[caption id="attachment_166268" align="alignleft" width="300" caption="makna politik hari ini tidak hanya bergeser, namun berganti, ada degradasi disana.. nurani.com ilustrated"][/caption] Konteks Indonesia, ekonomi, keamanan, ketahanan hingga sosio-budaya telah terkooptasi dengan momment pencitraan. Seringkali lontaran negatif muncul terhadap dialektika politisi negeri ini, lantaran kejenuhan masyarakat dewasa kini. Ada persoalan mendasar yang makin mengakar pada memori politisi, dan itu tertuang dalam perilaku politik masakini. Hanya ada dua kemungkinan di tiap-tiap tindak-tanduk politik nasional maupun lokal. yakni, citra atau formalitas. Citra untuk membangkitkan gairah popularitas, dan formalitas karena dipaksa regulasi atau sekedar berkinerja. Radiasi Politik Citra Bagi Pembangunan Media, boleh jadi satu-satunya faktor penentu pembangunan nasional, apakah pembangunan itu berjalan dengan dukungan penuh rakyat, atau sebaliknya, politisi bahkan penyelenggara negara di caci maki lantaran suara media. Daghler, dalam makalahnya berjudul "the Political Mess up" mengungkap banyak ruang-ruang berbahaya saat membincnag media dan citra politik. Keduanya bersinergi, dan keduanya mengkristal dalam perilaku politisi, sehingga semua hal yang berhubungan dengan kebijakan, regulasi pro rakyat dan kinerja untuk kesejahteraan rakyat menjadi bagian dari citra, kita terima atau tidak, kenyataannya demikian. Lebih lanjut, Indonesia hari ini benar-benar menghilangkan batas-batas media dan pemerintahan, sehingga semua hal yang tidak seharusnya di kabarkan menjadi kabar penting bagi media, dan juga seringkali media memberitakan sesuatu yang berbumbu, jika tidak ada bumbu, mana enak, begitu kira-kira dialognya. Penulis dalam hal ini tidak anti terhadap media, namun sedikit ideologi masih tetap mendampingi argumentasi penulis. Bayangkan, sejak sistem pemilihan umu berganti di masa reformasi, politisi tidak lagi bergelut pada proporsi partai politik, namun kompetisi priobadi menjadi kental dan kuat. Apa pasal? karena pemilihan langsung mengharuskan keterpilihan indiovidu, sehingga citra adalah pilihan terbaik. Degradasi politik bisa saja tidak pernah ada, karenma politik sejak kemunculannya tersetting demikian buruknya, kekuasaan dan kekuasaan. Namun tidak bagi penulis, politik pada masa pertumbuhannya adalah baik, strategi untuk pengelolaan isu, negara, kepemimpinan untuk keperluan bersama (Commons need). Hari ini, politik lebih kental dengan kekuasaan, hasilnya saling menjatuhkan, saling mencaci dan menciptakan kepura-puraan. Sedikit misal, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang sedang di bahas adalah keputusan politik, sehingga muncul kompensasi bantuan langsung tunai (BLT), padahal itu bukan sebuah kebutuhan bersama. Disinilah poin utamanya, selama citra menjadi kerajaan absolut politik, maka selama itu pula kinerja pemerintahan dan politisi selalu bernuansa citra, bukan karena tanggung jawab moral sebagai politisi. namun demi meraih simpati pemilih. dan itu menyedihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H