Sejatinya, manusia pada era digital ini ialah homo digitalis, dimana teknologi berada dalam genggaman dan jari dapat berseluncur di dunia maya entah dimanapun, kapanpun, bagaimanapun, dan untuk apapun kepentingannya. Teknologi telah memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai aktivitas dalam berkehidupan melalui aturan atau kaidah baru yang lebih bebas, mudah, dan fleksibel. Dikutip dari jurnal Manusia Dalam Prahara Revolusi Digital oleh F. Budi Hardiman:
Homo digitalis bukan sekedar pengguna gawai. Ia bereksistensi lewat gawai.
Pernyataan tersebut tidak salah, bukan hanya manusia yang menggenggam teknologi, tetapi manusia pula yang digenggam oleh teknologi. Manusia ibaratkan lahir darinya, melihat bagaimana tiap individu mempercayakan segala kepentingan dan kerahasiaannya sebatas genggaman. Teknologi seolah menjadi kebutuhan primer yang lebih penting dari otak manusia itu sendiri, mempengaruhi bagaimana pola perilaku manusia dalam menanggapi segala kebenaran dan berkomunikasi antar satu sama lain. Tidak jarang manusia hilang kendali atas dirinya sendiri dan terbawa arus brutalitas dalam berteknologi, khususnya internet.
Kasus minimnya literasi dan konfirmasi dalam membagikan berbagai tautan berita digital menjadi kebobrokan utama manusia masa kini. Anonimitas dalam berselancar di internet tak luput juga menjadi momok dan pedang bermata dua bagi sesama manusia. Anonimitas mendukung paradigma bahwa kebebasan adalah mutlak dan brutalitas terhadap satu sama lain adalah benar, karena tiap identitas dapat menjadi aktor di internet. Padahal, manusia seharusnya ingat akan prinsip manusia berbudaya. Prinsip berbudaya menitikberatkan pada nilai-nilai memuliakan manusia, baik kepada diri sendiri maupun sesama sebagai bentuk pengoptimalan daya guna akal budi luhur yang telah dianugerahkan kepada masing-masing insan. Peradaban manusia mungkin memang telah maju, tetapi semua itu tidak akan ada gunanya apabila manusia malah jadi selangkah lebih jauh dari kata berbudaya.
Selain bertubrukan dengan prinsip berbudaya, dapat dilihat pula bahwa budaya dalam kehidupan manusia masa kini turut nyaris terkikis. Polemik ini tidak ada habisnya diperbincangkan, tetapi memang nyata begitu mengkhawatirkan adanya. Padahal dengan pemikiran manusia yang semakin maju dan dikombinasikan dengan pesatnya teknologi digital dapat melahirkan sebuah taktik untuk memaksimalkan usaha mempertahankan dan memberdayakan budaya. Dari pemanfaatan teknologi, kesadaran akan pentingnya penghargaan atau apresiasi terhadap seni budaya ikut tercipta.
Aktualisasi akan apresiasi seni budaya dapat dilakukan melalui media sosial seperti Twitter, Instagram, Youtube, dan yang sedang beken adalah Tiktok, dimana tempat untuk berkreasi seunik-uniknya untuk kampanye berbagai macam bentuk budaya dapat terlahir. Dari konten-konten tersebut, diharapkan minat masyarakat umum naik pesat dan menghidupkan budaya kembali. Pemberdayaan budaya lewat pendidikan juga tidak kalah penting. Penanaman sejak dini kepada generasi muda menjadi titik krusial, mengingat mereka yang akan membangun dunia kelak. Selain itu, budaya harus siap untuk senantiasa bereformasi pula dalam bentuk digital sesuai perkembangan waktu dan tanpa mengenal batas jarak maupun negara. Contoh fenomena ini dapat dilihat dari Toko Buku Gunung Agung yang pada akhirnya harus menggulung tikar dan fokus menargetkan pasar pembelian daring, juga fenomena Gramedia pada masa pandemi yang lebih menggantungkan pasar virtualnya. Lalu penyalahgunaan teknologi seperti AI dalam menghasilkan sebuah karya seni juga tidak seharusnya digiatkan karena merupakan bentuk penyalahgunaan dan menyalahi prinsip anti budaya mencuri, serta merugikan para seniman di seluruh dunia dan lintas waktu.
Dalam mempertahankan kebudayaan baik dari prinsip hingga konkret, peran homo digitalis atau manusia era digital sebagai pelaku sekaligus objek menggenggam kunci penting. Budaya jadi rumus untuk menghadapi revolusi digital sekaligus datangnya kesempatan untuk terus bereformasi. Melalui budaya, manusia era digital tidak hilang arah. Lewat manusia era digital pula, budaya akan selalu abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H