[caption id="attachment_381591" align="aligncenter" width="624" caption="KOMPAS / IWAN SETIYAWAN Buruh nelayan menyiapkan logistik di kapal, menunggu waktu berangkat melaut di Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta."][/caption]
Salah satu wilayah Indonesia yang rawan untuk melakukan tindakan kriminal dan pelanggaran perbatasan adalah wilayah Maluku. Provinsi Maluku dengan Ibu Kota Ambon, terletak pada 30Â - 8.300Â Lintang Selatan / Southern Latitude dan 125,45 0 - 1350 Bujur Timur / Eastern Longitude, dengan batasan sebagai berikut di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Australia, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah dan di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Papua.
Semasa Fadel Mohammad menjabat sebagai menteri di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Provinsi Maluku ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional 2030 sejak digelarnya Sail Banda 2010. Maluku yang merupakan kepulauan bahari terbesar di wilayah Nusantara memang layak dijadikan lumbung ikan nasional karena potensi perikanan yang luar biasa banyaknya disertai laut yang kaya dan masih terjaga dari campur tangan manusia. Daerah dengan potensi ikan di wilayah Maluku, yaitu Kepulauan Banda, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya. Sumber daya perairan Provinsi Maluku yakni 658.294,69 km2, dengan potensi sebagai berikut Laut Banda: 277.890 ton/tahun, Laut Arafura: 771.500 ton/tahun, Laut Seram: 590.640 ton/tahun.
Berbagai jenis ikan yang dapat ditangkap dan terdapat di Maluku antara lain: ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang, lobster, cumi. Sementara untuk potensi budi daya laut yang penyebarannya terdapat pada Laut Seram, Manipa, Buru, Kep. Kei, Kep. Aru, Yamdena, pulau pulau terselatan dan wetar adalah kakap putih, kerapu, rumput laut, tiram mutiara, teripang, lobster, dan kerang-kerangan. Untuk potensi budidaya payau adalah bandeng dan udang windu (sumber Wikipedia).
Melihat potensi besar yang dimiliki Maluku, sudah seharusnya masyarakat Maluku khususnya para nelayan memiliki kesejahteraan yang tinggi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir marak kasus pencurian ikan oleh nelayan ilegal dari negara asing di wilayah laut Maluku sehingga memberikan kerugian bagi Maluku untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut yang dimilikinya.
Salah satu nelayan ilegal yang ada di Maluku adalah nelayan asing asal negara Philipina di Desa Tial kec. Salahutu kab. Maluku Tengah. Alex, salah satu nelayan asal Provinsi Mindanao Philipina mengatakan bahwa di wilayah Maluku saat ini ada sekitar 30 orang nelayan asal Philipina, namun dia tidak mengetahui identitas. Mereka tersebar di beberapa tempat di antaranya Desa Passo Kec. Baguala Kota Ambon. Nelayan tersebut pada umumnya datang ke Maluku tidak dilengkapi dokumen resmi. Mereka datang pada saat musim angin barat untuk menangkap ikan jenis tuna. Setelah musim tersebut berlalu, para nelayan sebagian besar kembali atau meninggalkan Ambon. Tetapi ada juga yang tetap tinggal menunggu musim yang serupa tiba kembali.
Menurut Alex, bahwa dia dengan 2 orang temannya, Mario dan Win merupakan nelayan Philipina yang pertama sekali datang ke Desa Tial sejak 2010, kemudian semakin lama bertambah banyak. Para nelayan tersebut dipekerjakan oleh warga setempat yang memiliki perahu dengan sistim bagi hasil. Mereka tinggal di gubuk-gubuk yang disebut "camp" oleh warga setempat dan disediakan oleh warga yang mempekerjakan mereka. Mario bahkan menikah dengan warga Desa Tial setempat. Sementara Alex bersama istri asal Buton, Sultra dan 2 orang anaknya juga berdomisili di Desa Tial dan memiliki perahu sendiri dari hasil menangkap ikan. Alex berharap akan kembali ke negaranya apabila sudah mempunyai cukup uang.
Sementara itu, di Desa Passo Kec. Baguala Kota Ambon, juga ditemukan migrasi nelayan dari luar Maluku (Ambon) yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Ambon/Maluku yang bekerja sama dengan warga pemilik alat-alat penangkap ikan. Nelayan dimaksud merupakan warga asal Sangir (Sulawesi Utara) yang berdomisili di Davao (Filipina), sehingga masyarakat Ambon mengenal mereka dengan nama komunitas SAPI (Sangir Philipine). Terdapat sekitar 24 orang nelayan asing yang berada di wilayah Kota Ambon, di antaranya menetap di komplek pelabuhan speedboat Desa Passo Kec. Baguala Kota Ambon dengan menyewa kamar di rumah-rumah warga. Walaupun mereka berasal dari Philipina, mereka tidak tercatat sebagai warga negara Philipina dan berpotensi menyulitkan pihak Imigrasi Maluku dalam memulangkan kembali mereka.
Pihak-pihak terkait seperti Pemprov. Maluku, Pemkot Ambon, Pemkab. Malteng, Kantor Imigrasi, Dinas Perikanan Kota Ambon dan Kab. Malteng, serta Apkam perlu melakukan tindakan tegas terhadap nelayan ilegal tersebut, karena dikhawatirkan keberadaan nelayan asing tersebut akan meresahkan nelayan lokal, karena aktivitas mereka berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Di sisi lain keberadaan nelayan asal Philipina di wilayah Maluku, perlu mendapat atensi khusus oleh aparat keamanan, mengingat di wilayah Philipina (Minando) merupakan wilayah pergerakan Front Islam Garis Keras (MNLF) dan Maluku merupakan wilayah bekas konflik berbau SARA yang bisa saja dijadikan tempat penyebaran paham Islam garis keras ke Maluku termasuk pelatihan-pelatihan jihad yang dapat mengganggu stabilitas Polhukam di wilayah Maluku khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H