Mohon tunggu...
azmi sirajuddin
azmi sirajuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Sejak di bangku sekolah senang dengan dunia penulisan

Bekerja di oganisasi non-pemerintah dan menetap di Sulawesi Tengah. Juga bergiat sebagai jurnalis lepas.penerjemah lepas dan peneliti lepas. Berkonstrasi pada isu-isu lingkungan hidup, perlindungan masyarakat lokal dan masyarakat adat, serta hak azasi manhsia, Di level nasional, bergiat pula di organisasi non-pemerintah, tepatnya di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebagai Dewan Nasional WALHI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tau Taa Wana Dalam Derap Perubahan Mondial

25 Februari 2014   22:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:28 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tana Ntautua Mami

Retu Sekatuvu Mami

Nempo Masiasi re Tana Mami

“Tana Leluhur Hidup Kami

Biar Hidup Sederhana

Asalkan di Tanah Kami”

Relasi Dengan Alam Semesta

Penggalan kayori (sastra lisan) tersebut di atas, menunjukkan betapa kuat relasi Tau Taa Wana terhadap alam di sekitarnya. Pada setiap perjumpaan kita dengan komunitas ini, mereka pasti akan bilang bahwa, gunung ibarat tubuh dan sungai ibarat jiwa. Oleh sebab itu, alam sekitar mesti diperlakukan dengan baik. Salah satu gunung yang melegenda ialah Gunung Sinara (Lemban Sinara). Sedangkan, sungai yang melegenda bagi kehidupan mereka adalah Sungai Bongka (Koro Bongka).

Karena sebaran mukim mereka berada di dalam dan sekitar hutan, ketergantungan atas sumber daya hutan sangat tinggi. Demi kepentingan itu, mereka mengelola serta memanfaatkan hutan dengan pola lestari.  Agar lestari, dan tetap berkesinambungan, hutan dibahagi untuk sejumlah peruntukkan. Masing-masing memiliki kekhususan serta cara pemanfatannya (Camang, 2003).

Pangale Kapali (hutan keramat, hutan larangan), adalah hutan alam yang tidak boleh dibuka. Sebab, di dalamnya memiliki kompleksitas ekosistem yang mesti dilindungi dan dijaga agar tidak rusak dan punah. Berikutnya, Pangale (hutan yang boleh dibuka) secara umum dapat dibuka dan dimanfaatkan. Terutama, untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti rotan, damar, lebah madu, tanaman obat, hewan buruan, maupun jasa lingkungannya.

Di kawasan Pangale itulah dapat pula dibuka lahan pertanian (Navu), utamanya untuk menanam padi ladang (Pae). Di ladang itu pula dapat ditanam jagung dan ubi-ubian. Setelah 3 sampai 5 tahun lamanya, mereka harus berpindah ke lahan baru. Ladang yang sudah ditinggalkan untuk beberapa tahun ke depan, akan mulai ditumbuhi semak belukar dan tunas pohon. Ladang yang sudah ditinggalkan itu disebut dengan Bonde.

Bonde, perlahan dan pasti akan menjadi hutan sekunder (Yopo Mangura), dengan usai pepohonan di bawah 10 tahun. Selepas itu, Yopo Mangura akan semakin lebat dan padat oleh tutupan hutan menjadi hutan primer (Yopo Masia). Dengan usia pepohonan lebih dari 10 tahun. Yopo Masia tersebut kemudian akan berkembang seterusnya, hingga kembali menjadi Pangale.

Hutan yang telah kembali pulih dalam kurun waktu tertentu, selanjutnya akan dimasuki kembali. Inilah yang disebut dengan sistem rotasi gilir balik dalam perladangan. Menurut Alvard, sistem rotasi itu akan menjaga hutan tetap lestari dan tidak rusak akibat aktivitas ladang berpindah. Alvard juga menyebutkan, bahwa, luas rotasi gilir perladangan Tau Taa Wana, tidak melebihi areal 2 hektar. Sebab luas ladang masing-masing keluarga sangatlah kecil (Alvard, 1999).

Eskalasi Kepentingan

Orang luar lebih mengenal mereka dengan sebutan “Wana” (Kaudern, 1925). Bahasa Sanskrit yang artinya hutan, kemudian menjadi sebutan yang populer untuk komunitas ini.Diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dan etnolog Eropa, yang bertugas untuk Pemerintahan Hindia Belanda. Namun, Tau Taa Wana sendiri menolak sebutan itu. Sebab, kata Wana, lebih sebagai stigma negatif atas diri mereka. Seperti keterbelakangan, penghuni hutan dan suku terasing (Kruyt, 1930).

Mereka lebih senang mengidentifikasikan dirinya dengan Tau Taa. Penyebutan Tau Taa Wana, selanjutnya digunakan oleh Yayasan Merah Putih (YMP), untuk memperkenalkan komunitas ini ke masyarakat yang lebih luas. Baik di level Sulawesi Tengah, nasional maupun global. Penggunaan istilah itu kemudian disepakati oleh Tau Taa Wana. Sekaligus, bentuk kompromi di antara kepentingan sosial komunitas, maupun kepentingan politik pemerintah.

Atkinson mencatat, tarik menarik kepentingan sosial, politik dan ekonomi lokal maupun mondial, sudah berlangsung lama di tengah komunitas ini. Antara abad 17 hingga abad 19, Tau Taa Wana berada dalam pusaran pertarungan politik ekspansionis kerajaan-kerajaan regional. Semacam Kerajaan Banggai di timur, Kerajaan Tojo di utara, dan Kerajaan Bungku di Selatan. Serta, gerak ekspansionis bangsa Belanda dan Jepang dari abad 19 sampai awal abad 20 (Atkinson, 1985).

Pusat-pusat kerajaan tersebut, sekaligus berfungsi sebagai bandar-bandar niaga yang sibuk pada zamannya. Misalnya, pusat Kerajaan Tojo yang berpusat di pinggir Teluk Tomini. Merupakan bandar niaga yang sibuk bagi komoditi kopra, damar dan rotan menuju Pasifik dan Asia Timur. Menjangkau Jepang, Korea, Taiwan, China, hingga ke Eropa melalui jalur sutra. Dari sana pula, barang bertukar lagi seperti porselin, piring, sutra, wol, garam, minyak zaitun dan wewangian, hingga perhiasan.

Tak heran, dalam ritual pengobatan (Valia), obat-obatan herbal lokal berbaur dengan wewangian timur tengah dalam nampan tabib (To Valia). Dalam ritual tersebut, terkadang mantra To Valia disisipi ungkapan yang bersumber dari ajaran Islam. Mungkin pengaruh dari kerajaan-kerajaan tersebut yang umumnya menganut Islam. Walaupun, hingga kini, Tau Taa Wana tetap menganut keyakinan tradisionalnya, Khalaik (Atkinson, 1989). Kita akan sulit menemukan penganut Islam ataupun Kristen di kalangan Tau Taa Wana. Walau silih berganti dakwah Islam dan misi Kristen berdatangan, sejak abad 17.

Lazimnya orang awam, ketika hendak berpergian ke luar daerah, misalnya ke Ampana, Kolonodale, Luwuk dan ke Palu, mereka pun harus membuat Kartu Tanda Penduduk. Ketika ditanya oleh petugas di Kantor Desa atau Kecamatan terdekat, terutama tentang lema Agama, mereka akan menjawab “terserah”. Sebab, bagi mereka, Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya, hanyalah penamaan saja.  Bagi mereka, keyakinan akan sang pencipta yang agung, yang tunggal dan kuasa, melebihi segala penamaan agama yang beragam. Jangan heran, anda pasti akan menemukan beragam lema Agama dalam KTP yang dipunyai oleh Tau Taa Wana.

Melawan Marjinalisasi

Salah satu cara melawan marjinalisasi sistemik ialah dengan belajar membaca, menulis dan berhitung. Sejak tahun 2005, pemuka masyarakat Tau Taa Wana  bersama aktivis dari Yayasan Merah Putih (YMP), mulai merintis pembangunan Sekolah Lipu. Artinya, sekolah kampung, yang kemudian dalam lafal setempat diucapkan seperti ”skola lipu”. Secara fisik, sekolah dalam pendekatan ini sangat berbeda dengan sekolah pada umumnya.

Mulanya, hanya segelintir dari mereka yang bergabung. Namun, setelah melihat ketekunan yang ditunjukkan oleh generasi muda, para tetua dan pemangku adat, serta generasi tua, juga ikut bergabung. Pada tahun 2010, hampir separuh dari anggota komunitas, mulai dari anak-anak hingga yang tua, sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar.Kini, mereka mulai percaya diri, dan berharap kelak, mereka akan mampu memperjuangkan hak-haknya sendiri dihadapan pihak lain.

Proses belajar di Skola Lipu berlangsung dengan model alternatif. Tempat belajar dapat berlangsung di mana saja. Terkadang di Banua Bae (balai pertemuan), ada kalanya di pinggir sungai, di tepian hutan, atau di tengah ladang. Tenaga pengajarnya, selain dari aktivis Yayasan Merah Putih (YMP), juga anggota komunitas yang sudah mahir membaca dan menulis. Anggota komunitas yang sudah mahir, akan bergantian menjadi guru bagi kaumnya.

Era 1980-an hingga 1990-an, ialah priode kelam tanpa kehadiran entitas negara (pemerintah) sebagai pembela. Mereka dibiarkan bertarung sendiri, melawan keganasan dan sifat rakus investasi. Hutan yang kaya keragaman hayatinya, habis digunduli oleh investasi pembalakan. Ladang-ladang pertanian tanaman pangan yang produktif, diambil alih sebagai milik negara dalam skema transmigrasi. Ketika sawit muncul menjadi primadona baru, mereka dipaksa untuk dijadikan pekerja perkebunan.

Di penghujung tahun 1999, dalam satu mogombo bae (pertemuan besar) antar lipu, mereka mencetuskan satu manifesto. Sesuatu yang sangat menyentuh, “tare pamarenta tare negara”.  Mereka tidak akan mengakui pemerintah dan negara Indonesia, jika pemerintah dan negara Indonesia tidak mengakui hak-hak dasar mereka. Manisfesto sosial-politik yang kemudian dikirim hingga ke Presiden Indonesia di Jakarta.

Setelah 12 tahun berselang, manifesto itu melahirkan satu harapan baru ke depan. Pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una, mengeluarkan Peraturan Bupati No.13 Tahun 2011, tentang Pengakuan dan Perlindungan Penyelenggaraan Sekolah Lipu. Dengan diakuinya model dan proses belajar di Skola Lipu, berarti negara dan pemerintah mengakui pentingnya kebutuhan pendidikan bagi Tau Taa Wana.

Satu tahun berselang, Pemerintah Kabupaten Morowali bersama DPRD setempat, menetapkan Peraturan Daerah No.13 Tahun 2012, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana di Kabupaten Morowali.  Perda ini diharapkan sebagai terobosan hukum dan politik di level kabupaten, setelah Perda di level provinsi digagalkan oleh pihak-pihak tertentu.

Dengan situasi yang semakin berubah di level mondial, seperti isu pemanasan global dengan perubahan iklim, maupun krisis ekonomi, Tau Taa Wana tetap menyikapinya dengan kehidupan sederhana. Bahkan, untuk memperkuat basis ekonominya yang bertumpu pada sumber daya hutan bukan kayu, Koperasi Serba Usaha Wana Mandiri dapat menjadi jembatan. Meskipun disadari bersama,  bahwa, komoditi hasil hutan bukan kayu semacam rotan,damar dan madu, tidak mendapat proteksi pasar dari pemerintah.

Sekali lagi, kehadiran negara dalam diri pemerintah, perlu dibuktikan pula dalam hal proteksi atas komoditas lokal. Jangan pernah membiarkan Tau Taa Wana bertarung sendiri melawan keganasan pasar.*

Rujukan

Alvard, Michael., 1999. The Impact of Traditional Subsistance Hunting and Trapping on Prey Population : Data from Wana Horticulturalists of Upland Central Sulawesi, Indonesia” InHunting for Sustainability in Tropical Forests, Robbinson, J.and Bennet, E., (ed). Columbia University Press.

Alvard, Michael., t.t. “How much land do the Wana use ? Chapher 5.”In : SUBSISTANCE, MATERIAL, AND DEMOGRAPHIC APPROACHES TOMOBILITY. F. Sellet, R.D. Greaves, and P.L.Yu, editors.Gainesville : University Press of Florida. www.earthscape.orgDownload tanggal 4 Juni 2005.

Atkinson, Jane Monnig., 1989. The Art and Politics of Wana Shamanship. University of California Press, Barkeley

Atkinson, Jane Monnig., 1985. “Agama dan Suku Wana di Sulawesi Tengah”, dalam Michael Dove, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia.

Camang, Nasution., 2003. Tau Taa wana Bulang : Bergerak untuk Berdaya. Yayasan Merah Putih Palu dan Regenskogfondet Indonesia.

Kaudern, W., 1925. ETHNOGRAPHICAL STUDIES IN CELEBES. Migration of the Toraja in Central Celebes. Results of the Author’s Expedition To Celebes 1917 – 1920. Elander Boktryckeri Aktiebolag, Goterbog.

Kruyt, A.C., 1930. “De To Wana op Oost-Celebes”. Tijdschrift voor Indesche Taal, Land en Volkenkunde.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun