Mohon tunggu...
AZNIL TAN
AZNIL TAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Koordinator Nasional Poros Benhil

Merdeka 100%

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perilaku Elit Politik Berbagi Lapak

29 Juli 2019   18:53 Diperbarui: 29 Juli 2019   19:40 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah itu?

Sebenarnya dalam hukum demokrasi perbedaan adalah suatu yang wajar. Aneh saja suatu negara penganut sistem demokrasi, perbedaan dianggap sebuah  ancaman yang memecah belah persatuan.

Jika tidak siap dengan segala konsekuensi demokrasi untuk apa diterapkan?

Maka ditengah masyarakat timbul kecurigaan bahwa rekonsiliasi sebagai akal-akalan elit politik yang kalah untuk dapat mendapatkan jatah kekuasaan. Sebagai ajang bagi pemenang untuk mendapat kenyamanan menikmati kue kekuasaan.

Biaya demokrasi yang mahal ditambah masing-masing elit politik punya kartu truf maka rekonsiliasi menjadi cara jitu untuk bertransaksi menyelamatkan lapak dan kasus mereka masing-masing. Semakin chaos masyarakat dibawah  semakin tinggi nilai bargaining position-nya untuk bertransaksi. Kapan perlu menumbalkan pendukungnya agar isu rekonsiliasi menjadi suatu kebutuhan mendesak.

Bagi yang menang berbagi lapak dianggap cara paling  aman agar tidak diganggu menikmati kemewahan kekuasaan meski mengingkari janji kampanyenya dan eksekutornya berkemampuan rendah.

Sementara rakyat gigit jari atas angin surga diberikan sang penguasa disaat mau dipilih.

Di zaman now ditengah peradaban yang sudah revolusi 4.0 tetapi budaya lama itu masih menjadi ciri perpolitikan Indonesia. Tidak ada produk undang-undang di Indonesia mengatur bahwa  elit politik atau parpol kalah dalam kompetisi demokrasi wajib hukumnya menjadi oposisi. Begitu juga bagi penguasa terpilih jika tidak bisa memenuhi janji politiknya akan dikenakan sanksi berat.

Tidak ada juga produk undang-undang yang menindak secara tegas bahwa bagi perusuh demokrasi yang tidak tunduk pada tahapan pemilu dan tidak menyelesaikan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi maka akan dikenakan pasal makar.

Karena tidak adanya produk undang-undang tersebut maka semua kabur. Hitam bisa menjadi putih, putih bisa menjadi hitam. Semua bisa kompromis. Tergantung dealnya. Itu lah membuat orang luar tertawa pada demokrasi Indonesia yang penuh gegap gempita tetapi keropos dalam memanifestasikannya.

Akhirnya sudah menjadi doktrin politik di Indonesia bahwa "tidak ada musuh abadi yang ada kepentingan abadi." Adagium ini sungguh menyesatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun