Mohon tunggu...
Azwar Hasan
Azwar Hasan Mohon Tunggu... -

Warga Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Karena Diam Saja Tidak Cukup

4 Juli 2014   17:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:30 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karena Diam Saja Tidak Cukup

Pemilu presiden 2014 akan menjadi pemilu ke lima dalam hidupku. Ada nuansa yang sangat berbeda yang aku rasakan kali ini. Ada kegelisahan sekaligus sebuah harapan baru bahwa aku percaya pemilihan presiden kali ini bukan hanya sekedar memilih seorang presiden tapi pilihan untuk ikut menentukan nasib bangsa paling tidak lima tahun yang akan datang. Walaupun aku selalu ikut dalam pilpres sebelumnya, namun belum pernah akau merasa ‘harus’ melakukan sesuatu dalam pemilihan presiden kali ini. Aku belum pernah ikut dalam partai politik manapun dan bukan juga salah satu pendukung fanatik politisi atau partai politik tertentu.


Empat pemilu sebelumnya, rasa pesimis itu sangat besar dan sikap mentalku mengatakan ‘Suaramu tidak ada artinya dan tidak akan merubah apapun dari bangsa ini, so, ngapain-lah capek-capek ribet antri nyoblos segala, apalagi ikut bantu mendukung calon tertentu. Ogah, capek, ngak akan ada hasil dan takkan berbekas. Setelah mereka terpilih, mereka sibuk urusan sendiri dan aku pun tidak peduli, cenderung lupa, dan tenggelam dalam aktivitasku sendiri dan tidak tahu juga harus kemana menuntut seribu satu janji masa kampanye itu.’

Namun kali ini berbeda. Aku sangat merasakan sesuatu yang sangat berbeda dan seolah ada yang mengatakan dalam diriku dan berbalik . “Diam saja tidak cukup, satu suaramu sangat berarti untuk menentukan nasib bangsa ini ke depan, ini bukan sekedar pilih ‘copras-capres’ tok, ini masalah pilihan arah politik, cara berpolitik, dan jalur bernegara di masa depan untuk bangsa dan negaraku. Demokrasi atau kembali ke diktatorship. Memilih masa depan atau masa lalu yang suram. Aku harus melakukan sesuatu secara santun, paling tidak untuk diriku sendiri sehingga aku sadar betul akan pilihan aku dan konsekuensi yang akan terjadi terhadap bangsa ini ke depan.

Aneh memang, kenapa pemilihan presiden kali ini, terasa sekali antusiame masyarakat. Luar biasa. Pada waktu aku liburan ingin cepat pulan ke tanah air karena tidak mau kehilangan momen bersejarah ini dalam hidupku. Apa mungkin karena ada jalur informasi baru yang menjangkau banyak kalangan, yaitu media sosial dan tentunya media telivisi yang sangat berbeda kondisinya dibandingkan 10-15 tahun lalu. Hampir tidak mungkin lagi informasi ditutup-tutupi oleh pihak penguasa atau pihak-pihak lain yang dekat dengan kekuasaan. Informasi tembus tanpa batas kepada si kaya, si miskin, si petani, si politism semuanya. Semua bisa mendapatkan informasi tanpa sensor sama sekali. Terlepas informasi itu adalah fakta, opini atau hanya berita bohong (hoax) semata. Apa mungkin ini faktornya, sehingga pilpres kali ini menjadi salah satu hajatan politik yang sangat membuat aku sendiri merasa ‘deg-degan’ untuk ikut melakukan sesuatu supaya calon yang aku percayai mampu membawa bangsa ini terpilih.


Faktor kehadiran dan kebebasan informasi ini di sosmed dan telivisi di negeriku, barangkali anugerah yang tidak banyak bisa dirasakan di negara lain di dunia ini. Belum pernah aku merasa sebangga ini menjadi seorang warga negara Indonesia, yang bisa mengatakan pendapat dan aspirasi tanpa perlu merasa khawatir sama sekali. Suatu kebebasan yang sangat mahal dan patut dibanggakan dan disyukuri. Memang ada juga yang kebablasan menjurus ke fitnah, benci, iri dan dengki, barangkali inilah konsekuensi yang harus dihadapi sistem demokrasi yang sedang dibangun. Untuk sebuah usia demokrasi yang baru berumur sekitar 15 tahun, sebuah prestasi yang perlu diapresiasi oleh seluruh komponen bangsa ini. Kawan-kawan yang tidak merasakan orde baru, ini anugerah yang tiada tandingannya. Demokrasi ini memberikan harapan.


Perjalananku ke banyak negara, membuat aku merasa bertambah mensyukuri atas adanya demokrasi di negeri ini. Banyak teman dari negara lain yang masih merasakan kekhawatiran dan sangat apatis ketika perbincangan masuk ke ranah pemilu atau yang berkaitan dengan politik, pemerintahan atau kerajaan. Persis perasaan yang aku rasakan pada zaman aku dulu mahasiswa dan sebelum reformasi terjadi. Sangat sedikit harapan disana. Pemilu hanyalah sebuah ritual lima tahunan penguasa dan kolaborasi dengan pengusaha dan aktor disekitarnya. Dulu, pemilu adalah alat untuk untuk membungkus sebuah kediktatoran kekuasaan supaya terlihat sebagai negara demokratis di dunia ini sehingga ‘tidak disingkirkan’ dalam pergaulan dunia internasional. Dulu di pemilu, aku tidak memilih langsung Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota tapi hanya memilih wakil rakyat yang banyak diantara mereka kemudian tidak merakyat ketika sudah berada di gedung wakil rakyat. Alih-alih bermimpi jadi presiden, bermimpi menjadi lurah dan camat saja tidak mudah jika anda tidak berada disekitar kekuasaan waktu itu. Sungguh aku bersyukur berada di negara demokrasi Indonesia ini. Terima kasih Indonesia, terima kasih para pelaku dan pejuang reformasi di negeri ini. Aku sudah dan sedang merasakan buah demokrasi ini yang kalian perjuangkan dulu. Sering kita lupa dan tidak merasakan apa yang sedang kita miliki. Padahal demokrasi ini telah mengorbankan banyak darah dan air mata.


Hingga hari ini, seminggu menjelang pemilihan presiden, aku bertemu dengan beberapa teman dari luar negeri, yang rela datang ke Indonesia, membayar tiket dan akomodasinya sendiri hanya sekedar ingin menyaksikan langsung pemilihan presiden di Indonesia. “ngapain juga ya? Ngak ada kerjaan apa?” batinku. Aku ingat betul percakapan salah seorang teman dari Inggris yang sudah bekerja di semua benua di dunia ini, dia bilang “Az, Aku ingin banyak lagi mahasiswa kami dan para pemimpin muda negeri kami datang ke Indonesia dan menyaksikan langsung bagaimana pemilu berlangsung. Bagaimana masyarakat Indonesia ikut merasakan semangatnya dan aku bisa merasakannya sendiri. Disini, saat ini. Mahasiswa kami tidak cukup hanya mendengar cerita jaya masa lalu bangsa Inggris dari literataur dan buku, berdebat dan diskusi dalam kelas saja, dan mereka harus lihat bahwa sejarah masa depan sedang dibuat di Indonesia. Kalian bersyukur karena kalian generasi yang diberikan kesempatan untuk membentuk dan mengisi arah masa depan bangsa kalian. Kami semuanya sudah berjalan seperti mesin dan hampir tidak ada ruang untuk improvisasi karena semua sudah diatur sangat kaku dalam konstitusi dan undang-undang di negara kami. Kami hidup tapi kami mati, karena tidak punya jiwa dalam mengisi negeri kami. Kalian hidup dan bisa berbagi bersama-sama untuk berbakti membuat negeri yang yang disegani. You guys have a a hope, which is a strong power for the future of your  country.”


Aku sempat terdiam mencerna perkataan teman aku itu dari Inggris. Aku seperti dicubit dari lamunan pikiran yang terabaikan selama ini. Bagiku seolah-olah semua biasa saja dan tidak ada yang luar biasa. Tapi percakapan teman dari Inggris itu menyadarkanku bahwa aku warga negara Indonesia mempunyai kesempatan, saat ini untuk ikut menentukan arah bangsa ini. Iya, saat ini. Aku pikir dia benar, aku abai merasakan apa yang sedang aku miliki dan sedang terjadi di negeri ini. Malah orang luar negeri yang berapresiasi terhadap prestasi negeriku. Kenapa aku jadi tuli? Kenapa aku jadi bodoh tidak peduli? Egois sekali aku ini ya, hanya memikirkan diri sendiri tok. Hhhmmm...aku tidak boleh diam dan basa bodo, ini saat yang ktiris untuk bangsaku. Pasti aku bisa melakukan.


Aku harus peduli dan menjadi pengkontribusi dalam sejarah yang sedang terjadi di negeri ini. Aku hanya salah satu warga negara Indonesia yang mempunyai hak untuk memilih. Aku harus milih apapun alasannya dan siapapun pilihannya. Tapi apakah itu cukup? Cukupkah aku diam saja? Jadi pemerhati yang sering tidak berkontribusi terhadap bangsa ini? Pengkritis tapi tidak memberikan solusi apalagi berkontribusi. Malu untuk mengatakan siapa calon pilihanku. Kenapa? Aku percaya kebaikan akan bermakna, seperti pesan lirik lagu GMB (Gerakan Mari Berbagi).


Kesempatan ini tidak dimiliki banyak negari baik yang sudah maju maupun yang masih berkembang. Aku di Indonesia, sedang memiliki kesempatan itu, dan aku harus mampu memberi dan berkontribusi. Bukan hadir untuk mencaci maki dan menyebar dengki. Namun, itu tidak akan berhenti sendiri, jika yang punya ambisi ingin mengebiri negeri. Perpaduan ambisi yang bertubi-tubi dengan kekuasaan yang tertinggi di negeri ini, akan menghasilkan sesuatu yang sangat ngeri. Aku tidak mau ini terjadi lagi di negeri ini. Cukup sudah bagiku merasakan jeritan dan tangisan darah para korban operasi militer di berbagai daerah, terutama dikampungku sendiri. Tidak mau lagi aku merasakan ketakukan ketika aku berdiskusi dan mengkritik penguasa karena kesewenangannya dalam memerintah negeri ini. Cukup menjadi sejarah ketika sebuah diskusi publik harus melaporkan kepada POLRI dengan isi yang ditutup-tutupi, perasaan ketakuan yang ngeri karena takut menyingung penguasa negeri. Aku bangga ketika melihat seorang anak muda Indonesia di sebuah forum dengan bangga dan penuh percaya diri mengatakan bahwa dia ingin jadi politisi di negeri ini. Dia bisa mengatakan dengan bangga “aku ingin menjadi presiden, aku ingin jadi menteri, aku ingin bebas memilih profesi diriku sendiri tanpa perasaan takut dan merasa dibuntuti.” Mimpi yang dipercayai generasi muda sebuah bangsa adalah aset termahal bangsa itu. Mimpi yang mengandung unsur harapan sebagai alasan untuk terus berjuang membuat diri dan negeri menjadi lebih bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun