PENDIDIKAN BUKAN AJANG MERAUP KEUNTUNGAN
Oleh Mochamad Azriel Saliqin
Pendidikan adalah ajang untuk memajukan kualitas generasi penerus
bangsa, bukan semata-mata sebagai ajang untuk meraup keuntungan oleh salah satu
pihak, tetapi kenyataanya di Indonesia pendidikan hanya menjadi wadah bagi
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk dijadikan mesin pencetak uang
atau bisa kita bilang korupsi, jika kita lihat data yang saya dapat dari Indonesia
Corruption Watch (ICW) "Setidaknya dari 2016 hingga 2021, sektor pendidikan
masuk dalam lima besar korupsi berdasarkan sektor, meskipun terdapat tindakan
dari Aparat Penegak Hukum (APH), tetap saja data tersebut menunjukkan bahwa
sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi. Korupsi ini mencakup tenaga
pendidik hingga kepala daerah, terdapat 240 kasus korupsi yang ditindak oleh
Aparat Penegak Hukum (APH) sepanjang 2016 hingga 2021 dan menimbulkan
kerugian negara sebesar Rp 1,6 triliun", belum lagi yang masih ada diluar sana yang
tidak tercatat dan ditindaklanjuti, urgensi dari fenomena ini sangatlah genting,
karena jika terus dibiarkan maka hal ini akan menjadi kebiasaan dan dinggap
maklum hingga yang paling parah menjadi budaya.
Dampak dari banyaknya kasus korupsi di sektor pendidikan ini membuat
kegagalan pemerataan pendidikan di Indonesia. Mengapa demikian? karena dana
yang seharusnya disalurkan keseluruh wilayah bagian di Indonesia (SD, SMP, SMA,Â
hingga perguruan tinggi negeri) tidak dapat terpenuhi, dikarenakan orang-
orang yang tidak bertanggung jawab yang mementingkan kepentingan dirinya
sendiri tanpa memikirkan orang yang menjadi penyebabnya, ditambah faktor
geografis Indonesia yang sulit untuk dijangkau seluruh bagian Indonesia, dan juga
faktor lainnya yang menghambat jalannya pemerataan pendidikan. Dari sekian
banyak pelaku korupsi, yang mendominasi terjadinya kasus ini berasal dari
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dapat kita lihat dari data yang saya kutip dari
Indonesia Corruption Watch "Kasus korupsi pendidikan yang ditindak APH pada
2016-September 2021 ini melibatkan 621 tersangka. Dilihat dari latar belakangnya,
tersangka didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pendidikan dan
instansi lain (di luar ASN di sekolah), yaitu sebanyak 288 atau 46,3%. Secara lebih
rinci, ASN yang dimaksud merupakan ASN Staf di Dinas Pendidikan (160
tersangka); ASN instansi lain seperti kementerian, Dinas Sosial, Dinas Syariat
Islam, Dinas Komunikasi dan Informasi, dll (84 tersangka); dan Kepala Dinas
Pendidikan (44 tersangka)".
Kasus korupsi yang dilakukan oleh tenaga pendidik hingga kepala daerah
yang akhir-akhir ini terdengar seperti penjualan paksa buku ajaran yang dijual oleh
guru/dosen kepada siswanya dengan ancaman tidak akan diberi nilai atau berupa
pengacuhan terhadap siswa yang tidak mau membeli buku yang dijualnya,
sedangkan oleh kepala daerah yaitu korupsi dana yang akan disalurkan ke salah satu
sekolah untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Jika terus dibiarkan kasus-kasus
seperti ini akan menjamur dan mungkin akan menjadi budaya karena kurangnya
tegasnya tindakan dari pemerintah dan juga Aparat Penegak Hukum (APH), maka
dari itu dibutuhkan ketegasan dari pemerintah beserta Aparat Penegak Hukum
(APH) juga kesadaran dari tenaga pendidik dan pelaku pendidikan lainnya. Kita,
terutama saya sebagai mahasiswa juga tidak bisa diam saja membiarkan hal tersebut
terus terjadi, cobalah untuk tidak memaklumi sedikitpun pelaku penyalahgunaan
pendidikan mulai dari hal sekecil apapun, contohnya pemungutan uang secara
paksa untuk membeli barang yang tidak jelas alasannya untuk apa, seperti yang
sudah saya sebutkan yaitu buku.
Sebagai mahasiswa yang juga merasakan dampak dari Pendidikan, saya
merasa Pendidikan di Indonesia ini hanyalah menjadi ajang bagi orang-orang yang
tidak bertanggungjawab sebagai mesin pencetak uang dan menjadi ladang korupsi
yang dilakukan oleh tenaga pendidik hingga petugas pemerintahan, karena sudah
banyak juga fakta-fakta yang bertebaran mengenai maraknya kasus korupsi di
bidang pendidikan ini yang seringkali terulang dengan kasus yang tidak jauh beda.
Berdasarkan data yang saya kutip dari Indonesia Corruption Watch "Korupsi
terbanyak yaitu korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang/ jasa non
infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK
untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan
lainnya. Pengadaan yang dikorupsi ini berasal dari beragam program dan sumber
anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran
Kemendikbud, anggaran Kemenag, dan APBD. Sebagian diduga bersumber dari
DAK, sebab terdapat kasus-kasus yang tidak disebutkan dengan jelas sumber
anggarannya. Sedangkan kasus yang dapat diidentifikasi bersumber dari DAK
berjumlah 34 kasus", hal tersebut membuktikan bahwa kinerja pemerintahan masih
belum baik dalam membuat sistem pendidikan, karena masih terdapat celah untuk
melakukan korupsi pada hal yang disebutkan data di atas.
Selain dari petugas pemerintahan, pihak sekolah juga turut menyumbang
kasus korupsi terbanyak kedua setelah Aparatur Sipil Negara (ASN) hal tersebut
dapat diyakini kebenarannya berdasarkan data yang dikutip dari Indonesia
Corruption Watch "Tersangka terbanyak kedua berasal dari pihak sekolah, yaitu
157 tersangka atau 25,3% dari total tersangka. Kepala dan wakil kepala sekolah
adalah pihak sekolah yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (91 orang)
dan disusul pihak lain seperti guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis
kegiatan (36 orang), serta staf keuangan atau bendahara sekolah (31 orang)". Data
ini menunjukkan fakta bahwa korupsi pendidikan juga banyak terjadi di sekolah,
tempat peserta didik menuntut ilmu yang seharusnya mengajarkan sekaligus
mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan tapi malah
menyeleweng tanpa ada pertanggungjawaban.
Pada hakikatnya, semua akan kembali kepada diri masing-masing dalam
bertanggungjawab atas perbuatannya, tetapi dalam hal ini pasti ada faktor eksternal
yang menjadi pemicu marak terjadinya kasus korupsi ini, diantaranya adalah
keluarga yang menuntut kebutuhan, lingkungan kerja, hingga tekanan pekerjaan.
Tetapi tetap saja semua hal itu tidak dibenarkan, karena korupsi tetaplah korupsi
yang merugikan banyak pihak terutama siswa yang tidak bisa sekolah karena
ketidakmampuan untuk membayar biaya sekolah, mereka yang seharusnya
mendapatkan dana BOS atau bantuan lainnya yang berasal dari pemerintah tetapi
haknya direnggut oleh orang yang tidak bertanggungjawab, pemerintah juga sangat
kurang dalam menangani hal ini.
Kasus pihak sekolah atau dalam lingkup saya yaitu pihak unversitas karena
saya adalah mahasiswa, pihak universitas juga seringkali menjadikan pendidikan
sebagai ajang untuk meraup keuntungan, sebagai contoh di universitas saya,
fasilitas yang kurang memadai tidak sebanding dengan biaya UKT yang dibayarkan
sangatlah menjadi keresahan saya sampai saat ini, karena pihak universitas yang
lebih mementingkan kampus utamanya dan menomor duakan kampus daerahnya
dengan biaya UKT yang dipukul rata antara kampus utama dan daerah, tetapi
dengan fasilitas yang sangat jomplang bahkan jauh dari kata sebanding. tetapi
dalam hal ini saya tidak membahas konteks tersebut.
Pendidikan seharusnya menjadi hak semua orang, baik itu dari kalangan
bawah, menengah, maupun atas, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bisa
berguna untuk keberlangsungan hidup seseorang. Pendidikan juga menjadi salah
satu indikator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. Suatu masyarakat dengan
tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan juga memiliki kualitas hidup yang tinggi
sehingga kesejahteraan dapat tercapai. Jika kita lihat di Indonesia, masih banyak
anak-anak yang putus sekolah dikarenakan ketidakmampuan orangtuanya untuk
membiayai pendidikan anaknya, hal ini sangat membuka pemikiran saya mengenai
mirisnya sistem pendidikan di Indonesia, saya yang sekolah dari sekolah dasar
hingga sekarang sebagai mahasiswa merasakan bagaimana orangtua saya berjuang
untuk membiayai pendidikan saya, dan memang sistem pendidikan di Indonesia itu
lebih memandang kepada orang yang lebih kaya, dan yang miskin mungkin hanya
akan melalui pendidikan sampai tingkat SMA atau bahkan SD karena tidak mampu
lagi untuk membiayai ke tingkat yang lebih tinggi.
Maka dari itu, kesimpulannya adalah pendidikan bukanlah ajang untuk
meraup keuntungan, bukan juga ajang untuk melihat mana yang lebih pantas
mendapatkan pendidikan, pendidikan itu seharusnya menjadi hak semua orang
tanpa memandang status sosial dan untuk orang-orang yang tidak
bertanggungjawab memanfaatkan pendidikan untuk kepentingan pribadi atau
kelompok sudah sepantasnya mendapatkan balasan dari perbuatannya, mau itu
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukannya atau pihak sekolah/universitas
sudah seharusnya tidak melakukan tindak korupsi karena hal ini sangat merugikan
bagi banyak orang bahkan negara kita, karena jika pendidikan itu tidak berjalan
dengan baik di suatu negara, maka generasi penerus yang akan memimpin bangsa
ini bangsa Indonesia akan berkurang dan yang parahnya akan menghancurkan
bangsa, apalagi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi di tahun 2045, akan
jadi apa bangsa ini jika generasi penerusnya tidak mendapatkan pendidikan yang
layak, apakah bangsa ini bisa bertahan dalam menghadapi generasi penerusnya
yang hanya menjadi beban dan bukan menjadi keuntungan.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah menata ulang sistem pendidikan di
Indonesia ini menjadi yang lebih baik lagi agar tidak ada celah atau kesempatan
bagi orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindak korupsi dan
tindak kejahatan lainnya. Pemerintah juga seharusnya mempertegas peraturan dan
tidak memberi toleransi terhadap pelaku tindak korupsi agar pelaku jera dan tidak
mau mengulanginya lagi juga mencegah orang yang akan melakukan Tindakan
tersebut. Kita juga sebagai pemegang kendali atas diri kita sendiri harus bisa
mengontrol diri kita agar tidak terjerumus dalam tindak korupsi mau itu dalam
lingkup pendidikan ataupun secara umum, kita juga sadar tidak dapat dipungkiri
jika dalam hal ini pastinya terdapat faktor eksternal yang ikut andil dalam terjadinya
hal-hal seperti yang sudah saya sebutkan. Faktor ekesternal memang tidak bisa kita
hindari tetapi setidaknya kita yang bisa mengontrol diri kita untuk tidak melakukan
hal-hal yang akan merugikan banyak orang, maka dari itu kita sebagai manusia bisa
saling mengingatkan satu sama lain untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Jadi, saya mengajak kepada pemerintah dan semua orang yang terlibat
dalam bidang pendidikan, mari kita buktikan bahwa generasi penerus bangsa bisa
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bangsa yang hebat, dan bangsa
yang kuat. Mari kita kesampingkan kepentingan pribadi kita terlebih dahulu untuk
mengantarkan generasi penerus ini kedepan pintu kesuksesan, barulah semua orang
akan mendapatkan kesejahteraan dan semua akan menikmati hasilnya bersama-
sama menjadi bangsa yang sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H