Tepat satu dekade yang lalu, diskusi tentang pendidikan terbuka mengemuka di forum-forum ilmiah sebagai salah satu aspek antisipasi kultur belajar di masa yang akan datang. Masa depan, dalam diskusi terkait, digambarkan dengan karakter berikut: pertukaran informasi secepat kilat sehingga isu-isu sosial segera menuai komentar publik (oleh bantuan media sosial) baik oleh mereka dengan kemampuan literasi sederhana hingga mereka yang punya kemampuan literasi sistemis.Â
Tentunya kondisi ini mesti didukung pemahaman memadai tentang beragam metode umpan balik, proses unjuk teori, serta pendekatan terukur akan dampak yang bisa ditimbulkan dalam sistem sosial yang berlaku. Sehingga proses belajar mesti terus menyesuaikan sebab kemungkinan suatu keahlian yang telah dikuasai hanya akan bertahan singkat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan teknologi yang terus menggerus bahkan menyingkirkan beberapa profesi tertentu. Keahlian tidak hanya diasah namun terus dikembangkan menyesuaikan perangkat baru atau permintaan.
Nah, saat itu muncul istilah Web 2.0 yang merujuk pada tren konten layanan berbasis web. Layanan ini menyediakan ruang bagi mereka dengan minat dan bidang yang sama untuk berdiskusi dan membangun kolaborasi. Ruang ini menjadi sebuah laboratorium demokrasi melampaui ruang kelas di mana akuisisi pengetahuan difasilitasi oleh dialog.Â
Layanan tersebut juga terhubung ke komunitas-komunitas terkait di mana terdapat orang-orang yang mau meluangkan waktu untuk membantu satu sama lain. Umpan balik, koreksi, dan panduan bersifat konstruktif karena masing-masing saling memahami kemampuan dan kekurangan; tak ada yang segan maupun sungkan sebab tidak ada yang merasa lebih tahu atau lebih paham.Â
Di sisi lain, perkembangan perangkat lunak memungkinkan media belajar bisa lebih interaktif. Perangkat virtual reality mampu menghadirkan simulasi dengan pengalaman motorik lebih nyata. Meski dalam perkembangannya terhambat masalah kompatibilitas dan masalah kenyamanan. Meski demikian, internet mampu merevolusi ruang belajar didukung oleh sistem pandu cerdas (intelligent tutoring system).
Pendidikan terbuka (open education), dalam diskusinya, dilandasi oleh setidaknya tiga komponen: teknologi, konten, dan wawasan pengetahuan. Dengan catatan bahwa ketiganya bersifat terbuka untuk siapa saja dalam hak akses, modifikasi/ pengembangan, hingga distribusi. Satu-satunya hal yang mengawasi sifat keterbukaan itu hanyalah etika. Sebagai contoh, atribusi beserta penghargaan atas karya mesti ditujukan kepada empunya gagasan.Â
Selain itu, niatan pengembangan maupun distribusi tidak bersifat komersil. Nilai-nilai kolektivitas pendidikan terbuka ini menganut asumsi filosofis yang percaya bahwa pendidikan dapat ditingkatkan dengan menjadikan aset pendidikan terbuka serta dapat diakses bagi dan oleh siapa saja. Keterbukaan itu diperkaya dengan memanen kearif-bijaksanaan kolektif baik yang sifatnya praktis maupun reflektif dari sebuah komunitas berbagi.
Selang waktu berlalu, gayung pun bersambut. UNESCO dan OECD pun memfasilitasi pertemuan dan seminar yang mengampanyekan pendidikan terbuka ke institusi-institusi pendidikan terkait. Sampai hari ini, tidak terhitung kuliah terbuka yang ditawarkan secara cuma-cuma atau setidaknya dengan biaya yang terjangkau.Â
Sebut saja edX, Coursera, Udacity, Lynda, Udemy, Khan Academy, atau Skillshare berbasis di luar negeri hingga Ruang Guru, e-Learn.id, serta Rumah Belajar oleh Kemendiknas RI berbasis di Indonesia. Satu hal yang patut menjadi perhatian yaitu kelas kuliah terbuka ini tidak hanya membongkar batas-batas formatif ruang kelas konvensional namun juga membuka kesempatan bagi kita untuk mematangkan persiapan menuju masyarakat berperadaban global. Sehingga kearifan lokal yang selama ini luput dari perhatian akan semakin meneguhkan posisinya dalam khazanah peradaban manusia. Lebih jauh, kelas ini menjangkau peserta didik yang lebih beragam sehingga pengetahuan akan terdokumentasi dengan lebih baik.
Sekarang, bagaimana institusi pendidikan kita menanggapi pendidikan terbuka hari ini? Sebuah platform, IndonesiaX,unjuk diri sebagai wadah yang menjembatani pendidikan terbuka dengan menyediakan kursus-kursus daring dari universitas maupun dari praktisi secara individual. Nilai lebihnya, layanan ini menyediakan banyak konten gratis dengan kualitas pengalaman layaknya provider sekelas edX. Namun sejauh ini, belum ada komitmen kuat dari institusi-institusi pendidikan yang ada untuk meneguhkan kerjasama dengan platform tersebut.Â
Jika pun penjajakan telah dibuat, sosialisasi belum cukup memadai sehingga publik masih terhalang akses hanya karena masalah informasi. Universitas Terbuka pun yang secara khusus punya domain dan spesifikasi kuliah berbasis konsep ini pun hanya menawarkan pengalaman layaknya Youtube. Nampaknya, dengan perangkat dan layanan teknologi informasi yang semakin terjangkau, institusi-institusi pendidikan kita masih menutup diri dari moda kelas semacam ini. Bahkan, konsep e-learning yang kajiannya telah matang dan sudah diterapkan di beberapa institusi masih berkutat dengan masalah perangkat dan pengoperasian. Belum melangkah ke fokus yang seharusnya yaitu peserta didik.