Mohon tunggu...
Azriana Muthia Shuhada
Azriana Muthia Shuhada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Guru Sekolah Dasar S1

Hobi membaca dan menari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahasa Indonesia: Terpinggirkan oleh "Viral" dan "Content Creator"

19 November 2024   08:51 Diperbarui: 9 Desember 2024   11:52 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
leonardo.ai/image-generation

      Di zaman serba digital ini, tampaknya anak muda kita lebih terpukau pada kata-kata asing dibandingkan bahasa ibu mereka. Tak heran jika di kafe atau media sosial, percakapan mereka terdengar lebih mirip iklan internasional dibandingkan obrolan biasa. Siapa yang butuh “pembuat konten” kalau bisa memakai “content creator”? Ah, bahasa Indonesia—suara dan identitas yang mulai berbisik pelan-pelan, tertinggal di sudut-sudut ruang kelas yang jarang kita perhatikan.      

Media sosial seperti ruang sidang tak resmi yang memuja istilah asing. Lihat saja, “viral” ada di mana-mana! Sementara “terkenal” hanya bisa meratapi nasibnya sendirian di pojok. Masuk ke dunia kerja? Lupakan saja! Di sana, “deadline” adalah lambang profesionalisme, sedangkan “batas waktu” dianggap jadul. Kita semua tahu, siapa sih yang mau terdengar kuno?      Belum lagi budaya pop yang membentuk gaya bahasa kita. Siapa yang masih mau “menggeser” layar ponsel ketika “scrolling” terdengar lebih gaul? Seolah-olah kita semua sedang berlomba-lomba jadi influencer, padahal kekayaan kosakata bahasa kita sendiri malah diabaikan. Ironis? Tentu saja.      

Namun, di tengah kegandrungan pada istilah asing, ada satu fakta menarik yang mungkin luput dari perhatian: Bahasa Indonesia telah diakui sebagai bahasa internasional oleh UNESCO. Ya, bayangkan, di antara ribuan bahasa yang eksis di dunia, bahasa kita mendapat pengakuan. Ternyata, bukan hanya kita yang menyadari betapa pentingnya bahasa ini; dunia pun ikut menghargainya. Jika dunia saja menganggap bahasa Indonesia berharga, kenapa kita malah berlomba-lomba menggantinya dengan istilah yang bahkan tak punya akar budaya di sini?

     Apakah bahasa sekarang hanya sekadar “aksesori” untuk terlihat keren? Ataukah ia adalah cerminan jati diri kita yang sebenarnya? Bahasa kita seharusnya lebih dari sekadar alat untuk ikut-ikutan tren, tetapi merupakan bagian penting dari siapa kita. Kalau kita saja tidak percaya pada bahasa kita, bagaimana bisa kita bangga pada diri sendiri?

     Lalu, kemana larinya kebanggaan lokal kita? Bukankah bangsa kita kaya budaya, bahasa, dan keindahan lokal yang tak tertandingi? Ironisnya, kebanggaan ini justru lebih sering diabaikan dan ditinggalkan, demi apa yang dianggap “modern” dan “kekinian.” Bahasa asing yang dianggap lebih gaul, padahal justru perlahan-lahan menggeser ruang untuk bahasa kita sendiri.
Mengapa tidak mencoba memakai bahasa Indonesia di platform global? Bayangkan kalau setiap caption atau konten yang kita buat berbahasa Indonesia, setidaknya kita ikut serta memperkenalkannya pada dunia. Langkah kecil ini, meski sederhana, justru dapat memperkenalkan bahasa kita ke audiens internasional. Di tengah lautan konten berbahasa asing, bahasa Indonesia bisa tampil berbeda—seperti suara yang unik dan khas.

     Dan, tidak ada salahnya juga kita mulai membentuk komunitas yang menjaga bahasa. Mungkin dengan grup obrolan atau komunitas kecil di media sosial, di mana setiap anggotanya berdedikasi untuk membiasakan diri memakai bahasa Indonesia. Dengan dukungan komunitas, kebiasaan ini akan terasa lebih mudah dijalani dan menjadi bagian keseharian kita. Apa yang lebih indah dari komunitas yang memperjuangkan bahasa dan identitas bersama?

     Sebagai bangsa yang kaya dengan keberagaman, kita juga bisa merenungkan kembali—bahasa mana yang sebenarnya perlu kita peluk? Bahasa asing yang gemerlap, atau bahasa lokal yang kaya akan sejarah dan budaya? Menggunakan bahasa asing terlalu sering mungkin bukan hanya mengikis bahasa Indonesia, tetapi juga melemahkan keberadaan bahasa daerah kita. Padahal, dalam tiap kata bahasa Indonesia dan bahasa daerah tersimpan identitas, sejarah, dan jiwa bangsa yang tak tergantikan.

      Pendidikan pun bisa menjadi katalis yang kuat bagi bahasa. Bayangkan jika sekolah dan universitas mengajarkan bahasa Indonesia bukan sekadar pelajaran wajib, tetapi sebagai bagian dari budaya dan warisan yang patut dibanggakan. Dengan pengakuan UNESCO, bahasa Indonesia seharusnya diajarkan bukan hanya untuk digunakan secara formal, tetapi juga sebagai sesuatu yang layak dibanggakan di panggung dunia.

       Kita perlu ingat, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga jati diri. Menggunakan bahasa Indonesia adalah cara untuk mengingatkan diri bahwa kita punya identitas unik. Jadi, kenapa tidak mulai sekarang kita coba mengganti satu kata asing dengan padanannya dalam bahasa Indonesia? Hal kecil yang mungkin bisa memicu perubahan besar dalam menghidupkan kembali bahasa kita. Coba bayangkan, satu langkah kecil dari setiap orang bisa menjadi gelombang yang menyelamatkan bahasa kita dari kepunahan.

       Mari kita rawat bahasa Indonesia agar tidak sekadar jadi sejarah. Kita bisa mulai dengan memupuk “cinta” terhadap bahasa kita sendiri. Jika tidak, kita hanya tinggal menunggu waktu sebelum bahasa kita menghilang, persis seperti meme viral yang cepat terlupakan. Sebelum terlambat, tunjukkan rasa bangga dan jati diri kita. Bukan untuk orang lain, tapi demi bahasa kita sendiri—bahasa yang semestinya tetap hidup, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

#Dosen Dr. Drs. EKO KUNTARTO M. Pd. M.Comp.Eng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun