Alangkah senangnya saya ketika teman-teman dari Litbangda Kabupaten Lamongan mengajak saya untuk menelusuri jejak sejarah atas kepercayaan masyarakat sekitar Kecamatan Modo yang mempercayai kalau Gajah Mada seorang Patih dari Kerajaan Majapahit merupakan putra daerah dari sana. Kecamatan Modo adalah desa yang berada kira-kira 30 kilometer di sebelah barat Kota Lamongan atau sekitar 50 kilometer sebelah selatan Kota Tuban. Apabila anda mencari di Google earth cukup arahkan koordinatnya di 7'11'22'69 S dan 112'10'15'50 T. Desanya cukup asri dan subur karena berada jajaran pegunungan Kendeng.
Untuk mengetahui sumber sejarah lisan tersebut, Tim menelusuri terhadap 2 obyek sejarah yang dianggap penting dalam mendukung sejarah tersebut yakni Makam Gunung Ratu yang berada di Desa Cancing dan situs-situs yang ada di Desa Modo.
Adalah Desa Cancing suatu desa yang berada di tengah hutan jati di wilayah Kecamatan Ngimbang, disana terdapat suatu bukit yang cukup tinggi sekitar 100 meter yang berada di sebelah selatan jalur jalan desa Girip - Cancing. Bukit yang cukup sejuk karena dinaungi oleh beberapa pohon jati dan jenis fiscus yang batangnya besar dan daun-daunnya sangat rindang. Tepat diatas bukit terdapat bangunan yang mirip padepokan yang disalah satu bangunan tersebut terdapat Makam Dewi Andong Sari yang merupakan ibunda dari mahapatih Gajah Mada.
[caption id="attachment_93867" align="aligncenter" width="550" caption="Makam Mbah Ratu"][/caption]
Bangunannya sangat terawat dan bersih yang setiap hari dikelola dan dirawat oleh Mbah Sulaiman seorang juru kunci dari Makam tersebut. Dari juru kunci inilah saya merekam sejarah lisan asal usul Kelahiran Gajah Mada ke iPhone saya.
Di awal berdirinya Majapahit, yaitu pada akhir abad XIII M, didesa Cancing (sekarang masuk kecamatan Ngimbang) kedatangan sekelompok prajurit Majapahit yang sedang mengiringkan garwo selir Raden Wijaya yang sedang mengandung yang bernama Dewi Andong sari.
Sekelompok prajurit tersebut mendapat tugas rahasia untuk menyingkirkan (mungkin membunuh) Dewi Andong Sari yang mendapat perintah dari Permaisuri Dara Petak dan Dara Jingga karena khawatir kalau Dewi Andongsari akan memiliki bayi laki-laki, tapi karena suatu hal Dewi Andong Sari tidak dibunuh melainkan hanya disembunyikan di suatu desa yang terletak di dalam hutan jauh dari pusat pemerintahan Majapahit ( ± 35 km arah barat laut dari Trowulan ). Desa tersebut dipimpin oleh Ki Gede Sidowayah yang juga mempunyai keahlian membuat senjata pusaka.
Setelah usia kandungan cukup maka lahirlah bayi laki-laki, tapi sayang Dewi Andong Sari tidak berumur panjang. Pada saat putranya masih kecil ia meninggal dunia dan di makamkan ditempat tersembunyi yaitu di atas bukit dan di tengah rimbunnya hutan. Makam tersebut sampai sekarang terawat dengan baik dan dikenal dengan sebutan makam Gunung Ratu dan termasuk dalam pengawasan Dinas Purbakala Trowulan Mojokerto.
Karena Ki Gede Sidowayah tidak mempunyai istri tentu saja merasa kerepotan dalam merawat bayi, karena itu bayi tersebut diserahkan pada adik perempuannya (janda Wura Wari) yang tinggal di Desa Modo. Bayi laki-laki tersebut tumbuh sehat dan cerdas yang kemudian di panggil dengan nama Joko Modo (pemuda dari Modo).
Seperti pemuda desa pada umumnya, Joko Modo pun ikut bekerja membantu orang tua angkatnya yaitu sebagai pengembala kerbau. Karena kecakapanya Joko Modo oleh sesama teman pengembala dianggap sebagai pemimpin. Meskipun hanya sebagai pemimpin sekelompok anak gembala, ternyata bakat kepemimpinannya mulai nampak.
Untuk memudahkan mengawasi kerbau-kerbau yang sedang digembala tersebut, Joko Modo dan kawan-kawan gembala lainnya naik diatas bukit kecil sehingga jarak pandangnya menjadi jauh dan luas. Bukit tersebut sampai sekarang masih ada dan oleh masyarakat setempat dinamakan Sitinggil (Siti = tanah, Inggil =Â tinggi) artinya tanah yang tinggi.
Pada saat Joko Modo diatas bukit sambil mengawasi kerbau-kerbaunya itu tidak sengaja ia pun kadang-kadang melihat iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya dari Tuban menuju majapahit. Hal ini terjadi karena letak Modo memang berada diantara Majapahit dan Tuban.
[caption id="attachment_93873" align="aligncenter" width="643" caption="Situs Tambatan kerbau Gajah Mada, lokasi Desa Modo"]
Dari seringnya melihat iring-iringan prajurit Majapahit yang gagah-gagah tersebut membuat hati Joko Modo tertarik, kelak suatu saat ia ingin menjadi prajurit Majapahit juga.
Karena jasanya terhadap Majapahit, maka pada suatu saat Ki Gede Sidowayah diberi hadiah tanah perdikan di Songgoriti Malang. Ki Gede Sidowayah tidak lupa mengajak pula Joko Modo ke Songgoriti, dengan pertimbangan agar jiwa, sikap, serta cara berpikir Joko Modo yang cerdas dan cakap bila berkembang dengan baik, hal ini dimungkinkan karena Songgoriti daerahnya lebih subur dan makmur jika dibandingkan dengan Modo atau Ngimbang Lamongan yang letaknya jauh di dalam lebatnya hutan belantara.
Karena kecapaian dan kepandaiannya tersebut dan didukung oleh pengaruh Ayah angkatnya yaitu Ki Gede Sidowayah maka Joko Modo akhirnya tercapai cita-citanya yaitu menjadi prajurit Majapahit, yang kelak Kemudian kariernya terus menanjak sehingga menjadi Patih Gaja Mada seorang tokoh besar di Kerajaan Majapahit.
Demikianlah cerita rakyat yang dituturkan oleh Mbah Sulaiman. Untuk mendukung kebenaran cerita tersebut, ada beberapa argumen yang memperkuat bahwa Tokoh Gajah Mada lahir di Desa Modo.
1. Peristiwa penculikan Dewi Andong sari dari Keraton Majapahit (1299 M)
Adanya peristiwa rencana pembunuhan terhadap Garwo Selir Raden Wijaya yang sedang mengandung yaitu Dewi Andong Sari sangat mungkin terjadi atas kehendak Putri Indreswari yaitu Dara Petak. Dara Petak adalah Putri Melayu yang datang ke Majapahit bukan atas kehendak sendiri, melainkan dibawa oleh Kebo Anabang (Pemimpin ekspedisi Pamalayu) sebagai putri rampasan sebab negerinya ditaklukkan oleh Singosari / Majapahit. Ketika ia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Kalagemet (Jayanegara) tahun 1294 M. Ia sangat senang, sebab kedua anak Raden Wijaya permaisuri yang lain semuanya wanita yaitu : Diyah Tribhuana Tungga Dewi dan Diyah Wiyat Sri Raja Dewi. Dengan demikian cita-citanya pasti terwujud, sebab sepeninggal  Raden Wijaya tahta Kerajaan pasti jatuh ketangan anaknya.
Tapi perasaan gembira itu berubah jadi cemas setelah tahu Garwo Selir Raden Wijaya yaitu Dewi Andong Sari teryata hamil, jika nanti Dewi Andong Sari melahirkan anak laki-laki tentu akan jadi Bantu sandungan bagi cita-citanya. Karena itu sebelum Dewi Andong Sari melahirkan ia harus segera segera dilenyapkan.
2.    Ditinjau dari segi geografis
- Posisi Cancing, Ngimbang dengan trowulan jika ditarik garis lurus 35 km, suatu jarak yang masuk akal sebagai jalur pelarian untuk tempat sembunyinya Dewi Andong sari, apalagi Cancing berada di dalam lebatnya hutan.
- Joko Modo sering melihat iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya dari Tuban menuju Majapahit, itu sangat masuk akal sebab Modo memang terletak diantara jalur Majapahit dengan Tuban.
3.    Ditinjau dari segi politik
Pada saat pemberontakan Ra Kuti (1319) Gajah Mada yang saat itu menjadi kepala pasukan Bhayangkara menyelamatkan Raja Jaya Negara dengan sembunyi di Desa Bedander. Para sejarawan banyak yang menduka bahwa Bedander yang dimaksud itu adalah Dander di Bojonegoro, padahal tidak. Sebab ada lagi nama Desa yang namanya persis sepert yang disebut dalam Negara Kertagama yaitu Badander (buah dander) yang berada di kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang.
Jarak antara Desa Bedander dengan Cancing, Ngimbang hanya 10 km, sedang jarak Badander Trowulan 25 km, sehingga sangat mungkin yang dimaksud Desa Bedander tempat persembunyian Raja Jayanegara kerena adanya pemberotakan Rakuti adalah Bedander trsebut (bukan Dander Bojonegoro).
Suatu kebiasaan, jika ada kerusuhan di ibu kota maka para pembesar ibu kota berusaha menyelamatan diri ke Daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan pertimbangan ia tentu mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat sekitarnya, disamping juga menguasai medan sehingga banyak membantu untuk perjuangan berikutnya.
Demikian juga halnya dengan Gajah Mada, kemungkinan benarnya ia tidak sengaja sembunyi di Desa Badander melainkan ke Desa Cancing (Ngimbang) tempat ia berasal. Tapi karena kondisinya pada saat itu tidak memungkinkan disamping letak Badander dengan Ngimbang sangat dekat apalagi adanya jaminan perlindungan dari Ki Buyut Badander, maka dipilihnya Badander sebagai tempat persembunyian sementara sambil menyusun siasat untuk merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak Ra Kuti.
4.    Ki Gede Sidowayah mendapat hadiah tanah perdikan di Songgoriti Malang.
Dalam sejarah adalah hal yang wajar jika seseorang mendapat hadiah tanah perdikan dari Raja sebagai imbalan karena orang tersebut berjasa besar pada Raja atau Negara. Demikian juga halnya dengan Ki Gede Sidowayah yang mendapat tanah perdikan di Singgoriti.
Ada dua kemungkinan Ki Gede Sidowayah mendapat tanah perdikan di Songgoriti yaitu :
- Sebagai seorang Mpu mungkin Ki Gede Sidowayah pernah membuat sejenis pusaka yang ampuh untuk Raden Wijaya. Tapi kemungkinan ini lemah, sebab diantara banyak pusaka peninggalan Majapahit tidak dikenal buatan Mpu Sidowayah. Disamping itu dalam sejarah belum pernah ada seseorang mendapat hadiah tanah perdikan hanya karena berjasa membuat pusaka untuk Raja.
- Karena Ki Gede Sidowayah berjasa besar yaitu menyelamatkan garwo selir R. Wijaya yang sedang mengandung hingga melahirkan dengan selamat. Untuk menjaga kerahasiaan tersebut Ki Gede Sidowayah diberi hadiah tanah perdikan yang letaknya sangat jauh dari Lamongan yaitu di Songgoriti Malang. Sebab jika diketahui bahwa R. Wijaya punya anak laki - laki selain Kalagamet, maka bias timbul masalah besar dalam proses pergantian raja sepeninggalan R. Wijaya nanti. Mungkin kedua inilah yang agak lebih mendekati kebenaran.
5. Â Peristiwa Tanca tahun 1.328 M ( Bhasmi bhuto nangani ratu = 1250 C )
Dalam pararaton disebutkan "...selama Ra Tanca menjalankan tugas pengobatan terhadap raja Jayanegara Gajah Mada mengawasinya, begitu Tanca membunuh Jayanegara maka Gajah Mada langsung membunuh Ra Tanca"
Dalam pararaton tersebut dengan jelas mengatakan kalau Jayanegara meninggal karena dibunuh oleh Ra Tanca, kemudian Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada tanpa proses pengadilan. Kita semua sependapat jika Ra Tanca membunuh Jayanegara karena sakit hati sebab istrinya pernah diganggu oleh Jayanegara. Tapi mengapa Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada tanpa proses pengadilan ?, tidak ada orang mempermasalahkan .
Kalau kita memperhatikan cerita rakyat Ngimbang tentang Joko Modo, sangat mungkin bahwa peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh Ra Tanca adalah hasil scenario Gajah Mada sendiri. Sebab ibunda Gajah Mada Yaitu Dewi Andong Sari dileyapkan dari istana oleh ibunda Jayanegara yaitu Dara Petak. Peristiwa itu tentu sangat menyakitkan hati Gajah Mada, sehingga timbullah niat balas dendam yaitu melenyapkan Jaya negara melalui tangan Ra Tanca, setelah itu Ra Tanca langsung dibunuhnya untuk menutup rahasia itu selamanya.
6. Peristiwa Bubat tahun 1357 M ( Sanga Turangga Paksa Wani = 1279 C )
Ketika raja Hayam Wuruk sudah cukup dewasa untuk menikah, maka dikirimkan kesegala penjuru untuk mencari wanita yang paling cantik, segala lukisan yang dikirimkan ke Majapahit tidak ada yang menarik kecuali lukisan putri Sunda yaitu "Â Diyah Pitaloka ". Maka dipinanglah Diyah Pitaloka untuk menjadi permaisuri Raja Hayam Wuruk.
Pada saat upacara pernikahan terjadilah beda pendapat antara Gajah Mada dengan keluarga pihak pengantin putrinya yaitu : Gajah Mada menghendaki agar raja Sunda menyerahkan putrinya kepada Raja Majapahit sebagai upeti, sedang raja Sunda menghendaki upacara pernikahan sebagaimana mestinya, yaitu putrinya harus dijemput oleh keluarga Majapahit denga upacara pernikahan sebagaimana biasanya.
Beda pendapat tersebut tidak dapat diselesaikan maka terjadilah perang yang mengakibatkan terbunuhnya semua orang Sunda termasuk calon permaisuri yaitu Diyah Pitaloka. Peristiwa tersebut terjadi di lapangan Bubat karena itu dinamakan perang Bubat dan terjadi tahun 1256Â C /tahun 1357 M ( Sanga Turangga Paksa Wani)
Peristiwa Babat tersebut jelas kesalahan besar Gajah Mada, akibat tindakan Gajah Mada tersebut tidak saja berakibat gagalnya pernikahan Hayam Wuruk tapi juga meninggalnya calon permaisuri Diyah Pitaloka beserta keluarga pengiringnya Karena kesalahan itu kemudian Gajah Mada diberi sanksi yaitu dibebas tugaskan selama 2Â ( dua ) tahun ( 1357Â Â Â 1359 M).
Mengapa kesalahan Gajah Mada yang begitu besar terhadap raja hanya mendapat hukuman ringan ? Mengapa pula Gajah Mada terlibat begitu dalam soal pernikahan Hayam Wuruk ? Banyak kemungkinan untuk menjawabnya, diantara jawaban itu ialah : " Hayam Wuruk merasa enggan dengan Gajah Mada sebab Gajah Mada itu pamannya sendiri. Hal ini terjadi karena Gajah Mada adalah adik ibunda Hayam Wuruk (Diyah Tribhuwana Tungga Dewi) satu ayah lain ibu. Gajah Mada anak R. Wijaya dari istri selir Dewi anak R. Wijaya dari permaisuri Gayatri.
7. Â Gajah Mada tidak mau kudeta terhadap kekuasaan Hayam Wuruk
Pada saat Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja, ia baru berusia 17 tahun. Segala urusan pemerintahan diserahkan kepada Gajah Mada. Bahkan sejak masa pemerintahan ibunda hayam Wuruk yaitu Tribhuwana Tungga Dewi urusan pemerintahan seolah diserahkan sepenuhnya kepada Gajah Mada.
Keadaan seperti itu sangat memungkinkan jika Gajah Madam mau kudeta, dalam arti Gajah Mada mau kudeta maka tidak akan ada hambatan yang berarti. Lalu timbul pertanyaan mengapa Gajah Mada tidak melakukan kudeta ? banyak kemungkinan untuk menjawab, diantaranya jawaban itu ialah : "karena raja Hayam Wuruk masih Keponakan Gajah Mada sendiri ".
(Sumber : Mbah Sulaiman, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Lamongan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H