Mohon tunggu...
DEDI KURNIA SYAH | AZRA
DEDI KURNIA SYAH | AZRA Mohon Tunggu... profesional -

Telah menulis setidaknya lebih dari 5 buku bertema Komunikasi, Politik dan Demokrasi. Saat ini sedang menyelesaikan studi Doktoral di Universitas Sahid Jakarta.\r\n\r\nPhone: 085691036450 BBM: 7DF132BB

Selanjutnya

Tutup

Politik

Urgensi Pendidikan Demokrasi

18 September 2013   09:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:44 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13794716901838003055

[caption id="attachment_279597" align="alignleft" width="395" caption="Demokrasi bukan sekedar memilih dan di pilih, tetapi juga persoalan pertanggung-jawaban pemilihan."][/caption]

Tulisan ini pernah di muat di HU Tangsel Pos.[]

Federasi terbaik dalam suatu pemerintahan adalah adanya satu orang penguasa, sebuah kerajaan monarki dapat pula menjadi demokrasi ketika rakyatnya menghendaki kepemipinan sang raja. Negara demokrasi tidak selalu berimplikasi pada pemilihan pemimpin (pemilu), raja yang dikehendaki oleh rakyat dan rakyat memiliki hak (menentukan) atas pemimpinnya adalah demokrasi dalam monarki, dan itu adalah baik (St. Thomas Aquinas, Commentaries on the Ethic and Politics of Ariestotle).

Keberagaman Indonesia

Perbincangan mengenai demokrasi dan politik di Indonesia menuju titik jenuh, kolaborasi antara wawasan dan kebebasan berpendapat menjadikan iklim demokrasi Indonesia terlalu lepas dan bebas. Namun kebebasan tersebut tidak bersanding dengan laju kesadaran politik yang sehat dan membangun. Tidak mengherankan jika kemudian bangsa besar ini sering sekali menemui wakilnya dalam keadaan kritis, berbicara lantang namun bukan pemenuhan terhadap kepentingan rakyat, kritis menjadi wilayah perdebatan tanpa solusi, dan lantang berbicara menjadi ajang kontes identitas wakil rakyat. Karena pemahaman mereka (wakil rakyat), berbicara lantang adalah simbol keberanian dalam menyampaikan aspirasi, menjadi pertanyaan besar adalah aspirasi siapa yang mereka perjuangkan, rakyat atau pribadi?

Pekan ini, bangsa kita diselimuti berbagai tiupan informasi dan wacana, mulai dari perdebatan identitas Daerah Istimewa Aceh, atau kini lebih populer Nanggroe Aceh Darussaalam (NAD) yang ingin mengibarkan bendera keistimewaan serta lambang provinsi, serta berbagai isu perihal Rancangan Undang-undang Ormas, Santet bahkan Kumpul Kebo. Terlebih masih hangat diperbincangkan mengenai terpilihnya Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.

Informasi yang demikian terbuka, serta kebebasan dalam menentukan merupakan hak individu dalam naungan demokrasi. Seorang Presiden sekalipun berhak menyandang berbagai jabatan tanpa harus melihat banyak sisi. Begitupula dengan ide pencetusan lambang Provinsi dan Bendera di Aceh merupakan bagian dari kebebasan berdemokrasi. Seyogyanya, demokrasi sebagai sistem politik suatu Negara menjamin terjadinya rotasi kenegaraan yang saling terkait, dan hal tersebut menjadi indikasi bahwa sistem harus menyatu, kompak, dan berporos pada persatuan.

Kebebasan yang tidak terbatas, adalah sisi lain dari pemaknaan yang cacat, jika demikian maka timbul perpecahan, dan hal tersebut bertentangan dengan demokrasi itu sendiri yang memberikan keteladanan saling menghargai dan menghormati perbedaan, termasuk menjaga kepercayaan rakyat, mendengarkan suara minoritas serta tidak angkuh dengan mayoritas. Apalagi, dominasi makna demokrasi merupakan pengejawantahan kekuasaan yang berafiliasi pada rakyat. jadi, tidak bijak sekiranya penguasa memaksakan kehendak tanpa melalui persetujuan rakyat.

Urgensi Demokrasi

Definisi paling murni dan klasik setidaknya mengartikan demokrasi dengan “kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat”. Pemaknaan tersebut merujuk pada istilah Latin Demos yang diartikan dengan rakyat, dan Cratius atau Cratos yang berarti pemerintahan. Jika merujuk dalam tatanan bahasa Negara lain, maka Demos setara dengan People di Inggris dan Rakyat di Indonesia.

Merujuk pandangan Politicolog (pakar ilmu politik), perumusan khazanah kebebasan berpendapat, membuka ruang lebar bagi masuknya ide-ide berpikir setiap warga Negara. Sehingga kebebasan dianggap hal mutlak dalam etik demokrasi. Di Indonesia sendiri, dengan kultur budaya yang khas, terbuka dan berbasis kekeluargaan, demokrasi masuk tanpa melalui perlawanan, bahkan dianggap sebagai sistem rakyat. Sehingga di negeri ini implementasi demokrasi begitu kentara, banyaknya partai politik, kebebasan berserikat, berpendapat, termasuk lahirnya desentralisasi yang menghasilkan ide pembuatan bendera dan Lambang daerah seperti di Aceh.

Kondisi demikian tidak luput dari alinea kultur demokrasi dan kebebasan informasi. Secara berturut menghasilkan kebebasan berpendapat (freedom of expression) dan kebebasan pers (freedom of the press), kesemuanya dalam balutan Hak Azasi Manusia (HAM). Demokrasi, dalam rujukan kajian politik disebut sebagai sistem politik dan juga budaya politik suatu Negara. Faktanya, seringkali demokrasi diganakan untuk dalih pembenaran tiap-tiap kehendak kelompok tanpa harus memberi ruang kelompok lain.

Bermula dari asumsi demikian, maka bangsa ini memerlukan pendidikan demokrasi yang memadai, sehingga memberikan pemahaman yang benar terkait hakikat demokrasi. Sejarah demokrasi diawali dari pidato Pericles di hadapan masyarakat Athena pada masa Yunani klasik sebelum masehi. Sedikitnya, catatan sejarah memberikan gambaran umum tentang perkembangan Demokrasi, dimulai dari beribu tahun lalu hingga kini terdapat 550 definisi demokrasi.

Kesimpulan sementara memberikan gambaran singkat, bahwa demokrasi merupakan solusi bagi keterlibatan rakyat terhadap prosesi ditiap-tiap keputusan penting suatu Negara. Di mana keputusan itu merujuk pada kepentingan dan kebutuhan mayoritas penduduk suatu Negara.

Meskipun merumpun pada sistem yang sama, namun penerapan demokrasi sendiri berbeda di setiap Negara. Indonesia, dengan kultur dan segala bentuk kesatuannya memiliki perbedaan praktik demokrasi dengan Negara lain yang juga menganut sistem yang sama. Dengan asumsi tersebut setidaknya diperlukan persamaan persepsi terkait demokrasi itu sendiri, konsep dan sitem yang seharusnya berlaku sudah pada jalur yang benar, pengaturan terkait kehidupan berbangsa secara jelas termaktup dalam symposium demokrasi, hanya saja pada titian praktik bisa saja terjadi distorsi.

Bentuk upaya yang melahirkan makna demokrasi sebagai kebebasan terbuka, transparansi tanpa batas, juga mengejawantahkan asumsi kekuasaan rakyat dengan melimpahkan segala indikasi keputusan melalui suara rakyat, merupakan pemiskinan rasionalitas yang dibawa dari Barat, dan ironinya hal tersebut tidak terjadi di Barat sendiri. Sebagai contoh, dalam memilih pemimpin di dalam Negara demokrasi, rakyat dilibatkan secara keseluruhan, di Amerika Serikat sendiri sistem seperti tidak sepenuhnya digunakanm, akan tetapi menggunakan kemenangan distrik atau Negara bagian. Sehingga yang terjadi adalah pengambilan keputusan secara kolektif distrik, bukan kolektif universal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun