Sekilas Kawasan Pangan Nusantara
Pemerintah pusat telah mencanangkan kebijakan Kawasan Pangan Nusantara (Food Estate) seluas 15 ribu hektar di Sulawesi Tengah, dengan tujuan mendukung suplai pangan untuk Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kalimantan Timur. Berdasarkan sejumlah informasi yang dihimpun dari beragam sumber, termasuk dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Kawasan Pangan Nusantara (KPN) di Sulawesi Tengah akan diperuntukan untuk pengembangan tanaman pangan seperti jagung, kedelai, hortikultura serta sub sektor perikanan. Sesuai dengan kebijakan di tingkat nasional, KPN ini diatur di dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah.
Berdasarkan informasi dari pihak Dinas Tanaman Dan Hortikultura Sulawesi Tengah, terdapat alokasi lahan seluas 1.123 hektar di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala untuk pangan dan hortikultura. Seluas 261 hektar rencananya akan diperuntukan bagi tanaman kedeiai, serta 231 hektar untuk tanaman jagung, sehingga akan mencakup luasan 43 persen dari total lahan yang seluas 1.123 hektar tersebut. Lahan yang tersisa akan diperuntukan untuk pengembangan hortikultura.
Selain Provinsi Sulawesi Tengah, provinsi lainnya turut diproyeksikan sebagai Kawasan Pangan Nusantara pendukung Ibu Kota Negara (IKN) yang berlokasi di Kalimantan Timur. Keempat povinsi lainnya itu meliputi Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Â Penetapan Desa Talaga sebagai areal KPN di Sulawesi Tengah melalui Keputusan Gubernur Sulteng Nomor 504/117.1/DBMPR-G.ST/2022 yang ditandatangani oleh Gubernur Sulawesi Tengah H.Rusdy Mastura, di Palu tanggal 28 Maret 2022.
Petani Harus Menerima Manfaat
Kawasan Pangan Nusantara harus memastikan bahwa kepentingan petani lokal di Desa Talaga dan sekitarnya sebagai prioritas. Mereka harus menjadi subjek dari proyek strategis nasional itu, seperti apapun skema industri yang akan dibangun kelak di lokasi dimaksud. Dalam skema pemerintah daerah, KPN di Desa Talaga akan memadukan kolaborasi masyarakat dan pemerintah, sedangkan kehadiran pihak investor tidak akan dominan. Petani harus mendapatkan perlindungan atas profesinya dan juga jasa yang telah mereka berikan selama ini kepada manusia lainnya. Seperti halnya amanah dari UUD 1945, maupun amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.Â
Sebagaimana diketahui, bahwa Desa Talaga secara sosial budaya merupakan lanskap utama dari kebudayaan etnis Dampelas. Di desa itu terdapat danau yang dinamai Danau Talaga, kerap juga disebut Danau Dampelas, terletak hanya 200 meter dari tepi laut Selat Makassar. Â Danau air tawar nan cantik itu seluas 542,86 hektar, rumah bagi jenis ikan air tawar seperti mujair, ikan gabus, ikan emas, serta kerang. Danau ini dikelilingi oleh tutupan hutan lebat yang hijau rindang, menjadikan danau ini semakin elok dipandang mata, semakin memberi rasa sejuk dari sepoi-sepoi angin bertiup di perbukitan yang melingkari danau.Â
Danau Talaga dalam Peta Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tengah dikategorikan sebagai kawasan lindung. Hal tersebut didasari pada penetapan Kesatuan Pengelolan Hutan (KPH) Dampelas Tinombo seluas 100.912 hektar, yang ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan pada tahun 2009. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 792/Menhut-II/2009 pada tahun 2009 silam, Danau Talaga dan ekosistem sekitarnya ditetapkan sebagai bagian dari kawasan KPH Dampelas Tinombo.
Masyarakat Desa Talaga pernah mengajukan keberatan dan protes terhadap penetapan secara sepihak oleh pemerintah atas status Danau Talaga dan sekitanya. Menurut testimoni masyarakat setempat, kala itu penetapan status kawasan hutan di sekitar Danau Talaga tidak melibatkan masyarakat dan pemerintah desa. Pemasangan pal batas kawasan hutan dilakukan tanpa ada konfirmasi ke masyarakat. Sehingga terdapat beberapa pal batas kawasan hutan yang justru masuk ke dalam areal pertanian masyarakat. Padahal, menurut masyarakat setempat, areal pertanian mereka secara turun temurun telah dikelola secara komunal, sebagai bagian dari entitas mereka sebagai orang Dampelas.
Sekitar Danau Talaga terdapat bekas perkampungan tua etnis Dampelas, pekuburan leluhur dan bekas ladang. Secara historis itu membuktikan klaim riwayat hak asal usul etnis Dampelas yang mendiami Desa Talaga. Hal-hal semacam itu jelas membuktikan jika sejak dahulu kala, orang Dampelas telah mendiami wilayah itu dari generasi ke generasi, dengan menjalani profesi mereka sebagai petani. Kedudukan Danau Talaga sangat sentral bagi kehidupan masyarakt di desa itu, baik secara sosial, budaya, religi dan ekonomi.
Oleh karena itu, masyarakat Desa Talaga yang umumnya adalah petani, dengan komoditi seperti padi ladang, jagung, ubi-ubian, sayuran dan buah-buahan, mesti menjadi tuan rumah di daerah sendiri dari kehadiran proyek strategis nasional seperti KPN. Sebagai petani, mereka telah berjasa menjaga kesuburan tanah, menjaga keberlangsungan ekosistem, menjaga kualitas benih, serta mensuplai pangan untuk kebutuhan manusia lainnya di luar Desa Talaga. Jasa petani yang luar biasa seperti itu harus mendapat perlindungan dan apresiasi besar dari negara dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk oleh dunia usaha. Kawasan Pangan Nusantara (KPN) di Desa Talaga tidak boleh menjadi predator yang meminggirkan petani dari habitatnya sendiri. Seperti yang dimandatkan oleh United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Area (Deklarasi PBB Tentang Perlindungan Petani), yang diputuskan pada bulan Oktober tahun 2018.Â
Perspektif Mitigasi Bencana
Desa Talaga dengan luas 52,84 Km persegi , terletak di ketinggian 27 meter dari permukaan laut, wilayahnya di dominasi oleh lanskap perbukitan dan pegunungan. Hanya sekitar 10 persen wilayahnya yang merupakan dataran rendah. Populasi Desa Talaga berdasarkan data BPS Donggala Tahun 2019 Â berjumlah 2.786 jiwa, terdiri dari 1.409 jiwa perempuan dan 1.377 jiwa laki-laki. Dengan profesi utama penduduk setempat ialah di sektor pertanian, dengan sub sektor tanaman pangan berupa padi ladang, jagung dan ubi-ubian, sub sektor hortikultura seperti cabe, tomat dan sayuran lainnya, sub sektor tanaman perkebunan seperti mangga, durian, kemiri dan kelapa, dan sub sektor perikanan.
Dalam konteks memitigasi bencana dari keberadaan proyek staretgis nasional semisal KPN di Desa Talaga, maka penting membangun kerangka pengaman sosial dan lingkungan (Social and Environmental Safeguard). Kerangka pengaman sosial itu dapat berupa instrumen seperti Pemberitahuan Di Awal Dan Tanpa Paksaan (PADIATAPA), atau apa yang disebut sebagai Free Prior and Informed Consent (FPIC). Yaitu, masyarakat Desa Talaga sebagai komunitas yang berhadapan langsung dengan lokasi KPN di wilayah itu, mesti memperoleh informasi yang lengkap, valid dan terbuka tentang dampak positif dan negatif keberadaan proyek startegis nasional seperti KPN. Jika semua informasi itu telah disajikan dengan baik kepada masyarakat setempat, maka biarkanlah mereka yang memutuskan apakah menerima atau menolak.Â
Prinsip PADIATAPA atau FPIC itu sejalan dengan semangat United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (Deklarasi PBB Tentang Pengakuan Hak Masyarakat Adat), yang diputuskan oleh PBB pada bulan September tahun 2007. Juga sejalan dengan Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Free Prior and Informed Consent Pada REDD+ Di Sulawesi Tengah. Mengingat bahwa di masyarakat Desa Talaga terdapat trauma sosial di mana mereka merasa kaget dan tertekan setelah penetapan tapal batas kehutanan tahun 2009 dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini juga penting agar tidak terjadi penolakan seperti ketika mereka menyatakan menolak program ujicoba kesiapan REDD+ di Desa Talaga pada tahun 2012 silam.
Bagaimana dengan kerangka pengaman lingkungan? Instrumen paling utama dalam mempertimbangkan dampak lingkungan suatu proyek ialah menilai daya dukung lingkungan serta daya tampung lingkungan, sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-Undang PPLH tersebut mengamanahkan dalam Diktum Menimbang bahwa Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ialah hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terutama pada Pasal 28H.
Untuk menilai daya dukung serta daya tampung lingkungan di Desa Talaga sebagai lokasi KPN, maka pemerintah sudah harus memiliki dokumen Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang selanjutnya didukung dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Yang mana KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar pertimbangan utama dalam pembangunan KPN di Desa Talaga.Â
Mengapa penting ada perspektif mitigasi bencana dalam proyeksi KPN di Desa Talaga? Sebab bagaimanapun juga Sulawesi Tengah memiliki riawayat kebencanaan yang sangat tinggi., berdasarkan pemaparan Badan Nasional Penanggulangan Bencana  (BNPB). Mulai dari bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, likuefaksi, banjir, banjir bandang, tanah longsor, banjir rob. Di mana Kabupaten Donggala terutama wilayah pantai barat nya termasuk Kecamatan Dampelas adalah perlintasan sesar Palu Koro yang paling aktif di Sulawesi. Terbukti dengan gempa bumi dan tsunami tahun 1968 yang berlokasi di Desa Mapaga, wilayah pantai barat dari Donggala. Begitupun gempa bumi tahun 2018 silam, juga berlokasi di wilayah pantai barat Donggala, tepatnya di sekitar Desa Tompe Kecamatan Sirenja.Â
Mengingat bahwa Desa Talaga yang berada di dalam Kecamatan DaTmpelas, juga berada di wilayah pantai barat Donggala. Tentunya, dengan riwayat kebencanaan yang tinggi di wilayah pantai barat Kabupaten Donggala, maka tidak boleh ada keteledoran dan kealpaan dalam menghitung dampak ekologis dan sosiologis dari keberadaan Kawasan Pangan Nusantara di Desa Talaga. Memitigasi, dengan kata lain mengantisipasi kerentanan alam dan sosial yang akan datang, sehingga kita dapat meminimalkan risikonya ketika kerentanan itu benar-benar menimpa. Agar kita dapat menghindari dampak bencana dalam skala yang paling mikro di level tapak.
*Penulis,- adalah pendiri sekaligus pegiat lingkungan dan kemanusiaan di Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H