Mohon tunggu...
AZNIL TAN
AZNIL TAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Koordinator Nasional Poros Benhil

Merdeka 100%

Selanjutnya

Tutup

Politik

BPK ke Laut Aja...!

18 Juni 2016   04:50 Diperbarui: 19 Juni 2016   04:52 2812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="BPK, Nasibmu kini...!"][/caption]Penasaran saya untuk mengetahui  tingkat kepercayaan publik pada BPK dan KPK, saya mencoba melakukan polling pada tanggal 16 - 17 Juni 2016 melalui akun FB saya yang dimulai dari jam 17.11 WIB s/d 17.11 WIB (24 jam). Responden yang masuk sebanyak 83 orang didapat bahwa kepecayaan publik atas kemurnian dan keprofesionalan pada kedua lembaga tersebut adalah sbb :1. BPK =  4%
2. KPK = 70%
3. Keduanya tidak dipercaya = 9%
4. Keduanya dipercaya = 1%
5. Jawaban tidak sesuai topik = 14%
6. Abstain = 2%

Dari hasil polling ini saya punya kesimpulan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih percaya dengan KPK. Bahwa KPK suatu lembaga negara yang sangat dipercaya oleh rakyat atas kemurnian dan keprofesionalannya dalam melaksanakan tugasnya yaitu upaya pemberantasan korupsi. Sebuah lembaga negara lahir dari hasil tuntutan reformasi untuk memerangi korupsi dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa korupsi sebuah kejahatan besar yang terstruktur, masif dan sistematis dalam merusak tatanan negara Indonesia maka pada era reformasi dibentuklah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) .
Bagaimana dengan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)?
BPK adalah lembaga negara yang hampir sama perannya dengan KPK, yaitu dalam upaya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Lembaga ini sangat berguna sekali dalam menciptakan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan transparan dalam pengelolaan keuangan negara.  Karena pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kegiatan yang akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia.
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, atau lembaga dan badan lain yang mengelola keuangan negara. 
 BPK lahir berdasarkan UUD 1945 pasal 23 ayat (5). Bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sungguh luar biasa makna kehadiran BPK dalam fungsinya sebagai lembaga negara untuk upaya pencegahan korupsi dan pemanfaatan penggunaan uang negara oleh pemerintah pusat sampai daerah. BPK dapat menjadi pintu pembuka membongkar praktek-praktek korupsi dan penggunaan anggaran negara yang salah.  Jika BPK ini bekerja dengan baik maka jauh lebih menusuk daripada KPK.Betapa tidak? BPK bisa mendapatkan data konkrit atas tindak korupsi dan bukti kesalahan pengunaan dana rakyat oleh pejabat-pejabat negara dan daerah secara akurat. Sedangkan KPK menangkap pelaku korupsi biasanya melalui penyadapan telepon atau operasi tangkap tangan. Sedangkan berdasarkan audit, KPK sangat miskin prestasi. Namun sangat disayangkan, sejak 1 Januari 1947 berdirinya BPK sampai sekarang tidak memberi arti dalam membentuk pemerintahan yang bersih dan good government (tata kelola pemerintahan yang baik), terutama sejak munculnya Orde Baru. Sebagian besar publik tidak percaya kemurnian dan keprofesionalan lembaga negara ini. Bahkan BPK nyaris tidak dianggap sebuah lembaga yang hadir dalam negara  alias sepi dari perhatian publik. Secara umum, kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) relatif minim dari sorotan dan harapan publik membongkar praktek-praktek korupsi dan mengantisipasi penyelewengan anggaran negara yang merugikan negara dan rakyat. Dalam melaksanakan tugas audit, pejabat BPK  cenderung berkongkalikong dan berkonspirasi menyelewengkan pengelolaan uang negara.  Miris lagi, BPK menjadi alat politik. Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat ini sangat sarat muatan politik dan transaksi kepentingan. Sejak rejim Soeharto sampai presiden Jokowi, anggota BPK diisi oleh orang-orang politik yang sangat diragukan kemurnian dan keprofesionalannya. Dalam aturan negara Indonesia, Presiden sifatnya hanya meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPRl bukan sebagai penentu. Maka tak aneh,  anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terpilih periode tahun 2014-2019 oleh Komisi XI DPR pada tanggal 15 September 2014 berasal dari orang politik (baca : mafia) dalam  mewujudkan kehendak kekuatan kelompok status quo (pewaris Orba). Dugaan publik atas ketidakmurnian dan ketidakprofesionalan anggota BPK ini terlihat jelas ketika ada perbedaan pernyataan/pendapat antara BPK dengan KPK pada kasus Rumah Sakit Sumber Waras.  Pada tahun 2014 kemarin, BPK Jakarta pernah mengumumkan hasil audit atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas pembelian lahan RS Sumber Waras menyalahi dan merugikan keuangan daerah sebesar Rp 191 miliar.  Namun bertolak belakang dari hasil audit KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo di sela rapat dengar pendapat hari pertama dengan Komisi III, Selasa tanggal 14 Juni 2016 mengatakan para penyidik tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam kasus itu. Sebelumnya tanggal 18 April 2016., Indonesia Coruption Watch (ICW) pun mengungkap proses audit yang dilakukan BPK tidak lazim. Metode yang dipakai BPK keliru. maka dasar analisa BPK yang dipakai salah. Kenapa BPK mengeluarkan penilain itu? Tidak lain tidak bukan adalah upaya penjegalan Ahok yang terkenal tidak kompromis  dengan DPRD DKI (baca : mafia)  dan terang-terangan menantang permainan anggaran.  Ketidakmurnian dan ketidakprofesionalan BPK  ini juga pernah terjadi juga pada  kasus skandal Bank Century, kasus pajak, kasus rekening gendut, dan sebagainya di jaman SBY. Di daerah-daerah, BPK pun kuat diduga  ada permainan dengan Pemda setempat. Dengan mudahnya BPK memberi  penilaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified opinion) kepada pemerintahan daerah dan lembaga negara lainnya. WTP adalah opini BPK kepada pemerintah atau lembaga-lembaga negara bahwa sistem pengendalian internal memadai alias tidak ada salah saji material atas pos-pos laporan keuangan dan secara keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Anehnya daerah-daerah yang mendapat predikat WTP tersebut banyak daerah bermasalah seperti Sumbar, Sumut, Riau, Bengkulu, Jawa Barat, Papua dan lain-lain. Logikanya, jika pemerintahan daerah tersebut memang murni berstatus WTP, maka di Indonesia tak ada korupsi donk ? Wadaw ! Mungkinkah lembaga negara resmi ini lalu rakyat berkata, "BPK ke Laut aja!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun