Mohon tunggu...
azwarchaniago
azwarchaniago Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Perkenalkan Saya AZWAR Chaniago Baru bergabung di Kompasiana sebelumnya saya fokus menulis di Livejournal.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bagaimanakah Cara Camat se-Kabupaten Agam Mencari Suaka Politik?

28 November 2024   11:27 Diperbarui: 28 November 2024   11:46 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi | allpoetry.com

Pilkada Agam 2024 sudah selesai, namun kisah menariknya baru saja dimulai. Hasil hitung cepat yang diumumkan menunjukkan bahwa pasangan calon Beni Warlis dan M. Iqbal (BW-Iqbal) berhasil meraih kemenangan dengan selisih suara yang tipis, meninggalkan pasangan incumbent Andri Warman dan Martias Wanto (AWR-MW) di urutan ketiga. Tapi, di balik layar, yang lebih menarik untuk disimak adalah bagaimana para camat se-Kabupaten Agam, yang seharusnya profesional dan netral, mulai mengasah taktik mereka untuk "bertahan hidup" di tengah pergantian peta politik ini.

Satu nama yang langsung mencuri perhatian adalah Camat Palupuh, Nong Rianto. Sebelumnya, dia dikenal sebagai pendukung fanatik pasangan AWR-MW, bahkan tak segan-segan mengerahkan segala sumber daya untuk memenangkan calon incumbent tersebut. Namun, begitu hasil pilkada menunjukkan bahwa AWR-MW kalah, dalam sekejap Camat Nong Rianto berubah bak bunglon, mencari "suaka politik" ke pihak yang baru menang. Taktiknya? Sebuah langkah dramatis, mendekati M. Ridwan Dt. Garang, seorang tokoh masyarakat yang sejak awal dikenal dekat dengan BW-Iqbal.

Hanya dalam hitungan jam setelah kekalahan AWR-MW, Nong Rianto yang dulu sangat vokal mendukung calon tersebut, kini mulai "melunakan gigi" dan "menjilat ludah" yang dulu pernah ia keluarkan. Dari seorang pendukung keras AWR, dia bertransformasi menjadi seorang "pemilih cerdas" yang menyadari bahwa posisi di kursi camat lebih berharga daripada loyalitas pada calon yang sudah kalah. Benar-benar sebuah "taktik kosong" yang sangat efisien untuk bertahan dalam politik lokal. Seolah-olah tidak ada yang lebih penting daripada mempertahankan jabatan, bahkan jika itu harus dengan mengubah warna dukungan seperti ganti baju.

Pragmatisme politik ini bukan hanya milik Nong Rianto seorang. Camat-camat lain di Kabupaten Agam juga pasti tengah mempersiapkan strategi serupa. Mereka yang sebelumnya mendukung AWR-MW mungkin kini mulai meraba-raba, mencari pintu keluar atau celah di mana mereka bisa mendarat dengan aman di pemerintahan baru. Yang lulusan IPDN mungkin merasa sedikit lebih tenang, karena mereka masih punya kartu as berupa organisasi alumni yang siap memberikan dukungan. Tapi, bagi mereka yang hanya mengandalkan manisnya kata-kata dan kemampuan "prinsip asal bapak senang", masa depan mereka pasti lebih gelap.

Inilah ironinya: di saat masyarakat di luar sana berharap pada pemimpin yang bisa membawa perubahan, di level lokal, kita malah disuguhkan dengan pemandangan birokrasi yang "tertipu" oleh kemenangan politik yang baru saja terjadi. Bukankah seharusnya camat-camat ini, yang digaji oleh rakyat, berfokus pada pelayanan publik dan bukan sibuk mencari dukungan politik hanya demi menjaga kursi mereka? Sayangnya, dalam politik lokal, kenyataan sering kali jauh lebih pragmatis. Mengganti dukungan politik seperti mengganti sepatu yang sudah usang adalah taktik yang jauh lebih menguntungkan daripada mempertahankan loyalitas kepada yang kalah.

Di balik semua manuver ini, muncul pertanyaan besar: Apakah birokrasi Kabupaten Agam masih bisa dijalankan dengan prinsip profesionalisme, ataukah semuanya sudah terkontaminasi dengan ambisi politik yang lebih besar? Apakah ada ruang bagi camat untuk bekerja tanpa terjebak dalam permainan politik yang hanya menguntungkan mereka yang paling licik dan cepat beradaptasi?

Loyalitas politik yang dibangun di atas dasar kepentingan pribadi akan selalu lebih rapuh daripada yang dibangun di atas dasar integritas. Di akhir cerita, mungkin kita semua hanya akan melihat camat-camat yang "menjilat ludah" dan berpindah haluan seperti angin yang berubah arah. Di tengah segala drama politik ini, kita hanya berharap bahwa pemerintah yang baru akan memberikan porsi yang lebih banyak bagi kepentingan rakyat, bukan untuk para camat yang sibuk berlari mencari suaka politik.

Kita tunggu saja, bagaimana nasib para camat lain yang kini tengah mempersiapkan taktik mereka. Akankah mereka bertahan dengan loyalitas yang baru ditemukan, atau kembali memilih untuk memanaskan kursi mereka dengan strategi cerdik yang lebih menguntungkan? Salah satu yang pasti: Politik lokal selalu penuh kejutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun