Mohon tunggu...
DEDI KURNIA SYAH | AZRA
DEDI KURNIA SYAH | AZRA Mohon Tunggu... profesional -

Telah menulis setidaknya lebih dari 5 buku bertema Komunikasi, Politik dan Demokrasi. Saat ini sedang menyelesaikan studi Doktoral di Universitas Sahid Jakarta.\r\n\r\nPhone: 085691036450 BBM: 7DF132BB

Selanjutnya

Tutup

Politik

Degradasi Politik Citra

2 Maret 2012   11:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:37 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_166268" align="alignleft" width="300" caption="makna politik hari ini tidak hanya bergeser, namun berganti, ada degradasi disana.. nurani.com ilustrated"][/caption] Konteks Indonesia, ekonomi, keamanan, ketahanan hingga sosio-budaya telah terkooptasi dengan momment pencitraan. Seringkali lontaran negatif muncul terhadap dialektika politisi negeri ini, lantaran kejenuhan masyarakat dewasa kini. Ada persoalan mendasar yang makin mengakar pada memori politisi, dan itu tertuang dalam perilaku politik masakini. Hanya ada dua kemungkinan di tiap-tiap tindak-tanduk politik nasional maupun lokal. yakni, citra atau formalitas. Citra untuk membangkitkan gairah popularitas, dan formalitas karena dipaksa regulasi atau sekedar berkinerja. Radiasi Politik Citra Bagi Pembangunan Media, boleh jadi satu-satunya faktor penentu pembangunan nasional, apakah pembangunan itu berjalan dengan dukungan penuh rakyat, atau sebaliknya, politisi bahkan penyelenggara negara di caci maki lantaran suara media. Daghler, dalam makalahnya berjudul "the Political Mess up" mengungkap banyak ruang-ruang berbahaya saat membincnag media dan citra politik. Keduanya bersinergi, dan keduanya mengkristal dalam perilaku politisi, sehingga semua hal yang berhubungan dengan kebijakan, regulasi pro rakyat dan kinerja untuk kesejahteraan rakyat menjadi bagian dari citra, kita terima atau tidak, kenyataannya demikian. Lebih lanjut, Indonesia hari ini benar-benar menghilangkan batas-batas media dan pemerintahan, sehingga semua hal yang tidak seharusnya di kabarkan menjadi kabar penting bagi media, dan juga seringkali media memberitakan sesuatu yang berbumbu, jika tidak ada bumbu, mana enak, begitu kira-kira dialognya. Penulis dalam hal ini tidak anti terhadap media, namun sedikit ideologi masih tetap mendampingi argumentasi penulis. Bayangkan, sejak sistem pemilihan umu berganti di masa reformasi, politisi tidak lagi bergelut pada proporsi partai politik, namun kompetisi priobadi menjadi kental dan kuat. Apa pasal? karena pemilihan langsung mengharuskan keterpilihan indiovidu, sehingga citra adalah pilihan terbaik. Degradasi politik bisa saja tidak pernah ada, karenma politik sejak kemunculannya tersetting demikian buruknya, kekuasaan dan kekuasaan. Namun tidak bagi penulis, politik pada masa pertumbuhannya adalah baik, strategi untuk pengelolaan isu, negara, kepemimpinan untuk keperluan bersama (Commons need). Hari ini, politik lebih kental dengan kekuasaan, hasilnya saling menjatuhkan, saling mencaci dan menciptakan kepura-puraan. Sedikit misal, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang sedang di bahas adalah keputusan politik, sehingga muncul kompensasi bantuan langsung tunai (BLT), padahal itu bukan sebuah kebutuhan bersama. Disinilah poin utamanya, selama citra menjadi kerajaan absolut politik, maka selama itu pula kinerja pemerintahan dan politisi selalu bernuansa citra, bukan karena tanggung jawab moral sebagai politisi. namun demi meraih simpati pemilih. dan itu menyedihkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun