik yang menyatakan bahwa membangun objek wisata dengan meniru pada objek wisata negara lain akan menghilangkan kesan lokalitas, tentu saja perlu diperhatikan. Betapa tidak, contoh nyata saja Janjang Saribu yang sudah bertahun-tahun di tempat itu kemudian tertutupi popularitasnya oleh Tembok Besar yang baru dibangun itu. Secara historis pun tidak ada alasan membuat bangunan yang menyerupai Tembok Besar Cina di Kabupaten Agam, karena sejarah tidak mempertemukan Ranah Minang dengan negeri Tiongkok itu, selain hanya karena Ranah Minang menjadi salah satu tempat perantauan bagi orang-orang Tiongkok.
Dibandingkan Lubang Japang diberi nama seperti itu atau Benteng Fort de Kock tentu saja hal ini berbeda. Lubang Japang diberi nama embel-embel Jepang itu tentu karena latar historis pembangunan terowongan yang sangat panjang di bawah Kota Bukittinggi itu tidak terlepas dari sejarah pendudukan Jepang di Bukittinggi. Selain itu Benteng Fort de Kock diberi nama seperti terkait Jenderal Belanda yang berperan besar membangun benteng di Kota Bukittinggi pada zaman penjajahan dulu.
Nah.., Tembok Besar Cina? Apa alasannya kemudian pemerintah Kabupaten Agam atau Kota Bukittinggi mengadopsi Tembok Besar Cina? Tentu saja tidak ada alasan yang jelas, kecuali kepentingan industri wisata saja. Hal ini menunjukkan bahwa tidak matangnya rencana pembangunan wisata di daerah setempat dan tidak adanya itikad baik untuk membangun wisata yang berbasis lokalitas. Hal ini tentu saja harus menjadi catatan bagi pemerintah setempat agar ke depan memikirkan dengan matang pembukaan objek wisata baru di daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H