Kedudukan prasangka (prejudice) sebagai landasan pengungkapan kebenaran memang tidak pernah mendapat legitimasi dari para pemikir sejak dahulu. Cicero menganggapnya penuh dengan kepalsuan dan hanya dimiliki oleh orang yang terburu-buru mengambil keputusan. Francis Bacon menyamakannya dengan cermin palsu (false mirror) yang cenderung memilah dan menerima opini yang hanya mendukung pendapat tertentu dan menutup mata terhadap penjelasan lainnya.
Prasangka hanya mengindahkan simpulan dan tidak tertarik menguji putusan yang lahir dari simpulan tersebut. Voltaire mengilustrasikannya pada seorang anak yang diberitahu oleh orang tuanya untuk menghormati orang tertentu tanpa diberitahu alasannya. Anak itu beranjak dewasa hingga akhirnya ia menemukan bahwa orang yang dulunya dia mesti hormati ternyata pelaku kriminal. Dari situ ia sampai ke simpulan bahwa orang itu tidak pantas ia hormati.
Orang tua anak itu menarik simpulan hanya dengan melihat tampilan luar orang tersebut: pakaian rapi, jabatan, hingga status sosialnya. Setelah anaknya beranjak dewasa dan belajar banyak hal dan punya pengalaman, ia mendapati orang tersebut suka menghina dan merendahkan orang lain, menyalahgunakan jabatan, dan merampas hak-hak orang lain. Prasangka, menurut Voltaire, jangan sampai mempengaruhi hasil putusan akhir kita.
Berlanjut ke Immanuel Kant yang membedakan prasangka dengan praduga. Menurutnya, prasangka adalah praduga yang langsung dijadikan simpulan akhir. Ketika kita berusaha mengamati dan memahami sesuatu, muncul dugaan pada proses pikir kita. Hal ini wajar sebab kita punya latar belakang pengalaman dan itu menentukan dugaan yang muncul. Disebut praduga karena dugaan itu hanya berada di pikiran dan belum dinyatakan secara normatif.
Bagi Martin Heidegger dan George Gadamer, parasangka merupakan konsekuensi logis yang sebenarnya sudah mewujud dari pra-pemahaman kita. Prasangka merupakan masalah realitas historis yang berasal dari pengalaman masa lalu setiap orang. Kita selalu berusaha memahami sesuatu berdasarkan pandangan yang kita anggap benar (berdasarkan apa yang dulunya kita alami). Sehingga jika kita punya masa lalu maka prasangka tidak bisa kita hindari.
Lalu, jika prasangka merupakan proses kognitif yang tidak dapat kita hiraukan atau hindari, apa yang mesti kita perbuat? Jawabannya adalah dengan menerapkan proses berpikir kritis. Hal yang tidak mudah dan pada proses penerapannya akan sangat menyulitkan. Namun jika dibiasakan dan dilatih dengan tepat, proses berpikir kritis akan membantu kita menyisihkan hal-hal yang tidak perlu dalam pengambilan keputusan kita.
Al-Qur'an dan Prasangka
Al-Qur'an menyimpulkan bahwa mayoritas manusia cenderung mempercayai prasangka dan oleh sebab itu mereka tidak patut dijadikan pedoman (Q.S 6:116). Prasangka sama sekali tidak mendapat tempat di depan wajah kebenaran (Q.S 10:36). Prasangka yang disebut dengan "zhann" ini disebabkan oleh perilaku meremehkan proses klarifikasi dan validasi sebuah informasi dan hanya tunduk pada kebenaran publik. Kebenaran yang populer dan diterima hanya karena kebanyakan orang membicarakannya.
Al-Qur'an menilai bahwa dugaan yang dipicu oleh prasangka tidak sepantasnya dibicarakan atau bahkan didiskusikan. Sehingga untuk mengantisipasi sesat pikir dan kesalahan dalam berperilaku yang diakibatkan oleh prasangka diperlukan informasi memadai yang telah melewati proses klarifikasi dan validasi atau disebut dengan ilmu. Prasangka memaksakan realitas untuk menyesuaikan dengan kecurigaan seseorang sehingga begitu sempit dan penuh penyimpangan.
Bagi seorang Muslim(ah), Al-Quran mengingatkan bahwa menuruti prasangka yang tidak berdasar dapat berakibat dosa. Apalagi melibatkan seseorang dan menuduhnya tanpa klarifikasi dan bukti pendukung. Ayat-ayat yang menyebutkan kata prasangka selalu diikuti dengan kata ilmu atau kata yakin untuk menegaskan kontradiksi ketiganya. Begitupula, prasangka harus dihadapi dengan ilmu untuk memastikan keyakinan atas sebuah simpulan atau putusan.
Bahaya prasangka ada pada paradigma generalisasinya. Seseorang yang gemar berprasangka cenderung menilai orang lain seperti dirinya sendiri. Pada kasus Hadits Ifki (kabar palsu yang menimpa Sitti Aisyah istri Rasulullah Muhammad SAW) mereka membangun prasangka buruk terhadap Sitti Aisyah dengan alasan bahwa jika mereka atau siapa saja (menurut mereka) yang ada di posisi Sitti Aisyah akan melakukan perbuatan seperti yang mereka pikirkan.