Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bangga Mewarisi Bahasa Daerah, Bangga Mewarisi Identitas Budaya Kita

14 Agustus 2019   20:56 Diperbarui: 14 Agustus 2019   21:05 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olah pribadi dari pixabay.com

Perangkat informasi bersama akses internet semakin memudahkan kita terlibat di pergaulan global. Paparan kita dengan hiruk pikuk ekspresi masing-masing individu di pergaulan tersebut terkadang memasung fokus pikiran kita pada apa yang mereka sajikan. 

Termasuk gemerlap budaya popular yang diusung oleh suatu budaya dan bahasa yang sudah dikenal luas secara internasional.  Namun, kecondongan generasi muda untuk berkiblat pada budaya populer itu dapat membuat rasa percaya diri mereka menjadi ciut ketika menampilkan identitas budayanya sendiri. 

Selain itu, kebijakan di bidang pendidikan yang belum menciptakan iklim kondusif bagi budaya dan bahasa daerah untuk berkembang. Pendidikan formal mulai dasar hingga lanjut hanya memberi ruang bagi bahasa nasional maupun bahasa internasional. 

Untuk antisipasi penyebaran budaya dan bahasa asing yang tidak diimbangi dengan kepercayaan diri membawa identitas suku dan bangsa kita ke pentas global, sudah saatnya kita memberi perhatian serius pada warisan kearifan lokal kita.

Bahasa punah ketika penuturnya tak lagi tersisa. Dokumentasi baik dalam format tertulis maupun multimedia tidak akan mampu menghidupkan bahasa yang sudah menjadi domain khas kreasi intelektual manusia. 

Jikalau saja suatu bahasa hanya menyisakan satu penutur saja maka pengetahuan yang dimiliki penutur itu hanya berfungsi sebagai repositori atau arsip dari akumulasi pengetahuan linguistik dari generasi sebelumnya.

Tingkat pertumbuhan penggunaan bahasa daerah, seperti prediksi David Crystal, hanya meningkat 6% setiap tahun. Kontribusi itu diperoleh dari penutur berusia 85 tahun ke atas sebanyak 60%, penutur berusia 40-44 tahun sebanyak 30%, dan penutur dari generasi muda sebanyak 10% saja. 

Tentunya, tren itu diikuti dengan pola pertumbuhan dan penyebaran populasi dari penutur bahasa daerah tersebut.  Tren ini diikuti oleh akuisisi bahasa yang efektif diperoleh di lingkungan rumah dan tetangga yang kemudian menurun secara signifikan ketika penutur tersebut memasuki lingkungan sekolah, lingkungan kerja, atau setelah berkeluarga.

Bahasa daerah perlu dilestarikan. Hal itu mencakup pelestarian budaya yang menjadi ciri khas suatu komunitas lokal. Pembatasan ekspresi budaya dan bahasa daerah di ruang publik dapat dianggap penjajahan atas pencapaian pengetahuan manusia. Pembatasan seperti itu berdampak pada hilangnya konsep, abstraksi, hingga pandangan hidup yang tentunya tidak kondusif bagi perkembangan intelektual bangsa kita. 

Praktek Berbahasa: Suatu Manifestasi Intelektual yang Khas 

Setiap individu memiliki sikap bahasa yang berbeda-beda. Meskipun pada dasarnya setiap orang mempunyai sikap positif terhadap bahasanya, sikap positif itu bisa berubah menjadi sikap negatif jika seseorang atau suatu komunitas tutur dipengaruhi dari luar, terutama dari kelompok yang mempunyai pencapaian tertentu di bidang pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial budaya. 

Mereka memengaruhi penutur bahasa tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penutur bahasa itu bersikap negatif terhadap bahasanya. Cara pandang dan perlakuan penutur terhadap bahasanya, menentukan masa depan bahasa tersebut. 

Punahnya suatu bahasa berarti hilangnya cara pandang kita terhadap bagaimana memahami dan menjalani hidup serta memersepsi pengalaman. Bahasa merupakan repositori adat, budaya, serta wawasan dari para penutur pendahulu. Sering kita dapati sebuah keluarga di mana anak-anak tidak lagi memakai bahasa daerah orang tua mereka. 

Komunikasi mereka mengenai suatu hal sering dibumbui perbedaan pendapat, debat, hingga pertikaian akibat sudut pandang yang sama sekali berbeda. Oleh sebab wawasan dibatasi oleh bahasa maka cakupan ide dan konsep yang bisa dipahami seseorang ditentukan oleh jumlah kosakata yang ia dikuasai atau dipahami. Ini yang mengakibatkan seseorang tidak mampu memahami secara utuh apa yang orang lain pikirkan. 

Kecakapan penggunaan kosakata dalam berinteraksi, merupakan kekayaan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh penutur. Semakin kaya kosakata seseorang, semakin luas pula pemahamannya, dan semakin tinggi tingkat pemertahanan bahasanya. 

Hubert Emmanuel Harimurti Kridalaksana mengemukakan bahwa kosakata, yang disebut leksikon pada kajian kebahasaan, merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa. 

Daftar kata yang dikuasai penutur terdokumentasi seperti ensiklopedia, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Dengan demikian, kosakata dari suatu bahasa seorang penutur didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan kosakata dari bahasa itu atau himpunan kosakata yang dimiliki dan digunakan dalam setiap tindak komunikasinya, sebagai lambang dari tingkat kecerdasan dan ciri pemertahanan bahasanya. 

Hilangnya suatu bahasa juga berdampak pada hilangnya suatu bentuk tindak tutur yang khas pada bahasa tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Ethan Nowak yang mengatakan bahwa erosi nilai budaya dimulai dari preservasi bahasa lokal yang tidak serius. 

Penutur suatu bahasa memiliki kemampuan untuk melakukan sekaligus mengenali suatu perbuatan yang khas dari penggunaan bahasa tersebut. Hal ini mencakup tindak tutur dan bahasa tubuh sehingga melestarikan penggunaan suatu bahasa dapat dianggap sebagai usaha menyokong keberagaman budaya. 

Bahasa yang dituturkan dalam suatu komunitas akan membentuk model interaksi dari komunitas tersebut. Dalam pandangan determinisme bahasa, model interaksi yang dibangun lintas generasi itu akan membaku menjadi budaya yang erat kaitannya dengan lingkungan fisik penopang komunitas itu termasuk sumber daya alam dan keanekaragaman hayatinya.

Budaya yang dibangun dari praktik berbahasa di komunitas itu tentu menyangkut kosakata serta istilah yang dikembangkan merujuk mulai pada suatu ritual hingga institusi yang secara khas mencirikan komunitas itu. Untuk memahami suatu budaya, dengan demikian, harus dimulai dengan memahami bahasa yang mengekspresikan budaya itu. 

Karena praktek serta ritual budaya berbeda dari suatu komunitas ke komunitas lainnya, hampir dapat dipastikan bahwa bahasa suatu komunitas sosial tidak akan mampu menjelaskan dengan sepadan suatu hal dari komunitas sosial lainnya.

Dengan demikian, proses penerjemahan hanya akan berhasil jika dua komunitas sosial atau lebih berbagi praktek atau ritual yang sama. Jika tidak, usaha penerjemahan itu hanya sebatas upaya untuk mengerti gambaran umumnya bukan memahaminya secara utuh. 

Namun proses itu tetap harus diapresiasi. Sebab usaha untuk mengerti narasi budaya lain adalah langkah awal untuk menentukan putusan logis dalam menentukan bagaimana kita menjalani hidup. Keragaman budaya itu tidak hanya menyediakan opsi namun juga suatu pandangan yang dengannya kita bisa melihat pengalaman hidup sebagai sesuatu yang berharga. 

Pentingnya Revitalisasi Bahasa Daerah

Banyak yang menduga bahwa hilangnya bahasa daerah yang berujung pada penggunaan satu bahasa universal baik bagi iklim persaudaraan umat manusia. Sehingga hal tersebut tidak perlu didramatisasi sebagai sebuah tragedi. Menara Babel, dalam mitologi klasik itu, mesti kembali dibangun agar manusia terhindar dari konflik akibat terlalu banyak bahasa yang harus kita dengar. 

Benarkah demikian? Jika persatuan dan solidaritas global umat manusia sebagai jalan menuju perdamaian ditempuh dengan menyeragamkan bahasa, bahasa mana yang akan digunakan? Bukankah usaha itu sendiri akan mengantar kita kepada konflik yang sebenarnya tidak perlu ada? 

Sekali lagi ditegaskan bahwa bahasa merupakan manifestasi intelektual manusia yang secara khas mencerminkan pandangan hidup individu. Manifestasi intelektual tersebut akan mewujud sebagai ideologi, agama, konsep nasionalisme, dan sebagainya dalam perkembangannya seiring waktu. Tentunya menyatukan berbagai pandangan itu akan mengundang banyak debat dan saling klaim hak istimewa. Sejarah mencatat, hal ini justru menjadi akar dari segala konflik kemanusiaan yang ada. 

Imperialisme dan kolonialisme dulunya pernah menjadi pintu bagi suatu bahasa menjadi lingua franca; bahasa yang memfasilitasi komunikasi lintas bangsa. Bangsa imperialis maupun bangsa kolonial yang memaksakan status lingua franca menjadi bahasa nasional di bangsa jajahannya justru mendapati respon lebih keras dari  penduduk lokal. 

Di masa sekarang, kondisi di mana suatu bangsa menjadi multilingual; memahami lingua franca untuk kerjasama global, bahasa nasional untuk stabilitas politik dalam negeri, dan bahasa daerah sebagai identitas bangsa menjadi kondisi paling ideal. Dari keberagaman praktek berbahasa itu, justru masyarakat global mampu membangun kerjasama, saling memahami, namun menguat jati diri kebangsaannya masing-masing. 

Pemaksaan ideologi, agama, dan paham yang punya tendensi menggeser tradisi lokal hingga memarginalkan suatu bahasa daerah dapat dianggap sebagai eksploitasi kultural. Ideologi mesti mengasah diri lewat implementasi ide di suatu praktek sosial tertentu, bukan malah menjinakkannya. Iklim implementatif itu yang memungkinkan suatu ideologi dapat berkembang dan menyesuaikan diri. 

Agama pun mengatur hubungan harmonis dengan sesama makhluk hidup dan lingkungan penopang kebutuhan hidup sehingga eksploitasi doktrin agama terhadap praktek kreasi budaya justru menafikan kekuasaan Sang Pencipta dalam kreasi penciptaanNYA. 

Islam, secara khusus, menegaskan hal ini di Surah Al-Hujuraat ayat 13 yang menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan beragam suku dan bangsa agar jalinan komunikasi dan saling memahami dapat terwujud. 

Pertimbangan ekonomi juga sering diseret ke dalam polemik ini. Pasar global diperkirakan membutuhkan banyak biaya bagi perusahaan dan pengusaha untuk kegiatan jasa penerjemahan. Jasa penerjemahan memang tidaklah murah terlebih dalam skala industri. Namun di sisi lain, bahasa juga memikat pembeli. Pembeli lebih tertarik pada produk yang informasinya tersedia dalam bahasa pembeli. 

Selain itu, dalam timbangan human capital theory, bahasa justru mampu menjadi nilai lebih bagi seseorang untuk meningkatkan kontribusi dalam hal produktivitas. Banyak bidang yang bisa disasar oleh kemampuan bahasa ini seperti pariwisata, seni budaya, dan industri kreatif lokal. Perhatian terhadap bahasa lokal meningkatkan kepercayaan diri dari komunitas tersebut untuk menghasilkan produk dan terlibat dalam transaksi global. 

Green Movement dan Preservasi Bahasa dan Budaya Lokal

Media sosial yang menjembatani interaksi global juga menumbuhkan kesadaran terhadap gerakan kesadaran baru; gerakan sadar keberagaman misalnya. Isu kepunahan bahasa dan budaya lokal akan menjadi perhatian masyarakat global sama menariknya dengan isu lingkungan hidup dan dan keanekaragaman hayati. Gerakan yang mengusung slogan green movement ini menyasar kesadaran publik akan pentingnya warisan biologis dari semua domain, termasuk di antaranya bahasa dan budaya lokal. 

Keanekaragaman hayati adalah hal mutlak dijaga bagi seluruh penghuni bumi untuk mempertahankan ekosistem. Ekosistem sendiri dipahami sebagai sistem yang mengatur interaksi seluruh organisme hidup dengan memperhatikan faktor fisik dan kimiawi dari lingkungan sekitar mereka. 

Demikian pula dalam ekosistem budaya, dalam lingkup yang lebih kecil, yang mengatur hubungan struktur dan organisasi tiap-tiap komunitas budaya dalam lingkup lingkungan interaksi mereka masing-masing. 

Keanekaragaman juga merupakan faktor utama dari kemampuan evolusi suatu makhluk. Proses evolusi berperan dalam adaptasi makhluk di lingkungan hidup berbeda untuk kepentingan bertahan hidup. Dalam konteks ekosistem budaya, semakin beragam budaya yang ada maka semakin kuat potensi komunitas itu untuk menjaga eksistensinya. 

Hal ini juga dikonfirmasi pada kajian ekologi bahasa. Keanekaragaman dianggap berkorelasi dengan stabilitas ekosistem. Dalam artian, kemampuan manusia menciptakan begitu banyak ragam budaya sangat membantu kemampuan bertahan hidup di segala medan dan kondisi lingkungan. 

Komunitas lokal yang hidup di cuaca ekstrim kutub atau suku dalam yang mendiami hutan tentunya mewariskan pengetahuan tentang bagaimana manusia mampu menghadapi dan bertahan dalam kondisi lingkungan tersebut. 

Hilangnya komunitas tersebut serta praktek bahasa dan budayanya berarti hilangnya warisan pengetahuan yang berharga yang mampu digunakan manusia untuk merekayasa lingkungan. Dalam lingkup kecil saja, wafatnya seorang penulis akan berakibat hilangnya warisan pemikiran yang menjadi corak khas penulis tersebut. Adakah penulis sekarang yang mampu mengadaptasi ciri intelektual penulis sekelas Mohammad Hatta, Chairil Anwar, atau Buya HAMKA? 

Identitas melekat pada ekspresi berbahasa seseorang. Entah itu ditilik lewat dialek maupun logat namun pengetahuan bahasa seseorang merangkum seluruh pandangan yang ditampung pikirannya. Sehingga seringkali dikatakan bahwa ungkapan seseorang merupakan cerminan isi pikirannya. 

Oliver Wendell Holmes justru mengungkapkan bahwa setiap bahasa merupakan sebuah kuil tempat jiwa penutur bahasa itu bertapa. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa mengurai pikiran untuk diekspresikan menjadi produk budaya. Dari proses kontemplasi itu, lahirlah ritual, musik, lukisan, hingga puisi. 

Identitas merupakan hal yang menyatukan suatu komunitas dan menjadi ciri khasnya. Identitas menjelaskan karakteristik yang membedakan mereka dengan komunitas lainnya. Dengan meluasnya penyebaran penduduk dan pernikahan antar suku/ ras, ciri fisik yang selalu menjadi tolok ukur karakteristik suatu komunitas tidak lagi menjadi hal utama. Sehingga  karakteristik identitas seseorang biasanya dilihat dari model cara berpakaian, kepercayaan, ritual yang dipraktekkannya, dan yang paling jelas di antara semua adalah praktek berbahasanya. 

Bahasa Sebagai Repositori Sejarah 

Sebuah kata dapat pula menjadi artefak dari sebuah rentang sejarah. Terutama dalam konteks interaksi sosial. Warisan sejarah dari satu kata, dipadukan dengan ribuan kata lainnya, belum lagi ditambahkan konsep dari kata, ungkapan, metafora dari bahasa lainnya, seperti klaim Vjaceslav Ivanov seorang penulis berkebangsaan Rusia, akan mampu menghasilkan pemikiran brilian berikut dengan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang masih di luar dugaan kita. Kemampuan ini semakin memperkaya ekspresi individual dalam membangun identitas pribadi maupun komunitasnya pada taraf tak terhingga. 

Sebuah bahasa merangkum sejarah dari penuturnya. Sehingga Ralph Waldo Emerson menyatakan bahwa bahasa dapat dianggap sebagai arsip suatu periode sejarah. Bahkan, bahasa yang punya tradisi tulis mengungkapkan banyak hal selain model kehidupan komunitas di suatu periode sejarah. Bahasa itu dapat memberi petunjuk bagi kajian filologis maupun akar kekerabatan bahasa sehingga dapat menjelaskan hubungan kekerabatan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. 

Lalu bagaimana dengan bahasa yang tidak mengenal tradisi tulis? Uniknya, bahasa ini pun punya teknik linguistik yang cukup rumit untuk mewariskan catatan sejarah bangsa mereka ke generasi berikutnya. Biasanya, ini dipraktekkan oleh para pendongeng dan tetua yang dianggap sebagai figur bijak di komunitasnya. Para penutur kisah-kisah ini tahu bagaimana membuat pendengar mereka terpaku dengan apa yang sedang mereka sampaikan. 

Hal yang unik di tiap komunitas lokal itu adalah pandangan mereka tentang alam semesta. Hampir seluruh komunitas lokal punya  cerita yang berusaha menjelaskan bagaimana alam semesta ini menjadi ada. 

Ada yang menceritakan kura-kura besar yang membawa bumi hingga dewa-dewi langit yang mengurus perkara tertentu di permukaan bumi ini. Terlepas dari dapat tidaknya cerita tersebut dibuktikan, hal itu menuntun kita pada serpihan kecil dari teka-teki tentang bagaimana manusia memaknai hidup di tradisi berbeda. 

Suatu cerita tidaklah cukup untuk membentuk suatu pandangan dunia. Dibutuhkan akumulasi cerita baik mitos maupun legenda dari beragam latar belakang budaya. Malahan, seluruh produk budaya yang begitu banyak itu tidak dapat dirangkum dalam sebuah kata "warisan" dari peradaban dunia. Masih begitu banyak pengetahuan dan ritual budaya yang belum didokumentasikan dengan baik; termasuk simbiosis mutualisme penduduk lokal dengan ragam fauna dan flora di lingkungan tinggalnya. 

Post-Note

Ekspansi bahasa dan budaya asing yang menunggangi media sosial atau karya seni seperti K-Pop yang digandrungi banyak generasi sekarang mesti disaring dengan seksama. Kita dapat mempelajari bahasa dan budaya lain untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita dalam memaknai hidup. 

Namun, mengelu-elukan bahasa dan budaya asing itu lebih dari yang sewajarnya justru semakin membuat kepercayaan diri kita menyandang identitas suku dan bangsa lokal menurun. Kita punya warisan bahasa dan budaya lokal yang begitu ragam dan kaya. Warisan itu menunggu kita untuk mengeksplorasi dan mengkaji lalu kemudian menegaskan identitas kita di pergaulan global.

Keberagaman sebagai pendekatan pelestarian warisan budaya lokal kita merupakan kunci kekuatan evolusi umat manusia secara keseluruhan. Keberagaman ini akan melahirkan bentuk keberagaman lainnya dengan interaksi antar komunitas yang berasas saling bertukar warisan pengetahuan satu dengan lainnya. 

Interaksi itu pada akhirnya akan melahirkan kreasi budaya yang lebih unik dan baru. Sehingga patut untuk disadari bagi generasi muda dari sebuah komunitas lokal bahwa pelestarian budaya, dimulai dengan usaha revitalisasi bahasa daerahnya sangat dibutuhkan untuk mengukuhkan ke-Bhinnekaan dalam konteks NKRI. 

Kita butuh bahasa nasional untuk menjembatani dialog dan kesatuan visi berbangsa. Demikian pula dengan lingua franca yang dengannya kita bisa mengenalkan kekayaan warisan budaya kita dalam lingkup global agar kesempatan berkontribusi terhadap komunitas global lebih terbuka. 

Keberagaman merupakan hal niscaya; janganlah justru membuat kita tidak percaya diri. Karena setiap individu itu unik dalam pandangan dunianya masing-masing. Mari saling menjaga warisan lokal kita dan mari kita saling mengenal sekaligus saling memperkenalkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun