Anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun (5-17 tahun). Pada usia ini umumnya anak-anak akan menghabiskan waktunya untuk belajar dan bermain dengan teman sebayanya untuk menyokong pertumbuhan ke tahap dewasa. Namun, tidak semua anak dapat mendapatkan kesempatan "emas" tersebut.
Saat ini anak di berbagai belahan dunia masih dihantui momok mengerikan bernama child labour (pekerja anak dalam Bahasa Indonesia). Child labour sering diartikan sebagai pekerjaan yang merampas masa kanak-kanak, potensi dan martabat anak-anak mereka, dan berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental (ILO, 2004).Â
Tetapi tidak semua anak yang bekerja dikategorikan sebagai child labour. Perkerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dapat berpengaruh ke mental, fisik, dan sosial anak, serta pekerjaan yang berpotensi mengganggu sekolah anak.Â
Pada tahun 2020 (awal), jumlah pekerja anak mencapai 160 juta di seluruh dunia, dengan 63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki (UNICEF, 2021). Jika dibandingkan dengan 2016, jumlah child labour mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu signifikan.Â
Besar kemungkinan, pandemi covid-19 memiliki pengaruh besar atas pertambahan ini. Dari data diatas dapat dilihat bahwa 1 dari 10 dari semua anak di seluruh dunia adalah child labour. Lalu, siapakah yang pantas disalahkan atas hal ini? Kemudian, apakah child labour semata-mata membawa hanya dampak negatif terhadap anak?
Child labour dapat terjadi karena adanya dua faktor, yaitu faktor pendorong (permintaan) dan faktor penarik (penawaran) (Israyeni, 2016). Faktor pertama yaitu pendorong, merupakan faktor yang dapat dilihat dari sisi penawaran.Â
Misalnya adalah dorongan dari orangtua untuk membuat anak bekerja karena kemiskinan, yang biasanya, dorongan orangtua terjadi karena upah yang didapat dari pekerjaan utama orangtua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Israyeni, 2016).Â
Dorongan tersebut kadang juga muncul karena orangtua memiliki usaha mikro. Selain itu, anak-anak juga terdorong untuk bekerja karena tradisi dan budaya daerah setempat (ILO, 2004). Faktor kedua adalah faktor penarik anak untuk bekerja, atau faktor permintaan. Faktor permintaan terjadi karena adanya peran perusahaan yang mau menggunakan jasa tenaga kerja anak sebagai angkatan kerja.