Mohon tunggu...
Azrul Afrillana Awaludin
Azrul Afrillana Awaludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga

Membaca, Menulis, dan Mewarnai

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Tambang bagi Ormas Keagamaan: Kepedulian atau Kepentingan?

8 Juni 2024   08:00 Diperbarui: 8 Juni 2024   08:18 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: JATAM KALTIM)

Baru-baru ini ramai polemik terkait pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyatakan dengan tegas akan memberikan konsensi batu bara yang cadangannya cukup besar kepada PBNU saat memberi kuliah umum pada Pembukaan Pra Kongres VIII BEM Perguruan Tinggi NU se-Nusantara di Universitas Islam As Syafi'iyah, Bekasi, dikutip Minggu (2/6/2024).

Pembagian izin tambang terhadap ormas keagamaan tersebut diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dasar pemerintah membagi izin tambang kepada ormas keagamaan adalah kepedulian supaya ormas keagamaan bisa mandiri. Namun, Agung Wardana pakar hukum lingkungan UGM mengatakan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk kedermawanan negara, melainkan sebagai bentuk respon terhadap krisis legitimasi industri ekstraktif di Indonesia. Pada kenyataannya, ini adalah suatu bentuk penjinakan saja.

Industri pertambangan tengah menghadapi krisis legitimasi yang serius dan sering kali ditentang oleh masyarakat akibat dampak destruktif yang dihasilkannya. Banyak komunitas di sekitar area pertambangan merasakan dampak negatif, mulai dari gangguan kesehatan, ketidakadilan sosial, hingga kerusakan lingkungan yang signifikan. Sementara itu, keuntungan besar dari industri ini cenderung hanya dinikmati oleh segelintir individu atau kelompok elit, meninggalkan mayoritas masyarakat untuk menanggung beban kerugian.

Kritik terhadap industri pertambangan semakin menguat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pencemaran air dan udara yang dihasilkan tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga mengancam kesehatan penduduk, terutama anak-anak dan orang tua yang rentan. Ketidakadilan juga tampak jelas dalam pembagian manfaat ekonomi; pendapatan dari pertambangan sering kali tidak dialokasikan kembali untuk kesejahteraan masyarakat setempat, melainkan mengalir ke kantong para pemilik modal dan pejabat yang korup.

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, seperti deforestasi dan pencemaran sungai, tidak hanya merugikan masyarakat saat ini, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup generasi mendatang. Kerugian ekologis ini seringkali tidak dapat dipulihkan, meninggalkan warisan kehancuran bagi wilayah yang dulu subur dan kaya akan keanekaragaman hayati.

Dengan memberikan konsesi pertambangan kepada ormas keagamaan, diharapkan krisis legitimasi industri ini dapat diperbaiki. Ormas keagamaan diharapkan menjadi pelindung bagi industri pertambangan dari penentangan masyarakat. Kebijakan ini berpotensi mengubah konflik tambang yang awalnya bersifat struktural menjadi konflik horizontal antar umat. Kebijakan ini juga tampaknya hanya sebagai kedok, mengingat ormas keagamaan tidak memiliki kapabilitas dalam mengelola pertambangan. Bukankah agama mengajarkan bahwa jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya maka tunggu kehancurannya? Ujung-ujungnya ormas keagamaan menggandeng para pemilik modal untuk mengelola tambang dan golongan itu-itu saja yang diuntungkan.

Selain merusak lingkungan, kebijakan ini juga berpotensi memicu konflik internal di dalam ormas. Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional, khawatir bahwa kebijakan ini akan memperbanyak permusuhan di antara elite ormas. Ketegangan ini bisa timbul dari perebutan kekuasaan dan keuntungan yang dihasilkan oleh konsesi pertambangan. Mengingat industri ini sangat menggiurkan Dengan demikian, bukan hanya masyarakat luas yang dirugikan, tetapi juga kestabilan internal ormas itu sendiri bisa terancam.

Cukup menyedihkan jika ormas keagamaan yang seharusnya aktif mengkritik industri ekstraktif malah terlibat menjadi pemain aktif. Agama yang gencar menyerukan etika akan kehilangan legitimasinya jika ikut menjadi aktor dalam pengrusakan. Diskusi tentang fikih lingkungan dan fikih energi terbarukan akan menjadi bahan tertawaan. Ajaran agama yang berorientasi pada kemaslahatan sudah tidak relevan jika agama turut andil pada industri yang banyak ditentang karena ketidakadilan. Nilai-nilai ajaran agama akan menjadi runtuh seketika karena ulah oknum yang serakah.

Di tengah maraknya kampanye ekonomi Islam, banyak kampus membuka program studi ekonomi Islam. Namun, perjuangan mendakwahkan ekonomi Islam semakin sulit karena mata kuliah terkait etika hanya akan berakhir sebagai diskusi di ruang kelas. Ironisnya, dalam praktiknya, para agamawan malah terlibat dalam industri yang jauh dari nilai dasar agama, yaitu keadilan. Ketidaksesuaian antara teori dan praktik ini merusak kredibilitas ekonomi Islam dan menghambat upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial secara nyata.

Jika alasan pemerintah adalah kepedulian terhadap ormas keagamaan, tidak perlu mendorong mereka untuk terlibat dalam aktivitas merusak. Pemerintah bisa membuat kebijakan lain yang lebih bermanfaat, seperti pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk lembaga pendidikan yang dikelola oleh ormas keagamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun