_sebuah perjalanan yang tidak terduga_ Sungguh perjalanan yang sangat menegangkan, senang bercampur takut terlarut dalam perjalanan yang panjang dan terjal. Dimana semua orang menyuruh kami, tim ‘Ekspedisi Putri Rinjani Lawalata-IPB’, untuk mengurungkan niatnya melakukan pendakian ke Gunung Rinjani (3726 m dpl) yang pada saat itu cuacanya sangat tidak menentu. “plis jangan naik, jangan antar nyawa kalian kesana, sayangilah nyawa kalian” kata salah seorang teman yang pada beberapa hari sebelumnya pernah melakukan pendakian tetapi gagal karena terkena badai berupa angin kencang, hujan dan lemparan batu-batu kecil. Hati dirundung dilema antara badai dan kegiatan kami yang tidak bisa dirubah karena ada beberapa faktor dan keyakinan yang mengharuskan kami tetap melanjutkan ekspedisi tersebut.
Perjalanan dimulai dengan keberangkatan dari Bogor menuju ke Mataram. Tim siap diberangkatkan dengan segala kebutuhan yang telah disiapkan sesuai dengan Standard Operating Procedur (SOP). Setelah selesai melakukan check-in di bandara tim siap untuk melakukan penerbangan tetapi tiba-tiba maskapai penerbangan melakukan delay (penundaan) pesawat yang akan diberangkatkan ke bandara Selaparang, Mataram menjadi pukul 00.00 WIB. Alasan maskapai yaitu sedang melakukan pengecekan pesawat tetapi salah satu anggota tim menerima sms (pesan via mobile phone) dari orang tuanya yang mengatakan bahwa Bandara Selaparang pada saat itu sedang ditutup karena ada badai. Kami terpaku, terdiam, hanya berdoa dalam hati semoga perjalanan akan baik-baik saja dan pelaksanaan kegiatan akan berjalan lancar sesuai dengan harapan serta doa pada waktu upacara pelepasan tim di kampus IPB. Dua jam kemudian kami berangkat menuju Mataram. Suasana semakin mencekam ketika pramugari memberitahukan bahwa lampu tidak akan dimatikan selama penerbangan karena cuaca sedang tidak baik. Penumpang yang berada didepan, belakang, dan samping tidak henti-hentinya berdoa dengan mata mereka tertutup.
Sampai di bandara suasana hening sekali, kami pun bergegas menuju Universitas Mataram (Unram) sebagai tempat persinggahan sebelum melakukan pendakian. Kengerian bertambah ketika perjalanan menuju Unram, sepanjang perjalanan lampu-lampu penerangan diperkotaan padam disertai angin kencang. “iya neng, sudah tiga hari yang lalu disini sedang badai” kata supir taksi yang kami tumpangi. Sampai di Unram. Tidak tergugah niat kami untuk membatalkan ekspedisi ini, dari awal keberangkatan kami yakin badai pasti berlalu.
Rencana awal pendakian yaitu jalur Senaru – Puncak – Sembalun Lawang tetapi dirubah menjadi Sembalun Lawang – Puncak – Senaru karena ada beberapa pertimbangan. Perjalanan menuju Sembalun pun dimulai pada sore hari. Cuaca membaik setelah kedatangan kami. Hamparan indahnya lekukan pegunungan Rinjani terlihat jelas, awan pun tak berani untuk melewatinya. Tibanya di Sembalun suasana kembali menjadi gelap gulita disertai angin kencang. Kami melanjutkan menuju pos pendakian Sembalun. Angin kencang terus menerpa sampai merobohkan papan informasi di pos pendakian yang jatuh tepat di depan kendaraan yang kami tumpangi. Kemudian kami melakukan perbincangan mengenai perizinan pendakian, dan kami mendapatkannya. Tiba-tiba seorang laki-laki berlari-lari kecil menghampiri kami dan penjaga pos pendakian, sambil terengah-engah ia mengatakan “ jangan naik, saya baru saja turun dari pendakian dan tidak melanjutkan karena melihat mayat dengan letak tubuhnya tepat pada trek pendakian”. Kemudian penjaga pos pendakian tiba-tiba tidak membolehkan kami melakukan pendakian. Alasannya yaitu mereka tidak berani mengambil resiko dan tidak mau melakukan evakuasi korban karena tidak ada biaya dan menunggu bantuan dari badan SAR.
Suasana tersebut tidak menyurutkan semangat, malah semakin memperkuat keinginan kami untuk melakukan pendakian dan membantu untuk evakuasi korban. Tim tetap melakukan pendakian bukan karena nekat atau semacamnya, hal ini dilakukan karena beban moral yang kami tanggung sebagai pecinta alam dan rasa kemanusiaan yang ada dalam jiwa. Dalam hati bertanya “Tuhan, apakah ini jalan yang Kau berikan kepada kami agar kegiatan ini tetap terlaksana walau ditengah badai sekalipun?”. Malam sebelum pendakian hari pertama dimulai, kami mencari seorang porter (jasa angkut) untuk membawakan barang bawaan kameramen kami. Nihil. Kosong. Tidak ada seorang pun yang akan menemani pendakian kami. Semua takut akan badai. Banyak yang mengatakan bahwa kami tidak akan mencapai puncak dan akan terkena badai di pos 3 seperti beberapa pendaki sebelumnya. Kami pun tetap mencari, dan akhirnya kami bertemu seorang porter yang terbilang handal, bernama amaq Tutik, ia juga berpendapat sama seperti porter yang lainnya dan ia memutuskan hanya memakai sendal jepit dan bawaan seadanya.
Tiba hari pertama pendakian, pagi hari cuaca cerah, matahari menyapa kami di pos pendakian. Surat pernyataan pendakian pun dibuat. Berat rasanya menulis surat tersebut walau hanya dengan beberapa kata, surat itu menyatakan bahwa “ kami melakukan pendakian atas kesepakatan tim dansegala resiko yang terjadi selama pendakian menjadi tanggung jawab kami”. Perjalanan dimulai. Ditengah perjalanan kami bertemu dengan warga sembalun, mereka memberitahukan kepada kami bahwa mereka menemukan 3 (tiga) mayat dijalur menuju danau Segara Anak. Kami kaget! Tersentak! Kemudian kami segera menghubungi rekan Grahapala Rinjani (GPR) untuk memberitahukan informasi ini kepada badan SAR Lombok. Dalam hati “kalau hanya satu kami sanggup, kalau tiga mikir-mikir dulu deh”. Tidak ada yang menghubungi maka tenda pun didirikan di pos 3. Tak henti-hentinya kami memanjatkan doa dan syukur kepada Tuhan agar kami diberikan kemudahan dalam perjalanan ekspedisi.
Hari kedua pendakian. Melewati tanjakan setan membuat jantung membuka-mengatup lebih cepat. Telepon berdering. Mulai sibuk SAR Lombok Timur dan Wakapolres Sembalun menelepon untuk memastikan ada berapa mayat dan siapa yang melakukan pendakian. Mereka meminta identitas kami dan meminta kami mencari identitas para korban. Alhasil, kami lah ‘tim Xput Rinjani’ yang diberitakan meninggal dunia, berita pun tersebar di beberapa channel televisi dengan memajang foto kami dihalaman berita televisi. Semua orang panik. Berita pun meluas. Ternyata mayat tersebut berjumlah 7 orang laki-laki sama seperti jumlah tim Xput yaitu 7 orang perempuan. Entah kenapa berita menjadi terbalik. Evakuasi pun selesai dalam 1 malam 2 hari.
Pukul 09.00 WITA, 12 maret 2007, akhirnya kami tiba dipuncak Gunung Rinjani. Keajaiban dan pertolongan Tuhan pun terus diturunkan. Badai yang selalu dibicarakan sama sekali tidak kami rasakan. Cerah, secerah-cerahnya, tidak ada setetes hujan yang turun. Terangnya bulan membimbing kami hingga meraih puncak Rinjani yang luasnya hanya 2 m x 2 m. Joker alias Andi (GPR) dan amaq Tutik mengatakan “baru kali ini saya naik ke puncak rinjani mendapati terang bulan, beruntung sekali kalian”. Sesampainya di pos Plawangan Sembalun, kami dijemput beberapa polisi muda untuk segera turun, dikhawatirkan badai masih berlangsung. Benar, setelah kami sampai di pos pendakian Sembalun badai kembali menerpa pegunungan Rinjani dan pendakian pun benar-benar ditutup. Amaq Tutik tersenyum lebar atas semua kejadian ini, ia tidak menyangka semua akan baik-baik saja.
dalam Rangka Memperingati hari Perempuan Internasional dan hari Kartini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H