Mohon tunggu...
Azlia Ramadhani
Azlia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Hallo! Saya Azlia, seorang mahasiswa yang tertarik dalam bidang pendidikan dan psikologi. Dengan latar belakang pendidikan Ilmu Komunikasi, saya ingin berbagi tulisan artikel populer atau opini saya mengenai pendidikan di Indonesia dan psikologi individu maupun kelompok. Sebagai generasi muda, saya berkomitmen untuk membantu membangun Indonesia melalui pendidikan dengan memperhatikan kondisi psikologi setiap individu. Sekian dari saya, Terima kasih telah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cyberbullying: Luka Tak Kasat Mata yang Berujung PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)

2 Juni 2024   13:29 Diperbarui: 3 Juni 2024   07:54 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital yang semakin pesat membuat kejahatan bertambah variasi barunya, yaitu cyberbullying atau perundungan siber. Maraknya platform media sosial dan forum daring menyediakan jalan baru bagi pelaku perundungan untuk menyasar korban. Bentuk perundungan siber ini dapat menimbulkan konsekuensi serius pada kesehatan mental individu, khususnya remaja yang lebih rentan terhadap dampak buruk. Dampak paling buruk dari cyberbullying dapat sangat menghancurkan dan mengakibatkan kesehatan mental yang serius, yaitu Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Alasan utama mengapa cyberbullying atau perundungan siber sangat merugikan adalah karena hal tersebut dapat terjadi dalam waktu 24 jam yang membuat korban kesulitan untuk melarikan diri. Tidak seperti bentuk perundungan tradisional yang dilakukan semasa masih sekolah, cyberbullying atau perundungan siber ini mengikuti korban kemana dan dimanapun korban pergi atau bahkan hingga pergi ke tempat yang paling aman sekalipun, korban akan merasa ditekan terus-menerus. Mengingat cyberbullying atau perundungan siber ini dilakukan secara daring, memungkinkan pelaku bersembunyi dibalik layar tanpa menunjukkan identitas apapun (anonim). Rasa tidak terlihat ini membuat para perundung berani terlibat dalam perilaku yang lebih agresif karena pelaku mengetahui bahwa mereka dapat menghindari pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

Salah satu aspek penting dari cyberbullying atau perundungan siber adalah peran etika berkomunikasi. Dalam hal ini, cyberbullying atau perundungan siber tidak dapat dibenarkan dan dimaafkan apalagi jika sudah merusak kesehatan mental individu, terutama Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD merupakan kondisi kesehatan mental serius yang dapat memengaruhi individu yang telah mengalami dan menyaksikan peristiwa traumatis. Korban yang sering mendapatkan ujaran-ujaran negatif atau cyberbullying cenderung memiliki emosi yang tidak terkendali disebabkan korban merasa kilas balik kejadian-kejadian yang pernah dialaminya. Selain itu juga, korban juga sering bermimpi buruk dan terbayang-bayang kata atau kalimat yang dilontarkan pada saat cyberbullying terjadi. 

Sebagian orang berpendapat bahwa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) bukanlah gangguan yang sebenarnya, melainkan tanda kelemahan atau ketidakmampuan untuk mengatasi stres. Akan tetapi, para penelitian membuktikan bahwa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah kondisi nyata individu yang melemahkan dan dapat berdampak jangka panjang pada kesejahteraan individu. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa individu yang pernah menjadi korban cyberbullying lebih tinggi mengalami gejala PTSD ini, seperti gangguan ingatan, perilaku menghindar, perubahan negatif dalam suasana hati dan kognisi, serta peningkatan gairah. Gejala-gejala ini dapat berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari dan kesejahteraan individu secara keseluruhan.

Individu dengan PTSD sering mengalami tantangan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kesulitan dalam hubungan, pekerjaan, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Tanpa perawatan dan dukungan yang tepat, mereka akan kesulitan untuk berfungsi secara efektif dalam masyarakat. Sangat penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menyadari keseriusan untuk Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD dan menyediakan sumber daya bagi korban. Adapun beberapa cara untuk mencegah cyberbullying yang mengakibatkan Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD di masyarakat:

  • Bersikap Sopan dan Hormat kepada Sesama Individu

Penggunaan bahasa yang santun dan menghindari kata-kata kasar serta ujaran kebencian harus dapat ditanamkan sejak kecil. Dengan begitu, secara tidak sadar akan terjalin hubungan menghormati satu sama lain, baik dari budaya, keyakinan, hingga pendapat.

  • Menghindari Penyebaran Informasi Palsu atau Hoax

Banyaknya berita yang beredar saat ini, membuat kita terlena dan seenaknya menyebarkannya tanpa mengecek terlebih dahulu berita tersebut akurat dan dapat dipercaya atau tidak. Maka dari itu, untuk mencegah cyberbullying dapat dilakukan pemeriksaan kembali faktanya sebelum membagikan berita dari berbagai sumber.

  • Menjaga Privasi Diri dan Orang Lain

Semua orang memiliki batasan privasi sendiri. Jika diberikan kepercayaan orang lain untuk menjaga privasi mereka, maka jangan sekali-kali untuk membagikannya, memposting, menguntit, hingga melecehkan mereka tanpa persetujuan mereka.

  • Bertanggung Jawab dengan Apa yang diperbuat

Memiliki akun media sosial merupakan hak semua orang. Akan tetapi, setiap individu harus menjaga dan berpikir secara baik-baik sebelum memposting atau berkomentar sesuatu. Setiap individu harus mengingat bahwa jejak digital dapat bertahan lama dan jika terjadi cyberbullying atau konten yang tidak pantas, segeralah melaporkan konten tersebut kepada platform yang bersangkutan.

  • Menggunakan Media Sosial untuk Hal Positif

Berbagai jenis konten yang ada di media sosial, setiap individu harus dapat memilih komunitas yang sesuai dengan kepribadiannya dan diharapkan dengan beredarnya informasi dapat meningkatkan kesadaran tentang masalah sosial dan perubahan positif untuk kehidupan sehari-hari.

  • Membatasi Waktu dalam Penggunaan Media Sosial

Banyaknya individu yang mengakses media sosial akan membuat konten-konten yang beragam. Dengan keberagaman itulah, secara tidak langsung akan memengaruhi emosi masing-masing individu sehingga jika terlalu banyak menghabiskan waktu bermain media sosial dapat berdampak pada kesehatan mental dan fisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun