*Azmi Sirajuddin
Realitas KPH Hari Ini
     Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Menhut-II/2010, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sulawesi Tengah akan dibangun sebanyak 21 unit, dengan total luas 3.199.08 ha. Terdiri dari KPH Lindung sebanyak 5 unit seluas 717.427 ha, serta KPH Produksi sebanyak 16 unit seluas 2.481.659 ha. Saat ini sudah terbangun 8 unit KPH, dengan luas areal  1.197,885 ha, 3 unit di antaranya adalah KPH lintas kabupaten. Salah satu tujuan dari pembentukan KPH di setiap daerah ialah mendekatkan pelayanan kehutanan kepada komunitas, serta memperluas kemitraan kehutanan di level tapak.
     Dalam perkembangannya, tujuan tersebut seperti sulit diwujudkan. Mengingat masih banyak variabel ataupun indikator yang tidak terpenuhi di lapangan. Padahal, dari variabel kebijakan pendukungnya, keberadaan KPH sangat kuat secara legal -- formal, melalui instrumen Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Variabel kebijakan lainnya, di level daerah RPJMD Sulawesi Tengah Tahun 2011 -- 2016 paralel dengan kebijakan Kemenhut tersebut. Artinya, terdapat singkronisasi kebijakan di level nasional dan sub nasional,  sehingga tidak ada kendala hukum.
     Namun realitasnya, dukungan kebijakan saja tidak cukup membantu peran KPH. Agar peran KPH di level tapak sesuai harapan, diperlukan kapasitas yang handal di pihak pengelola KPH itu sendiri. Kapasitas tidak hanya kecakapan pengetahuan tehnis kehutanan, juga diperlukan kemahiran manajerial keorganisasian, serta yang terpenting ialah kepekaan sosial terhadap realitas di sekitar wilayah kelola KPH.
     Mengapa kepekaan sosial sangat urgen bagi pengelola KPH? Karena KPH berada tepat di hadapan masyarakat, di jantung pengelolaan hutan di level paling mikro, yang kita sebut dengan level tapak. Sebab, di level tapak inilah tersebar unit-unit sosial kesatuan masyarakat, yang kita sebut lipu, ngapa, ngata, kampung ataupun desa. Jika merujuk sensus Departemen Kehutanan bersama dengan BPS tentang Potensi Desa (PODES) tahun 2008,  di Sulawesi Tengah dari total 1.686 desa, terdapat 58 desa tepat berada di dalam kawasan hutan, 666 desa di tepi kawasan hutan, serta 962 desa di luar kawasan hutan. Artinya, jika digabungkan desa-desa yang berada di dalam dan di tepi kawasan hutan, maka terdapat 724 desa di Sulawesi Tengah yang lokasinya bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Dengan tota luas areal mencapai 3,7 juta hektar, dengan jumlah penduduk lebih dari 800.000 jiwa atau sekitar 33% dari total populasi Sulawesi Tengah.
     Mereka yang terdapat di 724 desa tersebut berkepentingan langsung dengan sektor kehutanan. Dengan tiga pola utama sebagai ciri ketergantungan terhadap sumber daya hutan. Pertama, komunitas atau kelompok masyarakat yang masih berladang dan meramu hasil hutan bukan kayu (HHBK) sebagai basis produksi. Mereka ini umumnya hidup di wilayah dataran tinggi seperti komunitas Wana Posangke di sekitar Cagar Alam Morowali. Kedua, komunitas yang masih meramu hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti rotan, damar, madu alam, namun juga sudah mengenal komoditi tambahan, misalnya kakao, cengkeh dan kopi. Seperti komunitas Tampo Pekurehua di Lembah Napu. Ketiga, komunitas yang sudah tidak meramu hasil hutan bukan kayu (HHBK), serta lebih fokus kepada praktek wanatani (agroforestri) dengan komoditas unggulan tertentu misalnya kopi, pala, kemiri, durian, rambutan, langsat, dan memanfaatkan hutan sebagai pemberi jasa lingkungan untuk sumber air, seperti komunitas Kaili Daa di Lampo, Donggala.
Saran Perbaikan Kepada KPH
     Realitas semacam itulah yang mesti dibaca dan dipahami oleh para pengelola KPH di berbagai tempat. Sebab lulus tidaknya KPH sebagai ikon kehutanan di level tapak tergantung pada kemampuan para pengelola KPH berdialektika dengan dinamika sosial di sekitarnya. Agar KPH dapat terkelola sesuai spirit awalnya, maka KPH mesti melakukan koreksi bahkan otokritik terhadap pendekatannya selama ini. Salah satu cara, dengan lebih memperhatikan fungsi sosial KPH ketimbang fungsi bisnisnya. Misalnya, setiap penyusunan rencana pengelolaan hutan (RPH) baik yang menengah dan berjangka panjang, seharusnya menerapkan prinsip free prior and informed consent (FPIC). Yaitu, prinsip pelibatan pendapat dan sikap komunitas setempat secara bebas terkait suatu perencanaan pembangunan di wilayahnya. Hal ini sudah menjadi ketentuan global, melalui kesepakatan di pembicaraan iklim (UNFCCC/COP 16) di Cancun, Mexico pada tahun 2010, yang mana keputusan tersebut juga sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
     Hal lain, di dalam agenda-agenda kerja yang terumuskan melalui dokumen RPH tersebut, sebaiknya juga mencantumkan agenda kerja yang bersentuhan langsung dengan kepentingan komunitas sekitar KPH. Misalnya, penataan blok pemanfaatan KPH sebaiknya dibarengi dengan identifikasi wilayah kelola rakyat (ladang, kebun, sawah, mukim). Sehingga dapat terpetakan dengan jelas tidak hanya batas-batas terluar KPH, namun juga sebaran titik-titik produksi komunitas. Hal ini akan membantu dan mempermudah pengelola KPH dalam menyusun data dasar potensi kawasan. Sekaligus menghindari sejak dini konflik klaim kelola dan tumpang tindih penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan lahan, jika suatu saat pihak KPH mengalokasikan sebahagian blok untuk program produksi ataupun untuk kepentingan konservasi.
     Selain itu pula, pihak pengelolaa KPH mesti banyak mempromosikan prospek perhutanan sosial di wilayah tugasnya. Sebagai perbandingan, saat ini pemerintah secara nasional sudah mencanangkan skema perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar, dapat berupa hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, maupun hutan adat. Saat ini, total areal yang sudah dipromosikan untuk perhutanan sosial di Sulawesi Tengah mencapai 200.000 hektar, yang tercantum di dalam Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS). Beberapa usulan yang tercantum di PIAPS tersebut berasal dari KPH yang ada di Sulawesi Tengah.