PERS: DULU DIPERAS, SEKARANG UNTUK BERPERANG
Makalah ini dibuat guna memenuhi Tugas Makalah
Mata Kuliah Jurnalistik
OLEH:
NAMA : ULIN UMI AZMI
NIM : 10210067
e-MAIL : azmiulin@gmail.com
NO.HP : 085747240544
PEMBIMBING:
SUPADIYANTO, S.Sos.I
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dibawah rezim Orde Baru pernah mengenal satu peride di mana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Pers berani mengkritik penyalahgunaan dan kesewenag-wenangan kekuasaan, membongkar korupsi yang merajalela di tubuh negara, mengecam ketidakadilan dan ketimpang-ketimpanagan akibat pembangunan., dan lain-lain.
Tatapi betapa tumbuh dan berkembangnya daya kritis dan kebebasan pers pada waktu itu ternyata tidak berbanding lurus dengan perubahan dan demokratisasi, seperti yang diharapkan masyarakat. Kontrol social yag diartikulasikan pers ketika itu, tidak banyak artinya untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan perilaku kekuasaan negara. Sebaliknya, daya kritis dan kebebasan pers tersebut justru menumbuhkan frustasi masyarakat. Sebab, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie dalam sebuah artikel yang ditulisnya di harian Indonesia Raya tahun 1969, daya kritis dan kebebasan pers waktu itu memungkinkan masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan serta sekaligus memungkinkan masyarakat menyampaikan kritikan dan kecamannya. Namun, kritikan dan kecaman masyarakat tersebut tidak ditanggapi secara positif oleh pemerintah melalui perubahan yang nyata dan sungguh-sungguh. Pemerintah hanya bermain-main dengan retorika dan janji-janji, yang hingga kini tidak pernah ditepati. Hal yang terakhir inilah yag mengakibatkan kekecewaan dan keputusasaan masyarakat.
Pada masa kini, pers telah mengalami perkembangan pesat baik dari segi media yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, cakupan wilayah penyebaran informasi yang sangat luas maupun kebebasan pers itu sendiri. Meski masih menjadi kontroversi di masyarakat, dibandingkan dengan pers masa orde baru, kebebasan pers yang lebih terbuka juga mengandung sisi positif dalam penyampain informasi di masyarakat.
Pers sebagai media yang mempunyai pengaruh besar dalam berbagai bidang kehidupan. Pers merupakan medium pemberitaan paling penting yang memberikan informasi mengenai suatu kejadian yang terjadi di berbagai belahan dunia baik yang berbau politik,ekonomi dan sosial budaya. Era keterbukaan sekarang ini, membuat pers bebas untuk menyampaikan segala hal yang terjadi tanpa takut dengan adanya pembredelan dari pihak manapun termasuk pemerintah yang dapat menghambat penyampaian informasi kepada masyarakat karena hal itu merupakan hak asasi suatu warga negara untuk mendapatkan segala bentuk informasi
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan singkat tentang latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kebebasan pers?
2. Apa perbedaan pers masa orde baru dengan pers masa reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Kebebasan Pers
Kata kebebasan adalah sebuah kata bertuah yang meliputi berbagai aspek, mulai dari filosofis, politis, psikologis, ekonomis dan sosiologis. Ini menyebabkan, bila dihubungkan dengan kegiatan komunikasi, ia bisa dilihat dari kelima aspek tersebut.
Sesungguhnya kata-kata kebebasan pers berarti kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugas mereka sesuai dengan keinginan mereka (Meriil 1989:18). Pengertian ini menyiratkan bahwa kebebasan pers mencakup kebebasan negative (bebas dari) dan kebebesan positif (bebas untuk). Secara filosofis, konsep bebas dari berasal dari pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, yang berarti kondisi yang memungkinkan seseorang untuk tidak dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan konsep bebas untuk, yang berasal dari pemikiran Jean Jacques Roesseau dan GWF Hessel, yang berarti kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkan.
Dalam perspektif ini kebebasan pers berarti kondisi yang memungkinkan para pekerja pers tidak dipaksa berbuat sesuatu dan mampu berbuat sesuatu untuk mencapai yang mereka inginkan.
B. Perbedaan Pers Masa Orde Baru dengan Pers Masa Reformasi
1. Pers Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang antu rezim Soeharto.
2. Fungsi Dewan Pers Pada Masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol social. Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja.
3. Pers Pada Masa Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
• Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
• Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
• Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
• Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
• Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.
Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top-down, melainkan juga bottom-up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan-kebijakan yang akan diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi-fungsi pers cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar norma.
Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (Alam Emilianus, 2005: 128).
Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
4. RUU Pers dan Cara Pandang Pemerintah
RUU Pers versi pemerintah menunjukkan belum terjadi peruubahan mendasar dalam pemahaman dan cara pandang Pemerintah Indonesia terhadap pers. Pertama, pemerintah masih menganggap pers harus turut membatu pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan. Yang luput dari pemahaman seperti pemahaman seperti ini jelas bahwa dalam tatanan demokrasi, fungsi pers tak lain menjalankan kritik terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Suatu fungsi yang memang mengondisikan pers untuk mengambil posisi dimetral terhadap pemerintah. Pers sebagai mitra pemerintah secara substansial hanya dikenal dalam system pers otositarian. Kontribusi pers terhadap proses pemerintahan dalam system demokrasi justru muncul dalam kritik-kritik yang dilontarkan kepada kekuasaan. Dengan asumsi, kritik-kritik itu kemudian menjadi titik-pijak perubahan dan perbaikan kinerja pemerintah.
Namun persoalan di Indonesia kini, seperti tercemin dalam berbagai statement dan kebijakan resmi, pemerintah tidak dapat membayangkan atau tidak memiliki visi tentang pers dan professional, kritis, dan independen itu. Pemerintah masih terjebak dalam kerangka berfikir kahas “Orde Baru”, di mana pers ditempatkan sebagai mitra pemerintah, bahkan sebagai instrumen penyelenggaraan kekuasaan.
Kedua, pemerintah masih melihat pers dari sisi particular pihak yang menjadi sasaran kritik pedas media massa. Bukan sebagai perancang dan pelaksana kebijakan yang seharusnya konsisten dengan sikap yang imparsial. Maka respon yang dimunculkan pemerintah juga sangat partikular: bagaiama mengontrol dan mereduksi kebebasan media. Sulit menemukan statement atau kebijakan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah peduli terhadap upaya memperbaiki kinerja media atau kualitas kritik pers. Politik kebijakan pemerintah di bidang media dan komunikasi tidak berlandaskan pada suatu imperative untuk menciptakan ruang public yang strategis untuk mengarahkan praktik bermedia sesuai dengan kepentingan pemegang kekuasaan.
Ketiga, rencana kebijakan dan pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah yang tendensius terhadap media selama ini juga menujukkan belum terbentuknya pemahaman tentang universalitas nilai-nilai kebebasan pers serta tentang fungsi-fungsi media sebagai institusi social. Pemerintah tidak menyadari bahwa membatasi kebebasan pers sama artinya dengan membatasi hak-hak public atas informasi dan komunikasi yang deliberatif, dan ini sama artinya dengan melaggar hak asasi manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Kebebasan pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top-down yaitu pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah, dan bottom- up yaitu pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.
2. Lahir konstruksi negative tentang Kebebasan yang berasal dari RUU Pers versi Pemerintah yang pada akhirnya kebebasan pers menjadi kebebasan yang semu, hal –hal tersebut adalah:
a. Pemerintah tidak dapat membayangkan atau tidak memiliki visi tentang pers dan professional, kritis, dan independen itu. Pemerintah masih terjebak dalam kerangka berfikir kahas “Orde Baru”, di mana pers ditempatkan sebagai mitra pemerintah, bahkan sebagai instrumen penyelenggaraan kekuasaan.
b. Sulit menemukan statement atau kebijakan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah peduli terhadap upaya memperbaiki kinerja media atau kualitas kritik pers.
c. Pemerintah tidak menyadari bahwa membatasi kebebasan pers sama artinya dengan membatasi hak-hak public atas informasi dan komunikasi yang deliberatif, dan ini sama artinya dengan melaggar hak asasi manusia
3. Kebebasan pers dapat berarti kondisi yang memungkinkan para pekerja pers tidak dipaksa berbuat sesuatu dan mampu berbuat sesuatu untuk mencapai yang mereka inginkan. Dan terkadang pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.