Mohon tunggu...
A. Azis Nizar
A. Azis Nizar Mohon Tunggu... Administrasi - Berbagi pikiran dan wawasan, Minat dengan Ekonomi publik, Manajemen Bisnis, UKM

Berbagi pikiran dan wawasan, Minat dengan Ekonomi publik, Manajemen Bisnis, UKM

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Pejabat Menagih Hormat

6 Februari 2015   05:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14231507241341915252

[caption id="attachment_395184" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Surat Edaran Kementerian dalam Negeri (Sumber: news.detik.com)"][/caption]

Kemarin saya nonton film baru bertajuk Seventh Son yang mengisahkan tentang perburuan penyihir yang sangat ditakuti dimasanya. Film ini mengisahkan tentang perseteruan antara Jhon Gregory sang pemburu dan pembasmi penyihir dengan ratu penyihir mother Mother Malkin. Kita tidak akan berbicara tentang bagaimana kisah filmnya, tetapi settingan film ini sangat menarik menurut saya yang memang menyukai sesuatu yang sedikit bergaya vintage.

Film Seventh Son sepertinya mengambil setting eropa beberapa abad yang lalu. Gaya busana yang khas masih menggunakan bahan-bahan yang kasar dan tebal, serta busana wanita yang mecerminkan gaya eropa yang sangat kental saat itu. Yang paling menarik adalah Mother Malkin sebagai ratu penyihir yang sangat ditakuti dengan kekuatannya. Semua orang yang bertemu dengannya harus menunduk seraya mengucapkan yang mulia ratuku Mother Malkin. Tidak ada yang berani untuk menatap wajahnya apalagi membantah karena akan langsung dibakar hingga habis saat itu juga. Dari sini kita dapat membayangkan betapa besar arti kekuasaan dan hasrat ingin dipuja seorang Mother Malkin.

Kita tinggalkan peradaban eroba dalam film ini sejenak. Saya mengajak kita kembali ke realita di depan mata kita Indonesia yang kita cintai. Konon katanya setelah era kemerdekaan, kita hidup bebas merdeka yang dijamin dengan konstitusi yang sah di negara ini. Sejak saat itu negara menjamin kebebasan berpendapat, berekpresi, dan mengadakan perkumpulan yang dilindungi undang-undang. Betapa mulianya kita saat semua ini dapat diterapkan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun kita pernah mengalami jaman yang kelam tentang ini, namun kehadiran Gus Dur diteruskan pemimpin selanjutnya hingga SBY suasana ini terbangun dengan baik.

Sesuatu memang dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman, tetapi tentunya perubahan kearah yang lebih baik. Khususnya hari ini saya merasakan sedikit perubahan dinegeri ini. Walaupun belum terasa apa-apa dimasyarakat umum, namun saya sangat tergelitik mengetahui berita tentang panggilan untuk pejabat negara.

Adalah kementerian dalam negeri, hari mengeluarkan sebuah surat yang memberlakukan panggilan resmi untuk Bapak Presiden. Dalam surat bernomor 100/449/SJ tentang penyebutan nama pejabat pada saat acara yang ditandatangani Sekjen Kemendagri Yuswandi A Temenggung. Dalam surat ini ditegaskan bahwa presiden harus dipanggila dengan sebutan “Yang Terhormat, Presiden  Republik Indonesia Bapak Jokowi”. Hemat saya surat seperti ini tidaklah begitu penting karena bukankah kita sudah merdeka puluhan tahun yang lalu. Tidakkan presiden-presiden RI sebelumnya juga menghadiri acara-acara kenegaraan hingga ke daerah-daerah yang tentu saja dihormati dengan penghormatan yang tinggi. Lantas apakah presiden saat ini berbeda dengan presiden sebelumnya, sehingga begitu penting panggilan kehormatan dan diterbitkan surat edaran secara khusus agar dipanggil “Yang Terhormat…”.

Terus terang membaca surat edaran ini mengingatkan saya pada Mother Malkin yang harus dipanggil dengan penghormatan yang tinggi. Entah karena kekuasaannya yang luar biasa sehingga membutuhkan penekanan agar dipanggil yang terhormat. Tetapi pikiran nakal saya sedikit mengganggu mengatakan apakah presiden saat ini merasa tidak dihormati, tidak punya power, atau minder sehingga membutuhkan penekanan lewat surat, “panggil saya yang terhormat bapak presiden”.

Kedengarannya aneh dan terkesan dipaksakan. Jadi teringat permintaan seorang menko yang ingin dipanggil sebutan Ibu Menko beberapa waktu yang lalu. Segitu pentingkah sebuah panggilan?. Saya yakin dengan kinerja yang baik dan sikap yang bijaksana bukan hanya panggilan yang diberikan, bertarung nyawapun rakyat akan membela jika pemimpinnya adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan selalu berada ditengah rakyatnya..

Saya tidak tau apa yang sedang dipikirkan pemerintah dan jajarannya. Apakah panggilan yang terhormat adalah pekerjaan yang sangat penting saat ini, sehingga begitu penting. Ataukah pemerintah begitu bingung diantara begitu banyak pekerjaan dan keriuhan sehingga memilih mengerjakan hal yang tidak begitu penting dibandingkan yang lain yang sangat rumit.

Entahlah, dari hati tentu kita berharap pemerintahan ini sukses. Pemerintah mampu menyelesaikan masalah yang terlanjur dipancing dan membawa negeri ini kearah yang lebih baik. Mungkin rakyat memang tidak ada artinya bagi pemerintah saat ini, karena rakyat memang tidak jelas dan tidak akan pernah jelas tanpa pemerintah yang jelas. Mari berharap dan melakukan yang terbaik untuk negeri tercinta. Salam kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun