Mohon tunggu...
Azuzan JG
Azuzan JG Mohon Tunggu... Seniman - Azuzan JG

Azuzan JG adalah nama yang dikenal di lingkungan seni teater di Indonesia. Nama asli: Azwan Zulfan. Pendidikan terakhir Seni Peran dan Penyutradaraan di IKJ 1990. Aktif sebagai pengajar di Jurusan Teater IKJ 1990-2003. Salah seorang kreator dalam Asian Collaboration Theater Tokyo 2003-2005. Aktif menulis sejak masa kuliah. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media di Indonesia. Sejak tahun 2006 menetap di Gouda-Nederland. Tahun 2024 pindah ke kota Arnhem Nederland. Sebelum masa pandemi Covid 19, ia secara berkala kembali mengajar di jurusan teater IKJ, memberikan workshop teater, dan mengamati berbagai seni pertunjukan di Indonesia. Tahun 2013 studi Penyutradaraan dan Editing Film di Open Studio Amsterdam 2013, dan sebagai CEO di WVE FilmVideo Pro. Azuzan JG kini aktif bekerja sebagai pembuat filmvideo, copywriter, penulis lepas skenario, artikel, esei, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Anak Durhaka," Festival Teater yang Menggigit!

2 Februari 2022   00:22 Diperbarui: 9 Februari 2022   13:02 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh : Azuzan JG*

Frasa “anak durhaka” sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Itu sudah jadi ungkapan umum untuk menyebut perilaku anak yang ingkar pada orang tuanya. Frasa itu berasal dari sastra lisan turun temurun bersemayam di tubuh kebudayaan masyarakat berbagai daerah di Nusantara. Kisah Malin Kundang di Sumatera Barat, kisah Sampuraga di Kalimantan dan Tapanuli Selatan, cerita asal muasal Pulau Simardan di Tanjung Balai Asahan, adalah sebagian dari begitu banyak legenda bertema anak durhaka.

Legenda Anak Durhaka mengandung ajaran moral bagi masyarakatnya. Si anak durhaka akhirnya mendapat hukuman, dikutuk ibunya lalu menjelma jadi batu, jadi kolam mendidih, pulau, binatang, atau benda-benda alam lainnya. Pesan moral legenda itu, agar si anak jangan sekali-kali ingkar pada ibu kandung yang melahirkannya.

Meski banyak orang tidak percaya pada kebenaran legenda, tetapi melalui transformasi teks dan analogi-analogi, kita bisa menemukan fenomena anak durhaka telah lama hadir dalam berbagai versi di kehidupan nyata.

Ini salah satunya:

Dalam negara demokrasi, wakil rakyat dipilih oleh rakyatnya. Selanjutnya wakil rakyat  memilih pemimpinnya. Rakyat ibarat ibu, wakil rakyat dan pemimpin itu adalah anaknya. Sekarang kita lihat, betapa banyak anak (wakil rakyat, pemimpin) yang telah ingkar pada ibunya. Kita intip sekelumit fakta: 17 orang Kepala Daerah di wilayah Sumut terjerat korupsi *1  
14 orang Wakil Rakyat ditangkap KPK *2

Kenyataan itu mengerikan. Akhir kisahnya pun hampir mirip dengan yang terjadi dalam legenda. Si anak dikutuk oleh ibunya (rakyat) lalu digerebek KPK dan akhirnya meringkuk di penjara.

Fenomena anak durhaka terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Anehnya, sudah sering terjadi dan diberitakan namun seperti tidak menimbulkan efek jera. Itu mungkin dianggap pelakunya hanya terjadi di sana, di alam legenda.

Persoalan kehidupan yang tidak bisa disampaikan lagi melalui lembaga-lembaga, bisa diungkapkan di pentas teater. Perilaku korupsi diungkapkan Nikolai Gogol di Rusia melalui drama satir “Inspektur Jenderal” 1836. Hipokrisi pejabat publik diungkapkan Ibsen di Norwegia dalam “Musuh Masyarakat” 1882.  Penyakit sosial itu sudah biasa diungkapkan melalui pentas teater di berbagai negara sebagai kontrol sosial dan terapi bagi masyarakatnya. Bila fungsi vital teater itu tidak berjalan, teater terjerembab menjadi alat hiburan belaka.

Sangat menyedihkan kenyataan di masa represif dulu, teater bertema masalah sosial dibungkam. Dipandang sebagai kegiatan berbahaya yang bisa menggoyahkan stabilitas negara. Masih segar dalam ingatan kita tentang pelarangan pentas teater Rendra dan Teater Koma. Pelarangan pentas teater di masa itu menampakkan wajah sesungguhnya dari penguasa. Alergi terhadap kritik. Kita bersyukur masa itu sudah lewat. Persoalan berikut, bagaimana menjadikan pentas teater itu ada dan bisa menjalankan fungsi vitalnya.

Melalui tafsir secara kreatif, tema anak durhaka bisa meluas tidak sebatas drama rumah tangga. Alam yang di rusak oleh manusia, korupsi, manipulasi data, penggusuran tanah, kesewenang-wenangan aparat negara, ketidakpatuhan individu dan masyarakat terhadap hukum dan norma-norma, bisa berhubungan dengan tema anak durhaka. Tinggal mentafsir personifikasi siapa ibu dan siapa anaknya. Semua terserah pada kreativitas dan keberanian si senimannya. Festival teater bertema Anak Durhaka ini mengajak masyarakat agar kembali menghayati nilai-nilai luhur kebudayaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun