Bermodal nama besar orangtuanya menjadi nilai bargaining untuk mengisi jabatan-jabatan politik di kabinet Jokowi nanti. Lobi-lobi politik sudah mulai dilakukan. Alasan rekonsiliasi dan konsolidasi merupakan celah untuk masuk ke pemerintahan Jokowi ditengah kekisruhan politik ketika pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi menggugat hasil Pemilihan Presiden yang diumumkan oleh KPU tanggal 21 Mei 2019. Â
Perlawanan dalam semangat reformasi selain membasmi korupsi dan kolusi juga membasmi pemerintahan yang nepotisme. Ketika Soeharto mengangkat anaknya Siti Hardijanti Rukmana sebagai Menteri Sosial RI pada Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, sehingga menambah nyala api besar menuntut reformasi dan pelengseran Soeharto. Â
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungan politik atas dasar motif balas budi dan transaksi kekuasaan bukan berdasarkan kemampuannya. Fenomena ini sedang trend muncul pada saat sekarang ini ketika para elit-elit politik yang sudah tua memposisikan anak-anaknya mengisi posisi strategis di dalam pemerintahan Jokowi.
Praktek nepotisme sangat terlihat pada suatu pemerintahan berupa politik dinasti, yaitu politik yang indentik dengan sistem kerajaan dengan melakukan  pewarisan kekuasaan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar tetap berada di lingkaran kekuasaan.
Anak-anak ningrat elit politik inilah yang sekarang menjadi bayang-bayang mengincar pemerintahan Jokowi kedepan. Sedangkan Jokowi sendiri menjauhkan anaknya dari kancah kekuasaan dan bagi-bagi kue. Keteladanan ini lah membuat salah satu faktor rakyat memilih Jokowi sebagai presiden RI agar tidak gentar lagi membasmi nepotisme. Â Â
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 bahwa nepotisme merupakan sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah pelanggaran hukum ini dibiarkan begitu saja tanpa ada kepastian hukum untuk penanganannya. Sampai saat sekarang ini sejak undang-undang itu berlaku belum ada penanganan kasus nepotisme dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Â
Dengan kondisi politik ke depan yang begitu kuat dari pihak rival Jokowi melakukan delegitimasi pemerintahannya maka bukan suatu hal mustahil kehadiran anak-anak ningrat politik tersebut mendapat jatah kekuasaan. Jokowi bisa jadi akan kewalahan membawa pemerintahannya jika tidak mengakomodir kepentingan elit tua yang masih haus kekuasaan tersebut. Bagi mereka, kekuasaan itu adalah sebuah gengsi tertinggi yang harus diwariskan kepada anak cucunya seperti merasa negara ini adalah milik nenek-moyangnya. Â
Pola pikir dan mental kuno ini menjadi tantangan aktivis '98 untuk bisa bersaing dengan anak-anak politik ningrat tersebut dalam ikut berkiprah memajukan Indonesia pada pemerintahan Jokowi. Meski demikian, Jokowi berulang kali menyatakan bahwa pemerintahannya 5 tahun kedepan tidak punya beban politik. Menurut Jokowi, pihaknya selalu melihat seseorang sesuai dengan kapasitasnya.
Saatnya Aktivis '98 tampil "gila" sebagaimana gilanya mereka ketika mempertaruhkan nyawanya pada 21 tahun yang lalu mengkritisi permasalahan nasional dalam melakukan perubahan untuk kemajuan Indonesia.
Ayo, Aktivis rebut kekuasaan 2019! "Kami Siap" bukan sekedar slogan dan hanya berkesan ingin berkuasa tetapi tidak memberi nilai tambah kepada kemajuan Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan 21 tahun yang lalu. Aktivis '98 harus singkirkan para benalu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H