Deteksi anomali jaringan berfungsi untuk mengidentifikasi pola yang tidak biasa dalam lalu lintas jaringan. Teknik ini dapat digunakan dalam sistem Intrusion Detection System (IDS) untuk meningkatkan keamanan jaringan. Dengan memanfaatkan algoritma clustering, sistem dapat mengenali pola lalu lintas normal dan membandingkannya dengan data yang memiliki karakteristik menyimpang. Artikel ini akan membahas bagaimana algoritma clustering dapat digunakan dalam deteksi anomali jaringan dan dampaknya terhadap keamanan siber
Deteksi anomali adalah teknik yang digunakan untuk menemukan perilaku yang menyimpang dari pola normal dalam suatu sistem. Dalam konteks keamanan siber, anomali dapat berupa akses tidak sah, perubahan mendadak dalam pola lalu lintas jaringan, atau serangan dari pihak eksternal.
Metode deteksi anomali dapat dikategorikan menjadi tiga jenis:
-
Supervised Learning: Memerlukan dataset dengan label yang sudah diketahui (normal atau anomali). Contoh metode ini adalah penggunaan algoritma klasifikasi seperti Decision Tree atau Support Vector Machine (SVM).
Unsupervised Learning: Tidak memerlukan label data, sehingga lebih fleksibel dalam mendeteksi pola baru. Clustering merupakan bagian dari metode ini.
Semi-supervised Learning: Menggunakan kombinasi data berlabel dan tidak berlabel untuk meningkatkan akurasi model.
Dalam penelitian ini, pendekatan unsupervised learning dengan algoritma clustering dipilih karena mampu mengelompokkan data tanpa memerlukan label awal, sehingga lebih adaptif terhadap berbagai ancaman baru yang mungkin belum diketahui sebelumnya.
Algoritma Clustering dalam Deteksi Anomali
Clustering adalah teknik pengelompokan data berdasarkan kesamaan fitur tertentu. Beberapa algoritma clustering yang umum digunakan dalam deteksi anomali jaringan antara lain:
1. K-Means Clustering
Algoritma ini bekerja dengan membagi dataset menjadi sejumlah kelompok (clusters) berdasarkan kedekatan jarak Euclidean antara titik data. Dalam deteksi anomali jaringan, lalu lintas normal dan anomali dapat terbentuk dalam cluster yang berbeda. Namun, K-Means memiliki kelemahan dalam menentukan jumlah cluster optimal serta kurang efektif jika distribusi data tidak berbentuk bola (spherical).
2. DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise)
DBSCAN lebih fleksibel dibandingkan K-Means karena tidak memerlukan penentuan jumlah cluster di awal. Algoritma ini mengelompokkan data berdasarkan kerapatan titik-titik data. Titik data yang tidak memiliki cukup tetangga dalam radius tertentu dianggap sebagai anomali. Hal ini menjadikannya pilihan yang baik untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan yang jarang terjadi.