System pertanian konvensional terbukti tidak memiliki daya tahan terhadap cuaca ekstrim dan perubahan iklim yang melanda dunia. Pertanian konvensional dengan cirri khas monokultur telah kehilangan daya tahan dan kehilangan mekanisme ekologis untuk bertahan terhadap serangan hama, keseragaman gen dankerentanan terhadap perubahan cuaca
ebijakan Revolusi Hijau terbukti gagal dan menghasilkan bermacam krisis pertanian di Indonesia. Krisis pertanian tersebut berupa Erosi tanah,pencemaran ekologi akibat pestisida dan herbisida, eutrofikasi, bahkan perpindahan kepemilikan lahan dan teknologi. Semenjak Pelaksanaan Revolusi hijau (1970-an) perlahan-lahan terjadi pergeseran kepemilikan dari petani menjadi milik perusahaan bidang pertanian (agribisnis). Semula, teknologi pembenihan adalah milik petani, kini menjadi monopoli Monsnato, Syngenta, Dupon dan PT. Bisi Indonesia. Awalnya pengetahuan tradisional untuk menjaga kesuburan tanah berupa pengaturan jadwal tanam, mengikuti perkiraan cuaca, tumpang sari dan pergiliran tanaman tergerus dengan pupuk sintesis buatan petrokimia. Kini, kaum tani bergantung terhadap input eksternal seperti pupuk kimia, pestisida kimia dan benih hibrida (benih pabrik). Muara dari system pertanian ini adalah produktifitas lahan yang tinggi tanpa mengukur keberlanjutan ekologi, budaya, kelembagaan petani dan ekonomi rumah tangga petani. Menurut Prof. Miguel Altieri (2013) system pertanian dengan model industrial ini (model yang menciptakan ketergantunga petani terhadap industry pupuk, pestisida dan benih) tetap langgeng karena empat asumsi yakni 1). Energy yang melimpah ruah dan bahan bakar yang murah, 2). Iklim yang stabil dan kelimpahan air, 3). Alam dapat dikontrol dengan technology, 4). Kelaparan dapat diselesaikan dengan meningkatkan produktivitas. Hingga saat ini 80 % dari 1,5 millliar lahan pertanian ditanami dengan system pertanian konvensional dengan cara monokultur dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap input eksternal seperti (pupuk kimia, pestisida, benih pabrik dll).
System pertanian konvensional terbukti tidak memiliki daya tahan terhadap cuaca ekstrim dan perubahan iklim yang melanda dunia. Pertanian konvensional dengan cirri khas monokultur telah kehilangan daya tahan dan kehilangan mekanisme ekologis untuk bertahan terhadap serangan hama, keseragaman gen dan kerentanan terhadap perubahan cuaca. Berdasarkan Pengamatan SOCLA (sebuah organisasi ilmuan pertanian) kekeringan yang terjadi sepanjang tahun 2012 merupakan yang terburuk sepanjang 60 tahun terakhir dantelah mengakibatkan penurunan produksi Jagung hingga 18%, Kedelai 8 % dan padi 30 %. Kekeringan yang mengakibatkan gagal panen bahkan menyebabkan meroketnya harga berbagai bahan pangan 3 hinga 4 %.
Ketergantungan Petani
Kerentanan terhadap perubahan iklim bukan satu-satunya yang menjerat kaum tani. Ketergantungan terhadap Pupuk sebagai salah satu input pertanian memiliki ciri khas harga. Peningkatan harga pupuk selalu beriringan dengan peningkatan harga bahan bakar. Ketergantungan terhadap pupuk inimenyebabkan petani harus merogoh koceknya dalam-dalam setiap musim tanam tiba.
Biaya yang tinggi terhadap pupuk sebenarnya tidak diiringi dengan kesejahteraan yang meningkat. Peningkatan penggunaan pupuk yang setiap tahun tidak diikuti dengan peningkatan jumlah panen (produktifitas lahan). Efisiensi penggunaan pupuk terutama Nitrogen menurun dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1960 Efisensi Nitrogen mencapai 80 % pada tahun 1990 efisiensi nitrogen hanya 20 % (Miguel Altieri).
Begitu juga dengan penggunaan Pestisida dan herbisida. Penggunaan pestisida yang diyakini untuk menghindari gangguan hama supaya produktifitas meningkat tidak terbukti juga. Penggunaan pestisida bahkan mengancam kelanjutan pertanian. Prof. Peter Rossetmelaporkan sejumlah mikoorganisme yang menguntungkan di dalam tanah mati akibat penggunaan pestisida, terjadinya ledakan popoulasi hama tertentu, kekebalan pada sejumlah spesies serangga terhadap pestisida dan kekebalan gulma terhadap semprotan herbisida. Serikat Petani Indonesia (2010) melaporkan bahwa kekebalan serangga/hama pengganggu tanaman menyebabkan petani semakin meninggikan dosis pestisida dan herbisida. Penggunaan dosis berlebih tersebut bukan hanya akan semakin menghancurkan ekologi akan tetapi juga semakin menghancurkan ekonomi petani. Kesimpulan sederhana dari keadaan ini adalah menambah input semacam pupuk ternyata mengurangi jumlah produktifiatas. Jadi ilusi untuk mengontrol alam tidak bekerja dan tidak benar adanya.
Kelaparan Dunia
Kelaparan di Dunia ini sudah menyentuh angka 1 Milliar orang. Kelaparan yang disebabkan kemisikinan bukan karena kekurangan produksi (1/3 dari populasi manusia tergolong miskin karena memiliki pendapatan kurang dari 2 $/hari, asumsinya tidak lama lagi kelaparan akan menjangkiti 1/3 dari populasi manusia di bumi). Pertanian sebenarnya sanggup menyumbang pangan 9 sampai 10 milliar orang akan tetapi semua hasil pertanian tersebut tidak digunakan untuk pangan manusia.
Industrial pertanian menggunakan hasil pertanian semacam jagung (zea mays) dan kedelai sebagai bahan bakar dan makanan ternak.Industrial pertanian lebih mementingkan keuntungan dari penjualan bahan bakar nabati daripada menyelamatkan manusia dari kelaparan.
Professor Lappe (1998) telah melaporkan 78 % dari anak-anak balita kurang gizi tinggal di Negara berkembang dimana terjadi surplus pangan atau swasembada pangan. Jadi, masalah ketercukupan pangan bukan hanya masalah harga, produksi dan distribusi pangan akan tetapi bagaimana setiap rumah tangga mampu menghasilkan pangannnya. Logika sederhanaya adalah bagaimana setiap rumah tangga di pedesaan di Negara berkembang akan menghasilkan pangannnya apabila lahannya dikuasai industrial pangan dan masyarakat pedesaan adalah buruh dari industrial pangan yang mengahasilkan bahan bakar bukan pangan.
Solusi Bisnis (2008) melaporkan bahwa 80 % dari industrial pangan adalah untuk memenuhi pasar pangan internasional. Pasar pangan internasional akan mengikuti harga tertinggi yakni hasil pertanian sebagai bahan bakar nabati bukan pangan. Jadi, pola ekspor dan impor industrial pertanian adalah untuk memberikan bahan bakar bagi kenderaan si tuan kaya bukan memenuhi pangan internasional.
Globalisasi dari bawah
Tak pelak lagi, keadaan ini membuat munculnya perlawanan kaum tani terhadap ketidakadilan tumbuh subur di berbagai Negara, terutama Amerika Latin. Di awal-awal masa perlawanan kawasan ini, revolusi mempengaruhi struktur sosioekonomi di beberapa negara, termasuk di dalamnya Meksiko, Bolivia, Kuba dan Nikaragua.
Perlawanan kaum tani yang banyak menjadi rekomendasi dan inspirasi kaum tani di berbagai belahan dunia adalah ANAP-Cuba dengan system agroekologinya dan MST-Brazil dengan okupasi lahannya.
Jika membicarakan pembaruan agraria di Amerika Latin, maka kita harus merunut pada sepak terjang gerakan reforma agraria populis dari MST (Organisasi Petani Tak Bertanah) di Brazil. MST merupakan sebuah gerakan sosial paling fenomenal dalam sejarah Amerika Latin dan menjadi model gerakan masyarakat sipil—terutama petani di dunia. Sejak tahun 1984, sekitar 250.000 keluarga telah berjuang mewujudkan pembaruan agraria, dengan mengokupasi tanah seluas 21 juta hektar lebih.
Gerakan ini berhasil mentransformasikan dirinya menjadi gerakan dari bawah ke atas yang mencerminkan masyarakat sipil (bottom-up) dan populis. Tercatat anggota MST sekarang mencapai 2.5 juta orang (dalam desa-desa atau settlement) plus jutaan lebih simpatisan (pendukung), dengan perkembangan tidak hanya mengolah tanah, tapi juga mengembangkan alternatif sosial yang lebih dari itu. Untuk itulah di Amerika Latin, MST menjadi model pembaruan agraria yang sejati—karena cakupan makna pembaruan agraria yang diusungnya tidak berhenti hanya pada kepemilikan lahan, namun terus menjadi sebuah perubahan sosial dari proses produksi, konsumsi hingga distribusi kebutuhan anggotanya.
Dari hampir 2000 settlement (desa yang dibuat dari proses okupasi lahan) yang tersebar di 23 propinsi, kini MST mulai memperlebar dan membuat gerakan pembaruan agraria menjadi masif. Hebatnya lagi, gerakan ini populer dan mendapat dukungan rakyat sekitarnya. Hingga saat ini, keberadaan MST pun menjadi krusial di kancah politik, dengan perannya pada kemenangan Presiden Lula Inacio da Silva di dua kali pemilihan (2002 dan 2006).
Okupasi tanah oleh MST dalam 1990-1996
Tahun
Okupasi
Jumlah Keluarga
Luas Tanah (hektar)
1990
43 kali
11,484